Oleh Mohamad Hajazi

Tak begitu jauh dari proyek strategis nasional, hanya dua kilometer arah utara Kuta Mandalika, berdiri satu bangunan di atas tanah 11 are. Adalah sekolah adat Rengganis. Terletak di Dusun Pogem, Desa Sukadana, Lombok Tengah, Nusa tenggara barat.

Belum terlalu lama berdiri, 2017 tepatnya. Tanah itu merupakan tanah yang hibahkan oleh warga untuk dibangun sekolah adat. Menjadi tempat belajar bagi sekitar 34 anak-anak yang berusia dari 5-12 tahun, belajar tentang bagaimana menjaga tradisi, budaya leluhur, permainan tradisional, dan bagaimana menjaga bumi. Sangat berbeda apa yang diajarkan di sekolah adat Renganis dengan sekolah formal pada umumnya.

Siapa murid-murid di sekolah adat itu? Adalah anak-anak yang tinggal berada di sekitar sekolah tersebut, begitu pula dengan pendidiknya juga berasal dari warga sekitar. Sekolah adat Rengganis memulai aktiVitas transfer ilmu mulai dari siang sampai dengan sore. Jam belajar ini disesuaikan dengan waktu yang dimiliki para tenaga pengajar yang pagi harinya disibukkan dengan aktifitas bertani dan beternak.

Juanda pramadani (31), perempuan pendiri sekaligus kepala sekolah adat Rengganis menuturkan bagaimana tantangan terbesar yang ia hadapi ketika pertama kali memulai sekolah adat Rengganis. Ada anggapan bahwa perempuan kodratnya menjadi inan bale (ibu rumah tangga). Juanda menampik hal itu, baginya, perempuan tidak ada bedanya dengan laki-laki. Jika ingin berbuat baik demi kemaslahatan orang banyak, terlebih dalam melestarikan tradisi leluhur agar tidak terputus ke generasi selanjutnya, itu tidak memandang jenis kelamin.

Ketua Pengurus Harian Daerah Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Lombok Tengah ini menyatakan dirinya rela mencurahkan seluruh kemampuan yang ia miliki untuk keberlangsungan tradisi leluhur. Menjaga tradisi tersebut dari dampak negatif globalisasi, menjaga dari terkikisnya tradisi leluhur suku Sasak.

“Tidak ada sesuatu yang instan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan. Butuh proses yang panjang, babak belur dalam memperjuangkankannya. Namun, saya percaya bahwa usaha yang saya lakukan, terlebih dengan niat yang baik akan menuai hasil yang indah pada waktunya,“ ungkap Juanda.

Apa yang dilakukan oleh Juanda adalah salah satu bentuk manifestasi dari apa yang selama ini dirasakan dan menjadi kegelisahannya. Ia yakin, sekolah adat Rengganis akan menemukan kebermanfaatanya di hari ini dan masa depan. Karena kebudayaan tak bisa dipisahkan dari kehidupan Masyarakat Adat, menjadi jiwa dari Masyarakat Adat.

Juanda mengajarkan salah satu anak didiknya untuk memetik terung di sawah

Sekolah Adat dan Wilayah Adat

Hj. Baiq Muliati selalu mengenakan busana adat Sasak dalam kesehariannya. Songket atau bendang tenun digunakan sebagai bawahan, ada juga kain yang berfungsi sebagai ikat pinggang yang biasa disebut sabuk enteng, dan selendang ragi genep yang dililitkan ke kepalanya.

Perempuan yang akrab disapa Bu Hajah ini merasa penting menjaga tradisi yang diwariskan oleh leluhur dan sekolah adat dinilai sebagai tempat yang tepat untuk mewariskan nilai-nilai dan ajaran leluruh.

Bu Hajah memberikan penekanan bahwa anak-anak yang mendapat pemahaman tentang warisan leluhur, kebudayaan, dan lain sebagainya, tak bisa dilepaskan dari keberadaan wilayah adat. Ini adalah ruang hidup bagi Masyarakat Adat. Sebagai sumber pangan (sawah dan ladang), sumber obat-obatan, tempat melakukan ritual adat. Tanpa wilayah adat, tak akan ada Masyarakat Adat.

“Percuma kita menyebut diri kita Masyarakat Adat, jika nanti kita tidak memiliki wilayah adat. Karena wilayah adat yang menjadi identitas kita sebagai Masyarakat Adat. Jika kita sudah tidak memilikinya, lantas kita akan disebut apa?“ ujar Ketua PHD AMAN Lombok Tengah itu.

Bu Hajah percaya, pendidikan yang diajarkan di sekolah adat merupakan salah satu upaya untuk menjaga wilayah adat. Ia juga percaya, harus ada upaya lebih untuk menjaga wilayah adat seiring dengan masifnya cerita tentang perampasan wilayah adat. Bu Hajah menyebut perlu adanya payung hukum, setidaknya ada peraturan daerah yang bisa memberikan pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat.

Payung hukum itu wujud dari komitmen pemerintah untuk melindungi Masyarakat Adat. “Di PD AMAN Lombok Tengah ada 27 komunitas Masyarakat Adat yang tersebar di 12 kecamatan. Kami sedang berkonsolidasi untuk bagaimana mendorong terbentuknya perda terkait dengan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat di Lombok Tengah,” ujarnya.

Senada dengan Bu Hajah, Lalu Prima juga berpendapat yang sama. Ia menceritakan konflik-konflik yang terjadi seperti Masyarakat adat di Sembalun dengan PT Sembalun Kusuma Emas (SKE), Masyarakat Adat Cekbocek di Sumbawa, pembongkaran makam leluhur di Mandalika karena adanya pembangunan super prioritas. Cerita pilu ini, merupakan bentuk keserakahan penguasa tanpa mempertimbangkan keberadaan Masyarakat Adat di wilayah tersebut.

“Pemerintah seharusnya hadir dan melindungi hak-hak dari Masyarakat Adat atas wilayah adatnya, bukan malah menjadi pendukung para pemodal yang ingin menguasai wilayah adat. Karena jauh sebelum negara ini lahir, Masyarakat Adat sudah ada dengan wilayah adatnya,“ tegasnya.

Saat ini, Pengurus Daerah AMAN Paer Daya telah memiliki Perda Masyarakat Adat, dan sudah sampai pada tahap identifikasi untuk menuju penetapan. “Semoga perda di wilayah lain segera terbentuk untuk bisa melindungi Masyarakat Adat atas wilayah adat,“ harap Lalu Prima.

***

Anak didik sekolah adat rengganis yang sedang membantu orang tuanya mencabut rumput liar di ladang jagung

Maryam (32) orangtua dari Badca Maulana dan Gina Maula yang merupakan murid dari sekolah adat Rengganis mengaku bahagia dengan adanya sekolah adat Rengganis.

"Elen kecet elek olokn to sekolah adat Rengganis, aden naon caren tu toak laek erup, muk nyantar sicn deman bae perangenn sekolah adat sikuf, endah tajahn langsung berembek caren dengan betaletan leq bangkat, sengak maraq unicn juanda merajah langsung leq alam (semenjak kecil saya sekolahkan anak saya di sekolah adat Rengganis, supaya dia tahu bagaimana cara hidup leluhur mereka terdahulu, dan saya sungguh sangat bahagia dengan adanya sekolah adat ini, dan mereka diajarkan bagaimana cara menamam di sawah, seperti yang Juanda sering ucapkan belajar langsung dari alam), " ungkap Maryam.

Maryam juga menambahkan semenjak anaknya sekolah di sekolah adat tersebut, anaknya menjadi lebih rajin membantunya untuk memasak, membantunya di sawah, dan membantunya mengambil air d sumur, serta yang lebih membuat maryam bahagia ketika anaknya menghargai alam.

"Maraq unin (seperti yang diucapkan) Juanda, alam raya sekolahku," tutupnya.