Sepenggal Cerita Menjadi Relawan KMAN VI
21 November 2024Oleh Puput Purwaningsih
Pengalaman Pertama
Oktober 2022 lalu menjadi bulan yang paling spesial dan memberikan pengalaman mahal yang begitu membekas bagi saya. Sejak kecil, saya tumbuh di Jawa dan tidak pernah sekalipun keluar dari pulau. Tetapi, melalui kegiatan sebagai relawan AMAN pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN), saya akhirnya melangkahkan kaki keluar dari zona nyaman. Tidak tanggung-tanggung, wilayah Indonesia Timur menjadi destinasi pertama yang saya kunjungi.
Pada 24-30 Oktober 2022, kongres terbesar Masyarakat Adat, yakni KMAN VI, berlangsung di Wilayah Adat Tabi, Papua. Kongres tersebut menghadirkan 2.449 warga yang mewakili komunitas Masyarakat Adat dari seluruh Nusantara. Adanya kongres itu membuat saya berjumpa dengan banyak kawan baru dari berbagai daerah. Kehangatan dan keramahtamahan terasa kental. Rasanya menyenangkan bisa berbagi cerita dengan teman-teman Masyarakat Adat.
Keramahan bukan hanya hadir dari peserta yang datang, namun juga dari tuan rumah. Kesan pertama saya saat pertama kali bertemu dengan teman-teman Papua, ialah ternyata mereka sangat ramah dan begitu manis kalau tersenyum. Bayangan saya tentang Masyarakat Adat atau Orang Asli Papua yang awalnya saya kira galak-galak, akhirnya tergantikan dengan kesan yang begitu ramah tersebut.
Pertama kali saya menginjakkan kaki di sana, saya diajari oleh Kak Mike bagaimana caranya menyirih-pinang. Saya juga mencicipi papeda. Ada satu kesalahan saya yang tidak akan saya ulangi kembali, yaitu tidak mencampur papeda dengan nasi. Percampuran kedua bahan tersebut, sungguh menjadi suatu kesatuan rasa yang sulit untuk saya definisikan.
Mama Pelukis Wajah
Salah satu hal yang paling senang saya lakukan saat KMAN VI berlangsung, adalah mengunjungi stand di pinggiran lapangan bola Stadion Barnabas Youwe (SBY). Di jejeran stand tersebut, terdapat banyak makanan maupun kerajinan daerah yang ditawarkan. Dari semua stand yang ada, saya tertarik dengan stand pelukis wajah. Stand tersebut diisi oleh seorang perempuan adat atau mama yang selalu mengenakan kebaya. Ia menawarkan produk pernak-pernik serta memiliki keterampilan melukis kanvas dan wajah.
Foto bersama dengan mama yang bekerja sebagai pelukis wajah. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.
Mama pelukis wajah itu ramah dan berperangai lembut. Bertemu dengannya mengingatkan saya pada ibu saya di rumah. Berbicara bersama mama pelukis wajah itu pun sedikit menghibur saya di kala rasa rindu akan rumah sudah mulai menghampiri. Satu hal yang paling saya sesali sampai sekarang, adalah mengapa tidak menanyakan nama, padahal mama pelukis wajah itu sangat berkesan bagi saya. Saya biasa menyapanya dengan panggilan “mama.”
Selama dua hari berturut-turut, saya melukis wajah dengannya. Hanya dengan membayar Rp10.000, saya sudah bisa mendapatkan lukisan yang bagus di wajah. Ada pelukis wajah lain, namun bagi saya mama itulah yang paling bagus dan saya sukai hasil gambarnya. Ia murah senyum ketika melukis wajah saya dengan lembut.
Ia bilang kalau wajah saya sudah cantik, jadi tidak perlu dilukis terlalu banyak. Mama juga bilang tema lukisan yang digambarkan di wajah saya, biasa digunakan oleh para penari. Lukisan tersebut menggambarkan keceriaan dan kesenangan.
Menghias wajah dengan corak Papua. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.
Perjuangan di Dapur
Di balik kemeriahan dan kesuksesan KMAN VI, tidak terlepas dari perjuangan mama-mama yang tergabung ke dalam tim konsumsi. Mungkin tidak banyak yang menyoroti, tapi saya merasa salut dengan perjuangan mereka yang sudah rela memasak dari pagi buta untuk memenuhi konsumsi ribuan peserta dan panitia KMAN VI.
Apresiasi yang sebesar-besarnya layak diberikan kepada mama-mama yang sudah bekerja keras untuk memastikan bahwa semua orang bisa mendapatkan makanan. Selama berlangsungnya KMAN VI, segala jenis makanan dihidangkan, mulai dari aneka olahan ikan, ayam, telur, sayur, dan buah. Makanan yang dihidangkan lebih dari cukup dan patut disyukuri.
Saya menyadari bahwa di balik setiap sendok makanan tersebut, ada perjuangan dan tenaga mama-mama yang dengan senang hati memasak. Kekeluargaan dan kehangatan juga terasa di dapur. Di sela-sela memasak pasti terdapat perbincangan yang mengundang gelak tawa. Hal itu sangat menghibur dan dapat meringankan rasa lelah. Tidak dapat dipungkiri bahwa memasak dengan jumlah banyak, menguras tenaga yang besar pula. Maka, saya sering merasa sedih jika ada makanan yang terbuang. Biar bagaimana pun makanan tersebut dibuat dengan penuh tenaga. Rasanya, tidak bijak untuk kita membuang makanan.
Berfoto bersama para mama yang menjadi bagian dari tim konsumsi dalam KMAN VI. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.
***
Penulis adalah relawan KMAN VI. Ia baru saja lulus dari studinya di jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Brawijaya dan saat ini sedang memperkaya diri dengan menggali berbagai pengalaman baru.