Oleh Fransiskus Mado

“Kasih, Narang Teke Nora Dori, opi reta ilin wutun kare reta tua loran reta ai umin doen reta watu saben baler….”

Sebaris kalimat itu adalah penggalan Nau Noang dari “Teke Nora Dori” yang biasa dilantunkan melalui cerita dan nyanyian oleh Masyarakat Adat Natarmage di Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Penggalan tersebut bermakna, “Sayang, saudaraku Teke dan Dori yang sedang mencari makanan di hutan belantara sana….”

Nau Noang merupakan bahasa ibu dari Komunitas Masyarakat Adat Natarmage yang berarti dongeng.

Penggalan dongeng di atas merupakan kisah tangisan kesedihan terhadap Teke dan Dori, dua bersaudara dalam dongeng tersebut, yang sedang mengadu nasib di hutan belantara demi mendapatkan makanan untuk saudari mereka yang sedang sendirian dengan penuh ketakutan dan kesedihan menunggu di rumah.

Nau Noang menjadi tradisi dalam kehidupan di Masyarakat Adat Natarmage. Namun, kebiasaan itu perlahan-lahan mulai hilang seiring perkembangan zaman.

Aku merasa kehilangan referensi besar dalam mengisahkan Nau Noang yang menjadi identitasku sebagai Masyarakat Adat Natarmage.

Nau Noang menjadi langkah awalku. Dan, tentunya, itu akan mengembalikan identitasku seiring perkembangan zaman. Sehingga, alam dan leluhurku di Natarmage seakan hidup kembali walaupun jelmaannya telah tiba, lalu bertemu dengan generasi milenial yang masih fasih mendengungkan kebiasaan Nau Noang di zaman ini.

Kerinduan akan masa kecilku di saat malam menjelang tidur, biasanya selalu disuguhkan dengan Nau Noang oleh ibu atau bapak dan terkadang nenek. Mereka membangkitkan pendengaranku dan semangat imajinasiku seakan aku berada di alam cerita itu, sehingga tak lama aku terbius nyenyak dalam tidurku.

Nau Noang yang tak pernah hilang dari ingatanku adalah “Teke Nora Dori” yang bertutur tentang tiga anak yatim piatu. Dalam kisah itu, seorang perempuan bersama dua saudaranya, bertahan mandiri secara alami tanpa orangtua.

Selain “Teke Nora Dori,” ada banyak Nau Noang yang menjadi giliran pilihanku untuk dikisahkan saat malam menjelang tidurku di masa kecil.

Keberlangsungan Tradisi

Pada suatu malam, ketika jagoan kecilku berusia dua tahun, ia merengek dan meronta untuk meminta handphone yang sedang kupakai. Ia ingin menonton film anak-anak. Tapi, secara kebetulan, aku harus menggunakan handphone itu untuk keperluan lain. Saat itu, terjadi keramaian, di mana aku dan anakku sendiri harus berebutan handphone.

Spontan aku teringat bahwa anakku telah mempunyai zamannya sendiri yang tidak sama dengan masa kecilku dulu. Aku menikmati zamanku dengan Nau Noang di saat menjelang tidur, sedangkan anakku menikmati handphone.

Malam itu, aku berusaha menenangkan jagoanku dengan menggendongnya sambil berdiri dan mulai mencoba mendengung beberapa nyanyian yang tidak bermakna, sehingga akhirnya ia tertidur di pundakku.

Sehari-hari, aku mulai menyadari bahwa mestinya aku mengisahkan anakku suatu cerita yang sesuai dengan usianya sebelum ia tidur. Aku pun mulai mengingat kembali Nau Noang di masa kecilku. Dan, ketika tiba saatnya malam, aku mencoba melantunkan Nau Noang pada jagoanku walau syairnya masih terpotong-potong karena aku kerap lupa.

Tokoh Masyarakat Adat Natarmage, Damaskus Zein menyatakan bahwa Nau Noang telah menjadi tradisi dalam kehidupan Masyarakat Adat Natarmage sejak lama. Ia menjelaskan kalau zaman dulu, para orangtua punya upaya untuk memberikan banyak pesan berisi makna hidup kepada anak-anaknya lewat Nau Noang.

“Biasanya, pesan makna hidup ini disampaikan orangtua kepada anaknya melalui cerita lewat Nau Noang,” kata Damaskus Zein pada Kamis (9/3/2023).

Zein menjelaskan, selain untuk menyampaikan pesan, Nau Noang juga biasa digunakan untuk menjawab pertanyaan anak-anak karena mereka seringkali bisa membuat orangtua berpikir keras.

“Cara mudah orangtua menjawab pertanyaan anak-anak dulu, ya lewat cerita. Ini sudah jadi tradisi Masyarakat Adat Natarmage,” kata Zein.

***

Penulis adalah jurnalis Masyarakat Adat Natarmage di Sikka, NTT.