Kisah dari Banua Lemo: Tangguh Menghadapi Covid-19
21 November 2024Oleh Baso Gandangsura bersama Bambang Muryanto
Saya salah satu anggota dari Majelis Adat Masyarakat Adat Banua Lemo. Nama saya Baso Gandangsura. Saya ingin mengisahkan perjuangan Masyarakat Adat Banua Lemo, terutama saat menghadapi ancaman pandemi Covid-19 yang bermula sejak awal 2020.
Pada suatu siang yang cerah, belasan perempuan berkumpul di rumah saya sebagai Kepala Desa Bonelemo yang berada di Kecamatan Bajo Barat, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan. Para perempuan adat tersebut memotong daun sirih menjadi potongan kecil-kecil, lalu merebusnya hingga mendidih. Setelah ditiriskan dan agak dingin, perasan jeruk nipis dicampurkan. Cara itu dilakukan sejak dulu kala oleh para leluhur kami untuk menghindari penularan penyakit.
Dalam upaya mengurangi risiko terpapar Covid-19, kami memodifikasi metode itu. Dari penelusuran kami, pengetahuan leluhur dan penelitian ilmiah membuktikan, daun sirih dan jeruk nipis adalah bahan organik yang bisa menangkal radikal bebas. Campuran kedua bahan tersebut adalah antiseptik alami.
Para perempuan adat itu sedang membuat disinfektan. Rumah saya disepakati sebagai posko penanggulangan Covid-19. Setelah itu warga meminta agar disinfektan dibuat di tiap dusun agar mudah mendistribusikannya.
Disinfektan yang dibuat secara mandiri itu kemudian dibagi-bagikan kepada warga sebagai ganti hand sanitizer yang harganya mahal dan langka. Formulanya berasal dari resep obat warisan leluhur yang kami rawat dan kami jaga secara turun-temurun.
Metode Leluhur
Menghadapi ancaman pandemi Covid-19, kami selalu bahu-membahu. Kami menjalankan apa yang dulu dilakukan oleh nenek moyang kami. Setiap orang, setiap anggota dari Masyarakat Adat mengambil peran sesuai dengan kemampuannya.
Munculnya Covid-19 membuka kembali ingatan Masyarakat Adat Banua Lemo tentang peristiwa yang pernah dialami leluhur pada zaman dulu. Cerita yang dituturkan secara turun-temurun itu mengabarkan ada wabah penyakit yang menyebar dan merenggut banyak nyawa yang dikenal sebagai sopu tau atau ra’ba biang. Itu merupakan istilah untuk menggambarkan situasi ketika banyak orang meninggal dalam waktu singkat.
Karena peristiwanya demikian mirip, kami menggali lagi apa yang dahulu dilakukan para leluhur kami dalam menghadapi sopu tau atau ra’ba biang. Setelah kami semua bertemu secara kolektif, baik formal maupun secara informal, kami kembali menemukan beberapa metode yang dimiliki leluhur kami, baik dalam hal pengobatan, pencegahan penyakit, dan pengelolaan dampak ikutan akibat wabah.
Ada berbagai langkah untuk menangkal penyebaran penyakit atau pandemi. Ada ma’rambu, sipoliran bilajan, disapai’/sapai’i, mirambu dapok bungga so’mak, ma’pallin, dan pa’kurung (dau ma’kurung ke tae mulan pakandei). Semua prinsip itu kami praktikkan kembali.
Untuk menerapkan ma’rambu, kami membuat bilik sterilisasi. Bilik sterilisasi didirikan di rumah saya dan ada satu atau dua lainnya yang dibuat di gerbang desa. Ma’rambu adalah cara pengobatan tradisional leluhur yang masih dilakukan sampai saat ini. Pengobatan itu menggunakan cara pengasapan badan, tanpa ditutupi, dengan bahan panti’ (lilin lebah hutan) yang dibakar dengan arang. Pengobatan dengan menggunakan asap warisan leluhur itu dipercaya dapat membantu penyembuhan suatu penyakit. Selain panti’ dan arang, rotan juga bisa digunakan sebagai bahan pengasapan. Semua bilik penguapan untuk sterilisasi dibangun secara swadaya, termasuk alat penguapannya yang kami beli dengan dana swadaya.
Kami juga menggunakan daun sirih, jeruk nipis, dan daun pariah yang kami ramu menjadi ramuan antiseptik. Ramuan itu kami gunakan untuk membersihkan virus dan sisa-sisa penyakit. Cara menggunakannya bisa dengan metode dibolo’ atau ditongko’.
Dengan metode dibolo’, orang yang sakit dimandikan dengan air yang dicampur dengan ramuan. Sedangkan ditongko' (ditutupi), adalah metode penguapan dengan cara, orang yang sakit duduk di kursi dengan seluruh badan ditutup kain dari kepala hingga ke bawah, lalu diuapi dari bawah. Uap berasal dari air rebusan daun sirih, jeruk nipis, dan daun pariah yang ditempatkan dalam baskom besar di bawah si penderita sakit.
Semua warga Bonelemo wajib menjalani pengasapan satu minggu sekali. Orang yang datang dari luar desa juga wajib menjalani terapi itu agar bersih dari Covid-19.
Bilik sterilisasi ternyata menarik perhatian masyarakat di luar Bonelemo. Warga dari kecamatan lain pun akhirnya datang ke Bonelemo untuk melakukan penguapan. Mereka juga belajar cara membuat bilik penguapan sesuai dengan pengetahuan warisan leluhur mereka sendiri. Setelah pandemi berjalan beberapa bulan, sembilan desa di Kecamatan Bajo Barat memiliki bilik sterilisasi. Seorang perempuan masuk bilik sterilisasi yang kami buat secara
Seorang perempuan masuk bilik sterilisasi yang kami buat secara swadaya.
Pembatasan pergerakan
Polirankan bilajanki mai, ki polirankun bilajanmi mati’ adalah istilah yang menggambarkan ketakutan leluhur ketika wabah melanda. Untuk mencegah penyebaran wabah, masyarakat antarkampung tidak boleh saling berinteraksi.
Ingatan itu menginspirasi Masyarakat Adat Banua Lemo untuk menerapkan sipoliran bilajan atau pembatasan pergerakan guna melindungi diri dan melindungi masyarakat dari kampung lain dari wabah yang sedang mengamuk. Langkah pembatasan pergerakan, yang dulu dilakukan leluhur kami, ternyata dilakukan seluruh umat manusia di dunia pada masa pandemi Covid-19.
Di pintu gerbang desa, kami membuat portal untuk memeriksa dan membatasi pergerakan masyarakat. Prinsip sipoliran bilajan menjadi dasar untuk lockdown. Lockdown dilakukan secara ketat saat Hari Idul Fitri selama 14 hari.
Selain itu, masyarakat juga dihimbau tidak menjalankan aktivitas di luar desa. Seorang warga boleh keluar bila sangat terpaksa seperti untuk memenuhi kebutuhan pokok. Itu pun harus mendapat izin dari Satuan Tugas Covid-19 di desa.
Kami juga menerapkan disapai’ atau jaga jarak dalam berinteraksi dengan sesama warga. Prinsip leluhur itu selalu dijalankan dari generasi ke generasi, apalagi saat warga Banua Lemo menginap di rumah orang yang tidak dikenal.
Disapai’ atau sapai’ artinya memberi jarak atau membatasi kontak fisik. “Kalau kau bertemu seseorang yang tidak kau kenali asal-usulnya, kau harus jaga jarak atau beri sapa’. Jika dia memiliki penyakit, maka tidak akan menular ke kau.”
Begitulah wejangan atau ilmu yang diberikan leluhur kami. Wejangan itu terus hidup dalam khasanah lisan kami. Wejangan itu kami teruskan kepada anak dan cucu sampai saat ini.
Seorang pria melakukan penyemprotan disinfektan ke rumah-rumah warga.
Dapur Berasap Selokan Basah
Kami mempunyai cara tersendiri dalam menilai ketahanan pangan sebuah keluarga: mirambu dapok, bungga so’mak, yang artinya, “dapur yang mengeluarkan asap, selokan yang basah.”
Dapur yang berasap menandakan adanya kegiatan memasak di rumah itu. Sedangkan selokan yang basah, menandakan adanya aktivitas mencuci piring yang digunakan untuk makan.
Dengan prinsip itu, kami menyiapkan diri agar bahan makanan pokok selalu tersedia bagi seluruh warga. Kami menegakkan prinsip ketahanan pangan dengan menanam tanaman, seperti sagu, jagung, ubi, sayuran, dan memelihara ikan di kolam. Semua itu demi memastikan keberlangsungan pasokan bahan-bahan pangan.
Di dalam prinsip ketahanan pangan itu, termasuk di dalamnya memastikan tersedianya makanan bagi warga yang mengisolasi diri atau terkurung. Pa’kurung (dau ma’kurung ke tae mu lan pakandei) adalah prinsip yang intinya, kami tidak boleh mengurung makhluk hidup tanpa suatu jaminan atau persediaan makanan. Prinsip itu sudah ada sejak zaman dulu dan sekarang menjadi acuan dalam melakukan karantina warga yang terpapar Covid-19 atau isolasi mandiri.
Pemerintah Desa juga menyiapkan persediaan makanan pokok bagi warganya. Tindakan itu untuk mengantisipasi jika pandemi berlangsung lama dan menyebabkan kelangkaan pangan. Warga menanam jagung dan ubi jalar yang bibitnya diberikan oleh Pemerintah Desa. Selain itu, warga juga menerima bantuan sagu. Kami ingin memastikan ada ketersediaan pangan selama pandemi.
Ketersediaan bahan makanan adalah untuk mendukung prinsip ajaran leluhur mirambu dapok, bungga so’mak. Artinya, dapur yang mengeluarkan asap, selokan yang basah menandakan ada aktivitas memasak dan tidak ada warga yang kekurangan makanan.
Masyarakat Adat Banua Lemo tidak pernah mengalami kekurangan bahan makanan selama pandemi. Sebab, warga masih terus menanam bahan makanan pokok, seperti padi, jagung, ubi, dan lainnya.
Prinsip yang berkaitan dengan mirambu dapok, bungga so’mak adalah pa’kurung (dau ma’kurung ke tae mu lan pakandei). Jika ada warga yang melakukan isolasi mandiri, maka dipastikan memiliki persediaan makanan yang cukup.
“Jaminan kebutuhan hidup disiapkan secara bergotong-royong oleh warga dan Pemerintah Desa Bonelemo.”
Dengan ketangguhan itu, Masyarakat Adat Banua Lemo bisa mengurangi risiko terpapar Covid-19. Sebelum proses vaksinasi, ada dua warga yang tertular Covid-19, kemungkinan tertular saat mereka bertugas ke Bogor, Jawa Barat.
Salah satu dari mereka menularkan ke ibunya yang menungguinya saat dirawat di rumah sakit. Kemudian sang ibu melakukan isolasi mandiri di Bonelemo.
Setelah proses vaksinasi, ada empat orang yang terpapar Covid-19. Satu orang dirawat di rumah sakit karena memiliki riwayat asma yang akut, sedangkan sisanya melakukan isolasi mandiri.
Tak Bergantung Pada Pemerintah
Pengalaman Masyarakat Adat Banua Lemo yang saya tuturkan ini telah mengajarkan, tidak semua ajaran leluhur itu kuno dan tidak relevan dengan situasi saat ini. Faktanya, kami bisa mengatasi pandemi Covid-19 dengan ajaran leluhur.
Dari ribuan penduduk desa, hanya tujuh orang yang terpapar Covid-19. Cerita Covid-19 kami adalah cerita yang berbeda dengan cerita yang dipunyai masyarakat pada umumnya.
Masyarakat Adat Banua Lemo di Desa Bonelemo adalah salah satu Masyarakat Adat di Indonesia yang bergerak secara cepat dan mandiri dalam menanggulangi pandemi Covid-19. Warga desa yang berjumlah 1.268 orang itu menerapkan ajaran leluhur untuk menghadapi pandemi Covid-19.
Pembuatan ramuan tradisional untuk pencegahan Covid-19.
Tiga Versi Kisah Asal-usul
Siapa kami, Masyarakat Adat Banua Lemo? Ada tiga versi tentang asal-usul kami.
Versi pertama, menyatakan ada pengembara dari Duri, Kabupaten Enrekang yang berjalan melintasi pegunungan tinggi sekitar ribuan tahun lalu. Pengembara itu bermukim di sebuah tempat dan membentuk kampung yang diberi nama Banua Lemo.
Versi kedua, menyatakan Masyarakat Adat Banua Lemo dipercaya berasal dari Sangalla yang dibawa oleh Angin Dara ribuan tahun lalu.
Versi ketiga, menyatakan Masyarakat Adat Banua Lemo adalah suku pengembara yang tidak jelas asalnya.
“Banua” berarti rumah, kampung, tempat bermukim, atau tempat berkumpul, sedangkan “lemo” berarti buah jeruk. Jika digabung, maka arti “Banua Lemo” adalah “Kampung Jeruk.”
Secara sosial, Masyarakat Adat Banua Lemo dipimpin oleh sebuah lembaga adat dengan to makaka sebagai pemimpin tertinggi. Ia dibantu pemuka adat lainnya yang menangani urusan tertentu, seperti baliara, minjara, syara’, bunga’ lalan, matoa, dan tobarani. Keputusan terakhir ada di tangan to makaka. Tetapi, ada persoalan lain yang diselesaikan dengan cara ma’tongkonan atau musyawarah, misalnya untuk urusan menanam padi (rokko tempe), panen padi (mepare), syukuran panen (mak urre sumanga’), dan lainnya.
Di dalam wilayah adat kami, ada wilayah yang bisa dikuasai warga adat secara individual, misalnya area tondok (hunian), tempe (sawah), dan bela’ (kebun). Proses pembagian harus diputuskan dengan persetujuan to makaka. Sedangkan hutannya, ada beberapa jenis. Ada pangngala’ kalottik’ yaitu hutan yang tidak bisa dialih-fungsikan untuk perkebunan. Hutan kategori itu, kayunya hanya bisa diambil untuk pembangunan rumah, diambil rotannya, dan untuk area melepas ternak, seperti kerbau. Pangngala’ tua atau hutan keramat adalah hutan yang dilindungi. Hutan itu hanya bisa diambil rotannya, tumbuhan obat-obatan, madu, dan produk non-kayu lainnya. Kabo lolo atau ladang berpindah adalah lahan yang bisa digunakan untuk ladang berpindah. Setelah diolah dan ditinggalkan selama tiga tahun, maka akan ditanami lagi dengan aneka tanaman, seperti sayur, padi, palawija, dan lainnya. Kabo toa atau hutan belukar adalah lahan yang diolah masyarakat dan ditinggalkan hingga 15 tahun. Setelah itu, diolah kembali untuk ditanami tanaman palawija atau sayuran, padi, dan lainnya. Tempe atau sawah adalah lahan persawahan yang hasilnya menjadi sumber pangan secara turun-temurun dan menggunakan sistem pengairan tradisional.
Sedangkan hukum yang berlaku ada tiga, yaitu hukum adat yang diputuskan oleh petinggi adat kepada seseorang yang melakukan pelanggaran adat. Sanksinya bisa bermacam-macam, seperti denda satu ekor kerbau, disuruh bekerja di kebun, dan lain sebagainya. Selanjutnya ada hukum agama, yaitu hukum yang mengacu kepada kepercayaan agama. Terakhir, hukum negara yang diberlakukan apabila ada yang melanggar aturan negara.
Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Masyarakat Adat Banua Lemo mendiami tiga desa, yaitu, Bonelemo, Bonelemo Barat, dan Bonelemo Utara. Masyarakat Adat Banua Lemo tinggal di wilayah seluas 7.250 hektar di daerah pegunungan yang berada di salah satu kaki Pulau Sulawesi.
Jumlah keluarga warga Banua Lemo sekitar 679 kepala keluarga (KK) dan jumlah total 2.820 jiwa, terdiri dari 1.390 pria dan 1.430 perempuan. Kami bekerja sebagai petani, buruh, dan pegawai negeri sipil (PNS). Mayoritas beragama Islam dan berbahasa daerah Tae.
Dari cerita yang disampaikan turun-temurun, Masyarakat Adat Banua Lemo dipercaya sudah ada sejak to makaka yang pertama kali mendirikan Kampung Bonelemo dan menyebarluaskan adat istiadat sekaligus mengangkat perangkat adat. Kami juga terus berupaya merawat semua adat istiadat dan pengetahuan yang ada di dalamnya.
Terbukti, dengan berbekal ajaran leluhur kami mampu bertahan menghadapi pandemi Covid-19. Kami mencoba tidak bergantung kepada Pemerintah Indonesia. Dengan pengalaman tersebut, kami bertekad untuk terus menjaga, merawat, dan meneruskan pengetahuan dan kearifan yang dimiliki nenek moyang kami.
***
Penulis adalah warga dari Masyarakat Adat sekaligus Kepala Desa Bonelemo di Bajo Barat, Luwu, Sulawesi Selatan. Artikel ini merupakan bagian dari tulisan yang ditulis untuk Kisah dari Kampung - sebuah gerakan penulisan buku yang digagas oleh AMAN dalam upaya menghadirkan profil berupa kisah dari berbagai kampung di penjuru Nusantara dan ditulis oleh para Kader AMAN bersama pasangan jurnalis.