
Masyarakat Adat Natumingka Mengenang Tragedi Berdarah di Tano Batak
19 Mei 2025 Berita Maruli SimanjuntakOleh Maruli Simanjuntak
Sekitar 50 orang Masyarakat Adat Natumingka di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara mengenang tragedi berdarah empat tahun lalu dengan mendatangi lokasi bentrokan dengan perusahaan Toba Pulp Lestari (TPL) di Titi Alam, wilayah adat Natumingka pada Minggu, 18 Mei 2025.
Perwakilan Masyarakat Adat Natumingka ini menyusuri jejak luka yang belum sembuh dengan cara menanam pohon, sebagai bentuk perlawanan sekaligus simbol harapan. Satu per satu anak pohon mereka tancapkan ke tanah. Beberapa orang perempuan adat tak kuasa menahan air mata, sementara para lelaki berdiri tegap memandangi hamparan tanah yang masih menyimpan trauma. Bagi mereka, tanah itu bukan sekadar ruang fisik, melainkan titipan leluhur, identitas, dan sumber penghidupan yang tak tergantikan.
"Empat tahun lalu, di tempat ini, kami menjadi korban kekerasan saat mempertahankan tanah ini. Kami diserang dengan batu dan kayu runcing oleh karyawan PT TPL," kenang Nelson Simanjuntak, salah seorang tokoh Masyarakat Adat Natumingka yang terlibat bentrokan dengan TPL.
Nelson masih mengingat seorang warga Masyarakat Adat Natumingka Op. Leo Simanjuntak, yang saat itu berusia 75 tahun, harus dilarikan ke rumah sakit karena luka di pelipis akibat lemparan kayu.
Menurut Nelson, kekerasan itu tidak hanya melukai tubuh, tetapi juga menghancurkan martabat mereka sebagai Masyarakat Adat.
“Kami tidak menuntut lebih. Kami hanya ingin mempertahankan hak yang sudah dititipkan turun-temurun oleh leluhur kami Punduraham Simanjuntak," jelasnya.
Nelson mengakui luka fisik hanyalah satu sisi dari penderitaan mereka. Hingga kini, lanjutnya, pengakuan atas hak wilayah adat oleh pemerintah belum terealisasi. Sementara, TPL tetap mengklaim wilayah adat Natumingka sebagai bagian dari konsesinya.
Risna Sihotang, salah seorang perempuan adat Natumingka yang menjadi korban kriminalisasi hingga kini mengaku belum bisa melupakan tragedi bentrokan berdarah dengan TPL.
“Saya bersama dua teman dijadikan tersangka dan dituduh menduduki kawasan hutan negara atas pengaduan TPL. Padahal, kami bertani di atas tanah titipan leluhur kami sendiri,” ungkap Risna Sitohang.
Ia menegaskan bahwa tanah leluhur adalah sumber penghidupan mereka.
“Dari tanah leluhur inilah kami makan dan menyekolahkan anak-anak kami. Kami bukan pelaku kriminal,” tegasnya.
Risna mengungkapkan hingga kini tekanan dari perusahaan TPL kepada Masyarakat Adat Natumingka masih berlangsung. Dikatakannya, TPL akan melakukan penanaman paksa di wilayah adat Natumingka. Mereka telah meminta pengawalan dari pihak kecamatan, kepolisian, dan tentara. Padahal pada November 2024, kata Risna, TPL telah menandatangani perjanjian bermaterai sepuluh ribu, menyatakan tidak akan melakukan penanaman lagi di atas tanah adat Natumingka.
“Ini informasi yang kami dapat, kabarnya TPL telah mengirim surat pemberitahuan ke kantor Camat Borbor bahwa mereka akan melakukan penanaman paksa di wilayah adat Natumingka,” ungkapnya.
Bagi Risna, cara yang dilakukan oleh TPL ini sebagai bentuk intimidasi yang tak kasat mata, namun terus menghantui.
“Kami sudah lelah, tapi kami tidak akan menyerah. Jika kami diam hari ini, besok mungkin kami tak punya apa-apa lagi,” cetusnya.
Masyarakat Adat Natumingka menanam pohon di tanah adat. Dokumentasi AMAN
Titik Balik Untuk Bangkit
Habel Simanjuntak, Pemuda Adat Natumingka Habel Simanjuntak menyatakan peristiwa tragedi berdarah 18 Mei 2021 lalu telah menjadi titik balik bagi Masyarakat Adat untuk bangkit, terutama pemuda adat agar lebih aktif mengelola tanah leluhur mereka.
Dikatakannya, setelah tragedi itu, semangat mereka justru semakin menyala. Natumingka semakin kompak mengelola wilayah adat, meskipun belum diakui secara formal oleh negara. Masyarakat Adat menanami tanah adatnya dengan berbagai jenis tanaman sebagai sumber kehidupan, salah satunya jagung.
Habel mengakui aktivitas pertanian yang digalakkan secara kolektif ini telah berdampak positif terhadap kesejahteraan Masyarakat Adat Natumingka.
“Empat tahun terakhir ini, perekonomian Masyarakat Adat Natumingka mulai membaik. Tanaman yang kami tanam di wilayah adat ini menjadi sumber pangan dan penghasilan. Ini menunjukkan bahwa kedaulatan atas tanah adat benar-benar membawa manfaat nyata bagi masyarakat,” imbuhnya.
AMAN Komitmen Menjaga Wilayah Adat Natumingka
Ketua Pelaksanaka Harian AMAN Wilayah Tano Batak Jhontoni Tarihoran, yang turut hadir dalam kegiatan ini menegaskan komitmennya untuk terus menjaga dan mempertahankan wilayah adat Natumingka.
“Hari ini kami mengenang tragedi 18 Mei 2021. Kami bertemu di tempat ini untuk menegaskan bahwa AMAN akan tetap mempertahankan wilayah adat Natumingka. Kami akan terus bekerja bersama-sama untuk merawat wilayah adat ini, terlebih mempertahankannya dari perampasan oleh TPL,” paparnya.
Jhontoni menambahkan AMAN juga berkomitmen bersama Masyarakat Adat Natumingka untuk terus melakukan penanaman pohon di wilayah adat ini sembari bergotong royong untuk meningkatkan ekonomi bersama.
“Kami tidak akan pernah diam. Kami akan terus bersama-sama dan menyerukan: Tutup TPL ! ,” tegas Jhontoni.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Tano Batak, Sumatera Utara