
Masyarakat Adat Buntu Matabbing Manfaatkan Sagu Sebagai Sumber Makanan Alternatif Saat Musim Kemarau
05 September 2025 Berita Kamal KhatibOleh Kamal Khatib
Kemarau panjang menghambat sistem pertanian yang selama ini menjadi tumpuan hidup di komunitas Masyarakat Adat Buntu Matabbing, Kecamatan Larompong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Cuaca panas seperti ini yang terjadi belakangan ini bukan hal baru bagi komunitas Masyarakat Adat di Sulawesi Selatan. Pengalaman di era 1970-an menjadi pengingat kuat akan rapuhnya ketahanan pangan ketika musim tidak lagi dapat diprediksi.
Berdasarkan catatan sejarah, Sulawesi Selatan pernah mengalami kemarau panjang hingga tujuh bulan pada dekade 1970-an. Dampaknya terasa luas: tanah mengering, aliran sungai surut, dan sejumlah spesies air tawar mati sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem lokal.
Bagi Masyarakat Adat yang bergantung pada hasil bumi, kondisi tersebut menimbulkan krisis pangan serius. Terbatasnya hasil panen di banyak komunitas tidak hanya mengurangi ketersediaan makanan, tetapi juga memaksa keluarga-keluarga menata ulang cara mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Buntu Matabbing.
Jubdin, tokoh Masyarakat Adat Buntu Matabbing menceritakan bagaimana mereka mengambil keputusan penting di masa sulit tersebut.
“Masyarakat Adat Buntu Matabbing ketika menghadapi kemarau panjang memanfaatkan cadangan pangan dari pohon sagu sebagai alternatif sumber makanan,” tuturnya pada 3 Agustus 2025.
Sebelumnya, kata Jubdin, mayoritas Masyarakat Adat mengandalkan beras sebagai makanan pokok. Namun disaat kemarau, mereka beralih makan sagu. Bahkan, sagu dari wilayah adat Buntu Matabbing menjadi incaran dari wilayah adat lain.
“Tidak sedikit Masyarakat Adat dari tanah Bugis berdatangan untuk membeli sagu ke kami sebagai alternatif pangan di masa-masa sulit,” ungkapnya.
Membaca Tanda-Tanda Alam
Jubdin menambahkan meski sagu terbukti menjadi penyangga utama di saat musim kemarau, tetap saja mereka menanam padi. Namun, mereka takut gagal panen. Ketakutan untuk menanam padi muncul setiap kali cuaca terasa tidak menentu. Namun, untungnya Masyarakat Adat Buntu Matabbing miliki pengetahuan yang diwariskan leluhur untuk membaca tanda-tanda alam sebelum mengambil keputusan penting menanam padi di sawah.
“Salah satu cara yang kami gunakan untuk memprediksi datangnya musim hujan adalah dengan media daun pisang. Caranya, daun pisang diletakkan di atas tanah selama satu hari satu malam. Jika keesokan harinya permukaan daun tampak berembun atau basah, kami bisa memperkirakan hujan akan segera turun. Itulah dasar bagi kami untuk kembali menanam padi di sawah,” jelas Jubdin.
Ditambahkannya, praktik sederhana ini menjadi penopang pengambilan keputusan, terutama ketika informasi cuaca terasa jauh dari jangkauan kehidupan sehari-hari.
Tradisi membaca tanda-tanda alam ini menunjukkan bagaimana kearifan lokal berperan langsung dalam menjaga keberlanjutan pangan.
Tanaman padi di komunitas Masyarakat Adat Buntu Matabbing. Dokumentasi AMAN
Melestarikan Pohon Sagu
Dikatakannya, di tengah perubahan iklim yang semakin nyata ini memaksa Masyarakat Adat Buntu Matabbing terus melestarikan pohon sagu di wilayahnya. Bagi mereka, imbuhnya, sagu bukan sekadar cadangan; sagu adalah penyangga hidup yang terbukti menyelamatkan komunitas Masyarakat Adat Buntu Matabbing sekaligus memberi manfaat bagi warga dari luar daerah.
“Ketika musim berubah dan ketidakpastian meningkat, berpijak pada pengetahuan lokal dan menjaga sumber pangan yang tahan terhadap cuaca ekstrem adalah kunci untuk tetap bertahan,” pungkasnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Tana Luwu, Sulawesi Selatan