Masyarakat Adat Vayanga dari suku Kaili Da’a di Desa Kalora, Kabupaten Sigi, hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Tantangan itu tidak hanya datang dari perubahan sosial ekonomi, tetapi juga dari langit mereka sendiri. Cuaca yang semakin tidak bisa diprediksi telah mengganggu ritme kehidupan tradisional mereka, memaksa adaptasi dan menimbulkan kekhawatiran akan masa depan.

Seperti disampaikan oleh Mail, Kepala Desa setempat, yang tidak hanya memimpin administrasi desa tetapi juga merupakan seorang peladang tradisional yang merasakan langsung dampak perubahan iklim ini. Ia menggambarkan sebuah ironi yang kini sering terjadi. Di satu waktu saat ia pergi ke ladang tepat di siang hari, hujan turun dengan deras. Mail pun bergegas pulang ke rumah yang tidak jauh dari ladang. Namun, alih-alih hujan berlanjut, begitu tiba di rumah, matahari justru bersinar dengan begitu teriknya, seolah tak pernah ada hujan.

“Saat ini cuaca tidak menentu, kadang dalam satu hari terjadi dua musim bergantian, pagi panas, siang hujan atau begitu juga sebaliknya. Sulit menentukan musim saat ini,” kata Mail, mengeluh.

Kondisi ini bukan hanya sekadar ketidaknyamanan, melainkan telah berdampak langsung pada pola tanam dan panen. Musim kemarau yang seharusnya menjadi waktu untuk mengeringkan hasil bumi menjadi molor, sementara musim hujan yang diperlukan untuk membajak dan menanam justru datang secara tiba-tiba dan singkat. Akibatnya, banyak rencana pertanian dan ladang yang gagal, merugikan para petani dan peladang.

Dampak riil dari ketidakpastian ini adalah pergeseran mata pencaharian. Selain itu juga menurut Mail banyak warga beralih ke pekerjaan lain, buruh pikul di pasar, pekerja lepas harian dan penambang batu tradisional. Pekerjaan di ladang yang mengandalkan kemantapan musim tak lagi dapat diandalkan sepenuhnya untuk menopang kehidupan keluarga.

“Karena kita dekat dengan kota Palu jadi banyak juga pekerjaan lain yang bisa dilakukan dan banyak juga yang menjadi pedagang di pasar tradisional di Palu,” ungkap Mail. Meski demikian, peralihan ini seringkali berarti meninggalkan kearifan dan kemandirian yang telah diwariskan turun-temurun.

Di tengah tantangan tersebut, muncul pula inisiatif-inisiatif lokal yang patut diapresiasi. Salah satu cara yang dilakukan oleh kelompok perempuan di desa Kalora saat ini adalah membuat kebun keluarga di sekitar pemukiman. Kebun-kebun kecil ini menjadi benteng ketahanan pangan di tingkat rumah tangga.

“Ada ibu-ibu yang membuat kebun, menanam rica, daun serai, tomat dan masih banyak lagi,” kata dia. Aktivitas ini tidak hanya menyediakan bahan pangan tambahan untuk konsumsi sehari-hari, tetapi juga memiliki nilai ekonomi yang dapat dijual ke tetangga atau pasar terdekat, sekaligus mengembalikan semangat bertani di lahan terbatas.

Cuaca kerap kali sulit diprediksi, bahkan kata bahwa diawal tahun 2000 tempat tinggalnya dilanda banjir. “Kalau soal air disini masih cukup baik tetapi memang pipanisasi yang belum merata,” tutur dia.

Kedepan kami mencoba mendorong kedaulatan pangan di desa sebagai bagian dari ketangguhan kita sebagai masyarakat adat. “Jika memungkinkan akan di programkan biar ditengah situasi yang tidak menentu masyarakat tetap berdaya,” Tutupnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah

Writer : Arman Seli | Sulawesi Tengah
Tag : Krisis Iklim The Answer Is Us