Berdaya di Hutan Kopi Komunitas Adat Nggolo
03 November 2025 Berita Arman SeliOleh: Arman Seli
Perjalanan dari Kampung Salena menuju Hutan Kopi sejauh 15 Km bukanlah perjalanan yang singkat. Jarak tempuh yang memakan waktu tidak kurang dari 5 jam itu harus dilalui dengan menyusuri lembah, mendaki punggung gunung, dan melintasi jalan di tepi jurang yang menguji nyali. Dalam perjalanan panjang ini, pemandangan di sebelah timur memberikan kontras yang tajam: terhampar perusahaan tambang galian C yang materialnya diperuntukkan bagi pembangunan Ibukota Nusantara di pulau Kalimantan, sebuah simbol industri ekstraktif yang berdiri berhadapan dengan kearifan lokal.
Di tengah ketidakpastian musim yang semakin sulit diprediksi, para peladang di Salena menemukan kembali sebuah ketahanan. Mereka dengan tekun merawat kembali kopi yang bukanlah tanaman baru, melainkan warisan yang sudah ditanam oleh para tetua di beberapa generasi sebelumnya. Seorang peladang, Haerul, membenarkan warisan abadi ini, “Terhitung kopi pertama di tanam di Nggolo sudah ada sejak 3 (Tiga) Generasi dari dari kami, kurang lebih 70 tahun yang lalu kopi ini sudah ada.”
Di Hutan Kopi ini, para peladang sering menyebutnya dengan penuh makna sebagai Lumbunatu, yang artinya adalah lembah di tengah pegunungan. Tempat ini menjadi oasis di tengah ancaman. “Kami buka kembali Lumbunatu karena di Salena mataharinya panas sekali, kalau disini kan ditengah hutan dan lebih lembab dan cocok untuk menanam. Kami juga sedang melakukan peremajaan kopi yang kurang lebih 20 Hektar,” Kata Haerul.
Lumbunatu sebenarnya bukanlah hutan yang perawan sepenuhnya. Tempat ini adalah sebuah warisan yang pernah digarap dengan penuh keringat puluhan tahun lalu dan kini dibangkitkan kembali. Kebangkitannya dilatarbelakangi oleh situasi genting di wilayah adat Nggolo yang sedang mengalami ancaman industri ekstraktif, khususnya Galian C. “Kalau berladang di dekat kampung matahari panas kemudian juga debu tambang menganggu tanaman jadi kami bergeser sekitar 15 KM kearah utara,” sambung Haerul, menjelaskan strategi perpindahan mereka untuk menyelamatkan mata pencaharian.
Dalam upaya memberdayakan diri ini, para peladang tidak sendirian. Mereka didampingi oleh AMAN Kamalisi untuk pengembangan Kopi dan akan melakukan diskusi-diskusi penguatan ekonomi kreatif. Dukungan tersebut telah memberikan hasil yang nyata. “Iya, AMAN Kamalisi bantu kami Mesin pengupas biji dan penggilingan kopi dan kami membentuk Kelompok Usaha Masyarakat Adat (KUMA) Nggolo,” Kata Heru sapaannya.
Melalui kopi, Masyarakat Adat Nggolo tidak hanya melihat sebuah komoditas, tetapi sebuah jalan untuk merestorasi lahan dan kedaulatan. Mereka mengolah kembali lahan yang sudah lama ditinggalkan dan berencana menanam tanaman lain yang cocok dengan kondisi cuaca dan tanah di Lumbunatu, menciptakan sebuah sistem agroforestri yang berkelanjutan. Komitmen ini diwujudkan dengan membangun infrastruktur sederhana sebagai pusat aktivitas. “Kami sudah membangun satu rumah untuk tempat kami memasak dan beristirahat di hutan ini. Kami juga akan menanam tanaman-tanaman lain, seperti cabe, jagung, tomat, kentang dan lain-lain,” Pungkas Dia. Dengan demikian, Hutan Kopi Lumbunatu tidak hanya menjadi simbol perlawanan, tetapi juga menjadi benteng terakhir untuk mempertahankan kehidupan dan warisan leluhur mereka.