Oleh Nuskan Syarif

Di antara aliran sungai Subayang, Riau, terdapat enam kenegerian yang menjadi ruang hidup Masyarakat Adat. Enam kenegerian tersebut adalah Kenegerian Batu Songgan, Kenegerian Malako Kociak, Kenegerian Gajah Bertalut, Kenegerian Aur Kuning, Kenegerian Terusan, dan Kenegerian Pangkalan Serai.

Sungai Subayang dan enam kenegerian, masuk ke dalam Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling yang ditetapkan melalui keputusan Gubernur KDH Tk. I Riau No.149/V/1982 Tanggal 21 Juni 1982, dengan luas 136.000 Ha. Kemudian pada 23 Mei 2014, keluar Keputusan Menteri Kehutanan  No. 3977/Menhut-VIII/KUH/2014 tentang penetapan Kawasan Hutan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling seluas 141.226,25 Ha.

Hutan suaka itu ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah, tanpa melibatkan Masyarakat Adat yang sudah mendiami wilayah itu sejak masa Kerajaan Kuntu Darussalam pada sekitar abad ke 12-14 Masehi. Hutan suaka itu sebatas melindungi hutan, tanpa memberikan perlindungan pada Masyarakat Adat di enak kenegerian.

***

Potret Masyarakat di sungai Subayang menggunakan perahu motor. Dokumentasi AMAN

Empat komunitas Masyarakat Adat di daerah aliran sungai Subayang hanya bisa di tempuh dengan menggunakan perahu motor yang dalam bahasa lokal disebut piau robin. Jarak dari pelabuhan Gema ke berbagai kenegerian antara tiga puluh menit hingga dua setengah jam. Untuk biaya transportasi antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta. Tapi, itu hanya biaya untuk sekali perjalanan. Enam kenegerian ini menjadi daerah terisolir tanpa penerangan listrik dan tanpa jalur jalan darat.

“Kami sudah mengusulkan ke pemerintah pusat untuk pengakuan hutan adat. SK pengakuan dari pemerintahan kabupaten sudah kami dapat, namun masih menunggu penetaan hutan adat oleh pemerintahan pusat melalui Kementrian lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” ujar Datuk Adamrus, yang merupakan Datuk Pucuk Kenegerian Gajah Bertalut Datuk Adamrus ketika ditemui pada 23 Maret 2023.

Masyarakat Adat di empat kenegerian (Kenegrian Batu Songgan, Gajah Bertalut, Aur Kuning, dan Terusan) pada tahun 2018 mengusulkan pengakuan Masyarakat Adat, wilayah adat, dan hutan kepada Pemerintahan Kabupaten Kampar. Dan pada 16 Oktober 2018 muncul SK Bupati tentang Pengakuan dan Penghormatan Masyarakat Adat. Pada tahun 2019 dua komunitas Masyarakat Adat lainnya, yaitu Aur Kuning dan dan Terusan kembali mendapat pengakuan masyarakat dan wilayah adat oleh pemerintahan Kabupaten Kampar.

Sementara, pengusulan pengakuan hutan adat sudah dilayangkan ke KLHK sejak 2018 dan 2019. Namun, karena Perda Kabupaten Kampar nomor 12 Tahun 1999 Tentang Hak Tanah Ulayat tidak memayungi komunitas-komunitas Masyarakat Adat yang ada di Kabupaten Kampar, sehingga saat ini pengakuan Hutan adat empat komunitas ini masih terombang-ambing.

“Hutan menjadi identitas bagi Masyarakat Adat. Setiap kenegerian memiliki imbo gano yang menjadi tempat perlindungan kekayaan hayati dan merupakan zona perlindungan adat. Proses pengakuan hutan adat di dalam kawasan ini kami sangat berharap kepada pemerintah karena tanpa hutan, kami Masyarakat Adat kehilangan identitas,” sambung Datuk Supramantono, Datuk Khalifah Batu Songgan.

Pengurus Daerah AMAN Kampar terus melakukan kerja-kerja advokasi untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan. Salah satunya dengan melakukan berbagai kajian, diskusi, dialog dengan para pengambil kebijakan untuk mendorong adanya perubahan dan revisi Perda Riau No.10 tahun 2015 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Namun, selalu terbentur di tingkat DPRD Provinsi.

Ada banyak kepentingan dari pengusaha dan anggota dewan terhadap wilayah tersebut, sehingga revisi dan perubahan perda ini tidak berjalan. Walaupun ada perwakilan dari anak kemenakan yang terpilih menjadi anggota dewan DPRD Kampar dan Provinsi Riau, tidak serta merta bisa mendorong perubahan. Perjuangan dari luar dan dalam tak selalu menghasilkan kebijakan yang dapat melindungi dan mengakui Masyarakat Adat.

Sejak Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling ditetapkan, kehidupan Masyarakat Adat menjadi berubah. Yang pada awalnya Masyarakat Adat bisa memproduksi sumber pangan seperti padi, umbi-umbian, atau bahkan bumbu dapur dari berladang menjadi terhenti. Masyarakat Adat menjadi konsumtif, menjadi konsumen karena seluruh sumber pangan, sumber protein, bahkan bumbu dapur, harus didatangkan dan dibeli dari kota.

Luas hutan adat yang di ajukan oleh empat kenegerian ini tidak sedikit dan saling terhubung antara kenegerian satu dengan kenegerian yang lainnya. Kenegerian batu Songgan memiliki usulan tiga hutan adat yaitu hutan adat Imbo Kayu Agho dengan luas 483 ha, dan Imbo Sungai Kilin Luas 158 ha. Kenegerian Gajah Bertalut mejadikan seluruh wilayah adat menjadi hutan adat dengan luas 4.414 ha. Kenegerian Aur Kuning memiliki hutan adat sungai Santan dengan luas 1.198 ha, hutan adat sungai Baliang dengan luas 242 Ha, hutan adat sungai Kudoghang dengan luas 387 Ha.

Kenegerian Teruan memiliki hutan adat Imbo Papan seluas 77 ha, hutan adat Bukik Kojan seluas 369 ha, Hutan Adat Imbo Kopuang seluas 321 ha, total usulan hutan adat di empat kenegerian ini adalah 7.649 ha.

Hutan Adat dan Pranata Adat

Dalam pranata adat di Luhak Kekhalifahan Batu Songgan, pembagian tata kelola lahan sudah ada sejak turun temurun hingga saat ini. Tata kelola lahan berbasis adat dimulai dari permukiman, perkuburan, perladangan, hutan cadangan, dan imbo gano atau hutan larangan adat serta lubuk larangan.

Dalam proses pengakuan dan penghormatan Masyarakat Adat, seluruh wilayah adat diklaim oleh pemerintah sebagai Kawasan suaka margasatwa. Masyarakat Adat mengusulan beberapa hutan adat yang menjadi zona perlindungan bagi Masyarakat Adat terhadap kekayaan hayati. Namun, tidak kuatnya perda pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Kampar dan Provinsi Riau, menjadikan proses perjalanan pengusulan mengalami hambatan.

“Kami berharap pemerintah daerah merevisi perda. Ini merupakan modal kami yang berada di kawasan hutan untuk mendapatkan hak kami dalam pengelolaan hutan berupa hutan adat. Empat dokumen usulan hutan adat sudah kami layangkan ke KLHK, namun sudah enam tahun penantian kami tidak kunjung tiba,” sambung Datuk Supramantono.

Masyarakat Adat dan para tokoh adat tak mengetahui apa yang ditakutkan oleh pemerintah pusat atas pengakuan terhadap wilayah adat. Tak tahu juga apa yang ditakutkan dengan sistem pengelolaan hutan melalui berbagai pranata adat yang telah ada sejak ratusan tahun lalu, sejak Republik Indonesia belum berdiri.

“Kami butuh ruang hidup untuk kelayakan hidup kami di wilayah adat kami. Kami butuh sumber perekonomian yang layak untuk keberlangsungan kehidupan anak kemenakan kami. Kami juga rakyat Indonesia yang memiliki hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, sumber ekonomi, hak untuk hidup mardeka di atas wilayah adat kami sendiri,” tegasnya.

Transfer pengetahuan yang dilakukan perempuan adat. Dokumentasi AMAN

Perempuan Adat dan Wilayah Adat

Perempuan adat merupakan bagian penting dalam pranata adat istiadat di Luhak Batu Songgan. Perempuan tertua dan yang dituakan dalam satu kenegerian menjadi siompu atau bundo kanduang. Siompu dalam adat menjadi perempuan yang disegani dan pengambil keputusan terkuat jika para kaum laki-laki sudah tidak bisa memberikan dan mengeluarkan keputusan di sebuah perkara di kenegerian.

Perempuan adat memiliki ruang-ruang khusus dalam pengelolaan lahan, seperti boncah umbai yang merupakan salah satu syarat berdirinya kenegerian dan boncah umbai ini di khususkan buat kaum perempuan. Pandan menjadi sumber utama untuk anyaman tikar tradisional masyarakat di sebuah kenegerian dan itu dikerjakan oleh kaum perempuan yang ilmunya diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang.

Keterlibatan kaum perempuan dalam pengakuan Masyarakat Adat, wilayah adat, dan hutan adat sangat penting. Suara-suara perempuan walau bergaung kecil namun sangat dihormati. Kaum perempuan banyak memberikan masukan pada informasi-informasi tata Kelola satu hutan adat. Walau tidak ada yang khusus diberikan kepada kaum perempuan, namun ada titik-titik ruang pengelolaan perempuan adat yang tidak bisa disepelekan oleh kaum laki-laki karena titik-titik ruang kelola itu merupakan sumber perekonomian penunjang keluarga.

Adalah anak-anak sungai yang dimanfaatkan kaum perempuan untuk mencari lauk pauk bagi keluarga, dan beberapa bagian pinggiran sungai besar dimanfaatkan untuk bercocok tanam untuk kebutuhan dapur seperti bumbu dan sayur mayur. Kaum perempuan Adat tidak bisa dipandang sebelah mata dalam perputaran perekonomian keluarga, tidak sedikit perempuan adat yang ikut terlibat menjadi tulang punggung keluarga.

Di dalam proses pengusulan pengakuan dan perlindungan Masyarakat adat, kaum perempuan mewarnai informasi yang dirangkum. Memberikan informasi dan usulan kepada tim pengumpulan data dan sejarah, seperti bagaimana keterlibatan kaum perempuan di dalam sebuah prosesi adat serta beberapa kegiatan adat istiadat.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat Kampar, Riau.