Siaran Pers Sidang Lanjutan Judicial Review Undang-Undang Kehutanan (UUK)
19 November 2012 Berita Abdon NababanJakarta. Sidang lanjutan Judicial Review Undang-Undang Kehutanan (UUK) No 41 tahun 1999 dengan pemohon Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) kembali dilaksanakan hari Rabu (27/06/2012) pukul 14.00 Wib di Mahkamah Konstitusi. Pada sidang lanjutan kali ini, pemohon menghadirkan dua orang saksi korban yakni Kaharuddin T dari komunitas adat Punan Dulau dan Jaelani dari komunitas adat Orang Rimba. Sedangkan satu orang saksi ahli yang dihadirkan pemohon adalah Dr. Maruarar Siahaan. Dr. Maruarar dalam kesaksiannya memberi penjelasan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat yang menjadi identitas budaya harus dihormati. Karena konstitusi telah menegaskan pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat dengan hak-hak yang dikenal juga dalam konvensi internasional, harus dapat ditentukan secara konseptual, untuk kemudian dilindungi secara efektif. Pengakuan juridis secara Internasional tersebut ditemukan dalam Konvensi ILO Nomor 169 tahun 1989 Tentang Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries. ”Dilihat dari semangat untuk melindungi yang lemah dalam kaitan hubungan dengan investor yang kerap kali berhadapan dengan mereka, perlindungan yang dimaksud juga harus relevan dengan perlindungan masyarakat hukum adat. Hal demikian harus mendorong semangat untuk menemukan kembali makna Pasal 18B ayat (2) sedemikian rupa sehingga tujuan dibentuknya Negara untuk melindungi segenap bangsa dapat lebih diwujudkan, pungkas Maruarar Siahaan. Saksi korban pertama yang menyampaikan kesaksiannya adalah Kaharuddin T dari komunitas adat Punan Dulau. Komunitas adat Punan Dulau adalah komunitas adat yang hidupnya tergantung pada sumber daya hutan. Masyarakat adat Punan memiliki ketergantungan yang tinggi pada hutan, yang tergambar dari falsafah,” Lunang telang otah ine,” artinya hutan adalah air susu ibu, tak ada hutan maka matilah orang Punan. Masyarakat adat Punan Dulau adalah korban dari kebijakan restllement atau pemindahan penduduk lokal. Mereka dipindahkan pada 1970-an oleg Departemen Sosial. Alasannya agar masyarakat yang tinggal di pedalaman mendapatkan akses dan fasilitas yang bisa dijangkau oleh program pemerintah. “Namun, tidak semua masyarakat Punan Dulau pindah ke wilayah yang sudah ditentukan oleh pemerintah tersebut, ada 40 Kepala Keluarga lagi memilih untuk bertahan dan tetap tinggal di wilayah adat yang memiliki hutan luas, masih lebat lestari di hulu sungai Magong tersebut,” kata Kaharuddin. Pada tahun 1988, salah satu perusahaan kayu besar bernama PT. Intracawood Manufacturing beroperasi wilayah hutan adat milik orang Punan Dulau. Perusahaan ini mengantongi izin konsesi HPH seluas 226.326 hektar, berlaku untuk kurun waktu 75 tahun. Setelah diprotes, Menhut kemudia merevisi izin ini menjadi 45 tahun. “Masyarakat adat Punan Dulau sudah kehilangan sumber kehidupannya akibat operasi perusahaan kayu tersebut. Kini tak ada lagi yang tersisa di hutan. Semua sumber daya hutan habis dibabat. Kini orang Punan Dulau hidup miskin di atas tanah adatnya,” lanjut kepala desa ini. Saksi korban kedua yang memberi kesaksian berasal dari komunitas adat Orang Rimba. Jaelani, atau akrab disapa dengan Tumenggung Tarib, memberi kesaksian tentang kehidupan komunitasnya yang hidup bergantung pada sumber daya hutan. Orang Rimba adalah komunitas adat yang hidup dari hasil meramu hutan. Mereka tinggal dan hidup dikawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), Jambi. Sejak ruang hidup mereka dinyatakan sebagai kawasan konservasi, akses Orang Rimba terhadap hutan dibatasi. “Kami menempati hutan yang kemudian oleh pemerintah ditetapkan sebagai kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga akhir tahun 2010, paling sedikit terdapat 50 kelompok kecil “Orang Rimbo” yang menyebar di kawasan TNBD, bahkan kami terpaksa tinggal di desa-desa sekitar TNBD untuk memulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa,” kata Temenggung Tarib. “Kami semakin terpinggirkan karena luasan hutan tempat kami tinggal dan mencari kehidupan makin sedikit,” lanjut Temenggung Tarib. Bagi “Orang Rimbo” hutan adalah rumah dan sumber kehidupan. Sebagian besar”Orang Rimbo” tinggal di hutan dan menerapkan kearifan lokal dan hukum adat warisan leluhur mereka. Jakarta, 27 Juni 2012 Hormat Kami, Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Abdon Nababan Sekretaris Jendral