Pembelaan Hukum Masyarakat Adat: Gunakan Ruang Sidang untuk Mendidik para Hakim
27 September 2020 Berita NRTPemahaman para hakim terhadap hak-hak Masyarakat Adat tidak pernah sampai ke permasalahan substansi. Karena itu, para advokat yang membela kasus-kasus perampasan hak Masyarakat Adat harus menggunakan ruang-ruang sidang untuk mendidik para hakim agar mereka memahami dan membuat keputusan hukum yang adil bagi Masyarakat Adat. Demikian antara lain inti pernyataan yang terungkap dalam sarasehan bertema “Peran Advokat Muda Probono dalam Menangani Kasus Pelanggaran Hak-Hak Masyarakat Adat” yang berlangsung secara daring, Sabtu, 26/9/2020. Sarasehan ini merupakan rangkaian dari kegiatan RAKERNAS AMAN Ke-VI, sekaligus memperingatai tujuh tahun berdirinya organisasi Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). Dalam Sarasehan tiga advokat berbagai pengalaman dalam membela kasus-kasus perampasan hak dan kriminalisasi terhadap Masyarasakat Adat di berbagai wilayah di Indonesia. Mereka adalah Santi Cinthya Dewi, yang membela perampasan tanah milik Masyarakat Adat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Kemudian Ibrahim, advokat Masyarakat Adat Seko, di Tana Luwu, Sulsel, yang wilayah adatnya diambil untuk pembangunan PLTA Seko dan mengalami kriminalisasi yang sangat masif. Advokat ketiga adalah Lourry Da Costa yang menangani sangat beragam kasus pelanggaran hak-hak Masyarakat Adat yang berkonflik dengan perusahaan-perusahaan dan aparat keamanan di Papua Barat. Mulai dari kasus kehutanan, perampasan wilayah adat untuk perkebunan sawit, ijin tambang, dan sebagainya. Beberapa dari kasus tersebut menelan korban jiwa dari Masyarakat Adat. Sarasehan tersebut dibuka secara langsung oleh Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN. Dalam pemaparannya, Rukka menyampaikan bahwa saat ini hak-hak Masyarakat Adat masih terhenti sebatas konstitusi yang mana Masyarakat Adat seperti terjebak dalam sebuah rumah besar yang banyak kamarnya tapi tidak saling terhubung, ibarat terjebak di dalam labirin yang tidak berkesudahan di dalam republik Indonesia. “Saya ingat ketika Jokowi terpilih sebagai Presiden periode pertama, kita menyerahkan 350 kasus pada waktu itu. Intinya, pada waktu itu kita minta untuk diberikan amnesti, karena mereka (Masyarakat Adat) dianggap kriminal secara politik karena mempertahankan wilayah adat dan bukan kriminal murni”, ujar Rukka. “PPMAN dari awal dibentuk memang untuk menjadi perisai dan mata tombak. Perisai secara aktif untuk melindungi Masyarakat Adat bukan hanya pada upaya advokasi litigasi dan non litigasi saja, juga menjadi tombak untuk mendobrak kebuntuan sistem hukum yang tidak berpihak pada Masyarakat Adat”, jelas Rukka. Turut berbicara dalam Sarasehan, Ketua Badan Pelaksana PPMAN Nur Amalia, Wakil Ketua Dewan Aman Nasional (DAMANNAS) Abdon Nababan, serta advokat senior Sugeng Teguh Santos yang merupakan Ketua Umum Peradi Pergerakan. Baik Rukka, Nur Amalia, Abdon, dan Sugeng sama-sama sependapat bahwa para advokat yang tergabung dalam PPMAN perlu melakukan perang hukum semesta, bersama-sama melakukan gugatan dan pembelaan untuk melawan perampasan hak-hak Masyarakat Adat di seluruh Nusantara. Dengan demikian akan terjadi pembaruan hukum yang sifatnya nasional. “Itu sudah tugas advokat. Dalam kode etik advokat disebut jelas advokat itu human right defender, pembela hak azasi, termasuk hak-hak Masyarakat Adat,”ujar Sugeng Teguh Santosa. Untuk melakukan gugatan-gugatan dan pembelaan itu, menurut Abdon Nababan, para advokat perlu diperkuat dan melengkapi pengetahuan dengan fakta-fakta sejarah dan data etnografis yang kuat, sehingga bisa membuka wawasan dan mendidik para hakim. “Pembela Masyarakat Adat punya sumber daya hukum yang luar biasa. Jadi, harus betul-betul sampai ke substansi,” ujar Abdon. Sejalan dengan pendapat Abdon, Sugeng menyarankan, langkah terbaik adalah mendidik para advokat yang berasal dari Masyarakat Adat itu sendiri. PPMAN terbentuk 26 September 2013 melalui Konferensi Nasional Pertama para Advokat Masyarakat Adat Se-Nusantara yang dilaksanakan di Kampung Adat Sassa’, Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Pada konferensi pertama itu bergabung 35 advokat dari seluruh Nusantara, yang menyatakan bersedia menjadi pengacara probono untuk membela hak-hak Masyarakat Adat. Saat ini ada 110 advokat yang bergabung dalam PPMAN. Nur Amalia pun berharap akan lebih banyak advokat, terutama para advokat muda yang ikut bergabung di PPMAN. (NRT)*