Kerentanan Masyarakat Adat di Tengah Wabah
04 Mei 2020 Debat Capres Nurdiyansah DalidjoNurdiyansah Dalidjo Relawan AMAN
COVID-19 akhirnya mewabah juga di Indonesia. Dan kehadirannya pun disambut dengan segala carut marut penanganan yang tampaknya menegaskan berbagai kelemahan pemerintah. Saat ini, kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) telah diterapkan. Setelah untuk pertama kalinya diberlakukan di Provinsi DKI Jakarta, sejumlah daerah kemudian turut mengikuti pemberlakuan PSBB yang diiringi dengan turunnya dukungan Bantuan Sosial (Bansos) Khusus berupa sembako dari pemerintah yang pendistribusiannya banyak menuai kritik, mulai dari persoalan pendataan hingga penyalurannya. Sebaran virus Corona yang telah berlangsung selama sekitar dua bulan sejak awal Maret lalu pun dinilai banyak pihak terlambat direspon secara serius, cepat, dan tepat. Kini, situasi krisis terlanjur melanda. Dampak COVID-19 merambah berbagai sektor. Selain membuat kewalahan sektor kesehatan, terutama dalam hal akses perawatan (rumah sakit), wabah juga menyebabkan sejumlah industri tak dapat bergerak. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus terjadi. Ancaman kelaparan pula membayang-bayangi masyarakat di tengah situasi ekonomi yang sulit dan serba tak menentu.
Kerentanan Berganda Masyarakat Adat
Selama masa pandemik berlangsung, Masyarakat Adat menjadi salah satu kelompok yang paling rentan terhadap dampak buruk COVID-19. Jika tanpa adanya penyakit tersebut Masyarakat Adat telah bergulat dengan berbagai masalah kompleks, mencakup ketertindasan, kekerasan, pemiskinan, eksploitasi, stigma, perampasan lahan, hingga kriminalisasi sebagai akibat belum diakuinya secara penuh hak Masyarakat Adat oleh negara, kini kerentanan itu pun berlipat ganda. Hal itu disebabkan oleh adanya keterbatasan, bahkan ketiadaan akses atau fasilitas kesehatan yang dapat dijangkau oleh Masyarakat Adat. Sehingga, masuknya COVID-19 (dari kota atau wilayah episentrum sebaran virus) ke dalam komunitas adat, akan dapat menimbulkan efek yang jauh lebih buruk dibandingkan masyarakat pada umumnya akibat kesenjangan dalam perawatan maupun akses kesehatan. Saat diwawancarai Radio Gaung AMAN pada 10 April 2020, Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan, “Situasi Masyarakat Adat di wilayah adat itu minim fasilitas kesehatan, bahkan tidak punya Puskesmas. Maka, kalau penyakit ini (COVID-19) masuk wilayah adat, bisa dipastikan akan banyak sekali Masyarakat Adat jadi korban karena jangkauan dan akses yang sulit.” AMAN sendiri telah sigap merespon situasi dengan menunda penyelenggaraan RAKERNAS di Ende, NTT pada Maret 2020 lalu. Selain itu, Rukka juga memberikan serangkaian instruksi kepada seluruh komunitas adat anggota AMAN, antara lain menutup segera pintu keluar-masuk kampung dan hanya membukanya untuk kepentingan mendesak, meminta para tabib untuk bekerja sama membuat ramuan tradisional yang berfungsi memperkuat daya tahan tubuh, memastikan kecukupan pangan, serta meminta warga adat untuk menanam tanaman yang dapat dipanen dalam jangka pendek dan bisa diawetkan. “Dampak terburuk itu pastinya akan banyak yang mati tak terurus,” ucap Rukka. “Masyarakat Adat terancam punah karena populasinya akan makin berkurang. Selain mati karena COVID-19, ya, bisa saja mati karena kelaparan. Untuk Papua secara khusus, bisa berpotensi memusnahkan suku-suku dengan populasi kecil…. Jadi, Masyarakat Adat akan mengalami dampak yang serius jika COVID-19 ini masuk ke dalam wilayah adat.” Selain Papua, tingkat kerentanan paling tinggi di kalangan Masyarakat Adat, adalah untuk kategori Masyarakat Adat yang terancam punah, Masyarakat Adat yang tanahnya telah habis diambil perusahaan pertambangan atau perkebunan, Masyarakat Adat yang terpaksa menjadi petani sawit, dan Masyarakat Adat yang berada di pulau-pulau kecil. Saat ini, pemantauan untuk kasus COVID-19 tengah dilakukan oleh AMAN melalui Unit Tanggap Darurat yang terus melakukan pendataan dan komunikasi dengan BNPB maupun sosialisasi dan berbagai aksi lainnya dalam merespon bencana nasional ini di kalangan komunitas adat. AMAN telah mengatur strategi untuk komunitas adat yang mempunyai surplus bahan pangan agar dapat mendukung komunitas sekitar yang tak punya cukup pangan. AMAN pun sedang menggalang dukungan untuk penanganan wabah serta menghimpun relawan dari kalangan pemuda adat. Tetapi, di sisi lain, krisis COVID-19 juga memberikan pembelajaran berharga seperti yang diutarakan oleh Rukka. “Selama ini, kita banyak berjuang memastikan tidak ada pengrusakan hutan dan memastikan wilayah adat tidak habis untuk dieksploitasi, tapi itu terus dilakukan oleh pemerintah. COVID ini sedang menunjukkan Ibu Bumi bagaimana caranya: manusia tidak boleh bergerak, pasar modal berjatuhan, rupiah runtuh.” Ia menegaskan bahwa situasi yang saat ini sedang terjadi menunjukkan kegagalan globalisasi dan ekonomi berbasis pasar. “Maka, paradigma pembangunan di Indonesia dan dunia harus berubah,” tambahnya. Menurutnya kita perlu kembali pada ekonomi berbasis lokal di mana Masyarakat Adat dapat saling mendukung dengan masyarakat atau kawasan sekitar. Tentu saja, itu berarti menegaskan kembali teriakan AMAN bersama Masyarakat Adat di seluruh Indonesia bahwa Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat perlu segera disahkan. Rukka juga mengutarakan bahwa pembahasan Undang-Undang yang menganak-emaskan perusahaan, seperti Omnibus Law, harus dihentikan.
***
Nurdiyansah Dalidjo adalah penulis lintas isu. Di sela-sela kegemarannya bertualang dan menggali sejarah rempah-rempah, ia terkadang juga berbagi pengalaman personalnya seputar cinta atau relasi queer. Silakan ikuti keseharian kicauannya melalui Twitter (@nurdiyansah) dan Instagram (@penjelajah_rempah) atau di websitenya: www.PenjelajahRempah.com