Policy Paper: Pembentukan Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat di Kabupaten Kepulauan Aru; Upaya Mewujudkan Pembangunan Daerah yang Berkeadilan
21 November 2019 Hukum Infokom AMANRingkasan Eksekutif
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika merupakan filsafat dasar dalam membangun Indonesia sebagai suatu negara bangsa. Kebhinnekaan adalah sebuah realitas sosial, sedangkan ke Tunggal-ika-an adalah sebuah cita-cita, sekaligus sebagai jembatan emas membangun bangsa Indonesia yang berdaulat, berdikari dan bermartarbat. Makna dari Kebhinnekaan tersebut terkristalisasi dengan lahirnya pengakuan dan perlindungan dari negara tentang keberadaan Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya di dalam konstitusi UUD 1945. Secara eksplisit Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, menempatkan hukum adat sebagai sumber hukum tanah nasional. Pengakuan terhadap hak ulayat Masyarakat Adat menjadi hal yang fundamental dalam pengelolaan sumber daya alam. Berbagai hasil-hasil penelitian telah menunjukkan bahwa Masyarakat Adat telah mampu membuktikan dirinya sebagai entitas yang mampu menjalankan tata negara dan pengurusan sumber-sumber agraria di dalam wilayah adatnya secara berkelanjutan. Ketentuan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk mengakui, menghormati dan melindungi keberadaan Masyarakat Adat dan hak-hak tradisionalnya. Kedua ketentuan tersebut di atas bermakna bahwa negara tidak boleh mengabaikan hak asal-usul Masyarakat Adat dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Pembentukan Peraturan Daerah tentang pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Adat merupakan jembatan untuk menuntaskan proses administrasi pengakuan hak Masyarakat Adat yang telah dideklarasikan di dalam konstitusi. Muara dari pembentukan hukum Masyarakat Adat melalui perda adalah merupakan salah-satu pengejewantahan cita-cita, harapan dan mimpi-mimpi tentang membangun bangsa yang berkeadilan, menciptakan kepastian hukum dan kemanfaatan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh tumpah darah Indonesia.
Kata Kunci: Pengakuan dan Perlindungan hak Masyarakat Adat, Pembentukan Perda, Pembangunan yang berkeadilan.
Pendahuluan
Kabupaten Kepulauan Aru merupakan gugusan kepulauan yang dibatasi dengan selat-selat yang oleh Masyarakat Adat Aru selalu menyebutnya dengan sebutan sungai. Luas Kabupaten Kepulauan Aru kurang lebih 55.270,22 KM2 dengan luas daratan kurang
lebih 6.425,77 KM2. Kepulauan Aru terdiri dari 187 pulau-pulau besar dan kecil. Dari 187 pulau-pulau besar dan kecil tersebut, sebanyak 89 pulau yang berpenghuni dan 98 pulau lainnya tidak dihuni. Secara historis, Aru merupakan suatu daerah penting bagi perdagangan pada zaman dulu karena memiliki sumber daya alam yang melimpah, keanekaragaman hayati serta flora dan fauna yang sangat indah. Berdasarkan catatan sejarah Maluku, Aru menjadi wilayah yang menjadi kontak pertama antara orang-orang Eropa dengan Kepulauan Maluku dan Papua. [1]
[caption id="attachment_44685" align="alignnone" width="1000"] Masyarakat Adat Kepulauan Aru / Dok: Haroli Darakay[/caption]
Hutan di Kepulauan Aru merupakan hutan tropis yang memiliki kesamaan dengan pulau Papua New Guniea dan Australia. Secara umum jenis-jenis kayu di Kepulauan Aru terdiri dari kayu Merbau, Matoa, Ketapang, Melur dan lain-lain. Orang-orang Aru menyebut hutan sebagai Rimba Aru, tempat mengambil kayu untuk keperluan membuat perahu Kora-Kora atau Belang, sedangkan kekayaan flora dan fauna (endemic) kepulauan Aru yang masih dapat ditemukan hingga saat ini seperti burung Cendrawasih, burung Kasuari, burung Kakatua dan lain-lain. Karena keindahan alamnya inilah Aru menjadi salah-satu tempat destinasi bagi wisatawan baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Suatu potensi daerah yang seharusnya dijaga oleh semua pihak, agar wilayah tersebut tetap terjaga kelestariannya dan dapat digunakan sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah.
Keberadaan Masyarakat Adat di Kepulauan Aru
Persekutuan Masyarakat Adat di Kab. Aru pada awalnya terbentuk berdasarkan ikatan genealogis dan territorial. Masyarakat genealogis berstatus “Hukum Bapak” yang menganggap dirinya Marga (fam). Kepulauan Aru adalah Jargoria atau Jargaria. Di dalam Jargoria atau Jargaria terdapat Jar yang berarti Aru dan Juir yang berarti orang-orang, marga-marga, mata-mata belang, dan rumpun-rumpun. Komunitas Masyarakat Adat di Aru hidup dan tersebar di seluruh Kepulauan Aru, mulai Godor Juring sampai Juring Toi-Toi. Orang-orang Aru (Jar-Juir) telah menempati wilayah adatnya yang disebut dengan Jargoria-Jargaria secara turun-temurun, jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan hak ulayat (petuanan) yang dimilikinya, orang Aru telah membagi tanah, hutan dan laut kepada marga-marga, rumpun-rumpun, mata-mata belang, dan rumpun-rumpun yang mendiami pulau- pulau di Aru.
Struktur kelembagaan adat pada Masyarakat Adat di Kabupaten Kepulauan Aru diketuai oleh ketua marga/mata belang. Proses terpilihnya tetua adat berdasarkan status sosial yang dimiliki berasal dari ketentuan leluhur atau kesepakatan terdahulu. Dalam lingkup wilayah adat (nata/fanua) terdapat satu ketua adat yang ditokohkan oleh seluruh anggota nata yang terdiri dari beberapa mata belang. Biasanya, tokoh yang dijuluki tetua adat ini berasal dari mata belang yang bertindak sebagai tuan tanah. Masing-masing tetua adat dipercaya untuk mengelola wilayah patuanan. [2]
Jenis petuanan di Masyarakat Adat Kepulauan Aru, yakni petuanan mata belang dan petuanan kampung/nata/fanua. Petuanan mata belang merupakan tanah ulayat dan hanya dapat dimanfaatkan oleh anggota dari mata belang yang memiliki wilayah tersebut, sedangkan petuanan kampung merupakan wilayah ulayat yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh penduduk yang mendiami kampung tersebut. Kedua petuanan ini memiliki aturan pemanfaatan bagi pihak di luar mata belang atau nata/fanua. Pada beberapa kampung yang ditemui, masyarakat di dalamnya mengusahakan penghidupannya dari petuanan kampung dan petuanan mata belang, sedangkan beberapa lainnya hanya dapat mengakses petuanan mata belangnya saja karena kampungnya meruapakan wilayah petuanan mata belang lainnya. [3]
Masuknya pengaruh dari luar terutama dari Kesultanan Tidore membawa perubahan dalam struktur pengelompokan dan perserikatan Masyarakat Adat yang lebih besar, yang dikenal dengan istilah Persekutuan Ursia dan Urlima. Ursia merupakan persekutuan Masyarakat Adat yang bermukim di Aru Utara, sedangkan Ur-Lima merupakan persekutuan Masyarakat Adat yang mendiami Aru Selatan. Orang Aru hidup dengan ajaran leluhur yang dikenal dengan istilah Sita Kaka Walike dengan hubungan Pela darah atau hidup gandong yang masih dipertahankan hingga saat ini.
[caption id="attachment_44686" align="alignnone" width="1024"] Dok: Haroli Darakay[/caption]
Hak Konstitusional Masyarakat Adat
Konstitusi UUD 1945 telah memberikan pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Adat di Indonesia sebagai subjek hukum yang berbeda dengan subjek hukum lainnya. Soepomo dan Muhammad Yamin adalah dua tokoh pendiri bangsa yang secara gigih memperjuangkan keberadaan Masyarakat Adat beserta hak asal-usulnya dalam pembentukan Konstitusi UUD 1945.
Mengenai persekutuan hukum (Masyarakat Adat), Muhammad Yamin, dalam sidang BPUPKI menyampaikan:
“Kesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu, dapat diperhatikan pada susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau Jawa, 700 Nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di Ambon, di Minahasa, dan lain sebagainya. Susunan itu begitu kuat sehingga tidak bisa diruntuhkan oleh pengaruh Hindu, pengaruh feodalisme dan pengaruh Eropa’’.
Gagasan dari Soepomo dan Muhammad Yamin tersebut dikristalisasi menjadi Pasal 18 UUD 1945 [4] berbunyi:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan membentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang Undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa”.
Dari pendapat tersebut di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa Panitia Perancang UUD 1945 telah sepakat, antara lain: [5] a). Indonesia akan dibagi menjadi daerah besar dan daerah kecil; b). Pembagian atas daerah besar dan daerah kecil tersebut harus berdasarkan pada permusyawaratan; c). Di samping berdasarkan permusyawaratan, pembagian atas daerah besar-daerah kecil tersebut, juga harus mengingati hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa; d). Dalam pembagian daerah harus mengingat daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan asli.
Dalam amandemen UUD 1945, penegasan hak-hak pengakuan Masyarakat Adat tercantum pada Pasal 18B ayat (2) berbunyi:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat hukum Adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.” [6] Selanjutnya, Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 juga memberikan penegasan;
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman”.
Kedua ketentuan di atas memberikan arti bahwa negara mengakui dan menghormati hak tradisional. Meskipun tidak menjelaskan tentang makna hak tradisional ini, jelas bahwa hak dimaksud adalah hak yang melekat pada suatu kesatuan Masyarakat Adat; yang tidak merupakan pemberian negara baik dimasa pra kolonial, kolonial atau pasca kolonial. Salah satu bentuk hak tradisional itu adalah hak untuk menguasai, mengurus dan memanfaatkan wilayah adat (dikenal sebagai hak ulayat). [7] Negara berkewajiban memberikan jaminan pengakuan, perlindungan, pemenuhan hak tradisional Masyarakat Adat tersebut.
[caption id="attachment_44687" align="alignnone" width="712"] Dok: Haroli Darakay[/caption]
Pengakuan Hak Masyarakat Adat dalam Pengelolaan SDA di Pulau-pulau Kecil dan Pesisir
Masyarakat Adat Aru adalah sekelompok orang yang mendiami wilayah adat di pulau-pulau kecil dan pesisir. Dalam hubungan hak Masyarakat Adat atas wilayah adatnya, UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (UU PWP3K) mengakui Masyarakat Adat sebagai salah satu kategori masyarakat yang mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Masyarakat Adat mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan dengan menerapkan hak ulayat laut mereka.
Pendelegasian HMN kepada Masyarakat Adat sejalan dengan Pasal 2 ayat (4) UUPA 1960, yang berbunyi; “Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”. Lebih lanjut Pasal 3 UUPA menyatakan: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi”.
Kendati demikian, hak ulayat Masyarakat Adat tetap harus tunduk pada kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. Pembahasan mengenai UU PWP3K ini penting untuk pengakuan terhadap penguasan Masyarakat Adat atas hutan-hutan mangrove yang ada di wilayah pesisir ataupun hutan-hutan yang ada di pulau-pulau kecil. Dengan kata lain, pengakuan hutan adat di wilayah Masyarakat Adat tidak sekedar mengacu pada UU No.41/1999 tentang Kehutanan. [8]
Bagaimana bentuk pendelegasian HMN kepada Masyarakat Adat? Putusan MK memberikan limitasi pendelegasian HMN kepada Masyarakat Adat yaitu harus diawali dengan adanya pengakuan pemerintah daerah melalui pembentukan produk hukum daerah. Hal yang sama juga ditegaskan dalam Putusan MK. 35 Tahun 2012 bahwa pengaturan keberadaan masyarakat dengan peraturan pemerintah dan peraturan daerah dapat dibenarkan sepanjang peraturan tersebut menjamin kepastian hukum yang berkeadilan bagi Masyarakat Adat. MK menilai bahwa konsepsi penguasaan oleh negara merupakan penterjemahan dari konsepsi hukum publik yang berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” yang dianut dalam UUD 1945 [9] termasuk kepada kelompok Masyarakat Adat.
Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat
Dari gambaran-gambaran di atas, sangat jelas bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam melakukan pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat. Bahkan Secara ekplisit UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menempatkan kewenangan pemerintah daerah dalam tiga bidang pengaturan tentang Masyarakat Adat dan wilayah adat. Ketiga bidang tersebut meliputi: bidang pertanahan, lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat. Ketiganya merupakan urusan wajib yang bersifat non-pelayanan dasar bagi pemerintah daerah.
Di bidang pertanahan: Pemerintah provinsi dan kabupaten mempunyai kewenangan untuk menetapkan tanah ulayat. Di bidang lingkungan hidup; Pemerintah daerah berwenang melakukan penetapan pengakuan Masyarakat Adat, kearifan lokal, atau pengetahuan tradisional terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Di bidang pemberdayaan masyarakat; Pemerintah daerah berwenang menetapkan desa adat dan melakukan pemberdayaan untuk lembaga adat. Dengan demikian pengurusan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya merupakan kewenangan atributif atau kewenangan yang melekat pada pemerintah daerah, tanpa harus menunggu pendelegasian dari pemerintah pusat atau menunggu kehadiran Undang-Undang mengenai Masyarakat Adat.
Pemerintah Kab. Kepulauan Aru, sebenarnya telah memulai inisiatif pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Adat di Kab. Kepulauan Aru dengan menerbitkan SK. No.180/85 Tahun 2019 Tentang Panitia Masyarakat Adat di Kab. Kepulauan Aru. Tugas kepanitiaan Masyarakat Adat sebagaimana diatur dalam SK ini yaitu melakukan identifikasi dan verifikasi keberadaan Masyarakat Adat di Kab. Aru. Tetapi dengan pengaturan hukum keberadaan Masyarakat Adat diberbagai peraturan perundang-undangan yang menghendaki pengaturan tersebut dengan peraturan perda, maka pembentukan panitia Masyarakat Adat yang akan melakukan penelitian keberadaan Masyarakat Adat tersebut dapat digunakan sebagai langkah awal penyusunan pembentukan rancangan Perda tentang Masyarakat Adat di Kab. Aru. Dari sisi kedudukan hukum, pengakuan dengan Perda semakin memperkuat komitmen pemerintah daerah Kab. Kepulauan Aru dalam pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak Masyarakat Adat.
Prinsip pembentukan perda tentang Masyarakat Adat di Kab. Kepulauan Aru, haruslah mencerminkan tiga nilai dasar dari cita hukum yaitu; keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Tiga nilai dasar tersebut harus terintegrasi dan tercermin dalam penyusunan perda yaitu nilai keadilan (aspek filosofis), kepastian (yuridis), dan kemanfaatan (sosiologis).
Untuk dapat memenuhi tiga aspek tersebut di atas, maka arah pengaturan dalam pembentukan Perda tentang Masyarakat Adat di Kab. Kepulauan Aru, harus mempertimbangkan prinsip-prinsip, sebagai berikut:
Pertama, Prinsip Partisipasi; Partisipasi merupakan keterlibatan Masyarakat Adat dalam setiap proses pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka. Partisipasi yang ideal adalah ‘partisipasi penuh dan efektif’ dalam pembangunan di mana setiap orang di dalam masyarakat terlibat dalam semua tahapan dan menjadi pihak yang menentukan dalam pengambilan keputusan atas segala program atau proyek yang dilakukan di wilayah kehidupan mereka. Prinsip partisipasi ini tidak berarti bahwa Masyarakat Adat anti pembangunan dan investasi. Kehadiran investasi adalah suatu hal yang sangat penting untuk mendorong pembangunan daerah, tetapi kehadiran investasi tersebut tidak boleh mengabaikan keberadaan hak-hak Masyarakat Adat. Pembentukan Perda tentang Masyarakat Adat justru akan memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam yang hendak berinvestasi di atas wilayah adat.
Kedua, Prinsip keadilan; Keadilan dalam konteks Masyarakat Adat menghendaki berfungsinya mekanisme kontrol oleh rakyat terhadap seluruh penyelenggaraan negara. Dan hal itu berlangsung melalui dua jalur, yaitu jalur hukum dan jalur politik. Pertama, melalui proses peradilan yang jujur dan tegas yang memperlakukan seluruh warga Negara Indonesia sama di hadapan hukum. Kedua, melalui mekanisme pemilihan umum yang jujur, bebas dan rahasia. Prinsip keadilan ini juga meliputi pengalokasian ruang yang adil bagi Masyarakat Adat.
Ketiga, Prinsip Kesetaraan/Non-Diskriminasi; Pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat dan haknya harus disusun dengan menggunakan dua pendekatan sekaligus, yaitu pendekatan administratif dan pendekatan hak asasi manusia. Pendekatan administratif mengharuskan negara memberi ruang pada Masyarakat Adat untuk mengatur diri sendiri. Hak untuk mengatur diri sendiri tidak bermakna sebagai gerakan untuk melepaskan diri dari prinsip NKRI, melainkan hak untuk menjalankan hak asal-usulnya, seperti menjalankan peradilan adat dan pengambilan keputusan melalui musyawarah adat, dan lain-lain. Sementara pendekatan hak asasi manusia mengharuskan negara untuk mengambil langkah-langkah hukum untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap Masyarakat Adat. Pendekatan hak asasi manusia juga mengharuskan negara untuk memajukan Masyarakat Adat.
Keempat, Penghormatan terhadap HAM; Di dalam Konstitusi UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah amandemen menegaskan perlunya pemenuhan hak asasi manusia. Kewajiban negara dalam Konstitusi maupun dalam instrumen HAM telah sangat jelas diuraikan dalam tiga kewajiban utama, yaitu menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dan kebebasan dasar warga negara. Oleh karena itu, dalam konteks Masyarakat Adat perlu diletakkan dalam prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana tercantum dalam sila kelima Pancasila.
Kelima, Keberlanjutan Lingkungan; Prinsip keberlanjutan lingkungan adalah sebuah prinsip yang bersifat penegasan atas kesadaran global bahwa nasib manusia sesungguhnya tergantung pada kemampuannya mengelola lingkungan hidup, tempat dia berdiam dan hidup di dalamnya. Lingkungan yang tidak memenuhi syarat-syarat minimal untuk mendukung kehidupan akan mengakibatkan bencana bagi manusia. Prinsip ini mesti dilakukan secara integratif oleh semua pihak dalam pembangunan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa prinsip ini menghimbau manusia untuk bijaksana dalam melihat eksistensi lingkungan sehingga pengelolaannya dilakukan secara bertanggung jawab.
Selain prinsip-prinsip di atas, dalam pembentukan Perda Masyarakat Adat, perlu juga mempertimbangkan adanya kelembagaan Masyarakat Adat berupa pembentukan Komisi Masyarakat Adat di daerah yang memiliki tugas membantu pemerintah daerah Kab. Kepulauan Aru dalam penyelenggaraan pembangunan terkait Masyarakat Adat, termasuk penyelesaian konflik.
Catatan kaki
1. Catatan mengenai Kepulauan Aru pertama kali ditemukan dalam ekspedisi bangsa Portugis yang dipimpin oleh Laksamana Antonio d’Abreau pada tahun 1511. Aru juga tercatat sebagai wilayah yang memiliki sejarah dalam perebutan kembali Papua ke dalam wilayah NKRI dari penguasaan Belanda pada masa Trikora, yang terkenal dengan pertempuran Laut Arafura yang mengakibatkan gugurnya Komodor Yos Sudarso dalam pertempuran tersebut.
2. Potret ekonomi Masyarakat Adat Aru, FWI, LPPM IPB, 2016, h.68
3. Ibid
4. Penegasan keberadaan masyarakat adat diperkuat dalam penjelasan II PAsal 18 UUD 1945 yang berbunyi: “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.”
5. Erasmus Cahyadi, Et. Al, Draft Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat Periode 2010-2014, (Jakarta: AMAN, 2011), h.19
6. Mengenai persyaratan masyarakat adat, MK telah memberikan penafsiran melalui Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku Terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
7. Myrna Savitri, Et. Al, Penetapan Hukum Adat, Intrepretasi dan Diskresi, Patnership Policy Paper No.7/2015, h. 9.
8. Myrna Savitri, Op.cit, h. 13.
9. Ibid.