Di Balik Sengketa Lahan Masyarakat Adat Marafenfen
18 September 2021 Berita Nurdiyansah DalidjoOleh Nurdiyansah Dalidjo
Masyarakat Adat Marafenfen menuntut hak atas wilayah adat mereka yang diduga telah diserobot secara sepihak oleh pihak TNI Angkatan Laut (AL). Rencananya, bandara udara (bandara) dan berbagai fasilitas lainnya akan dibangun di atas ratusan hektar tanah yang berada di Desa Marafenfen, Kecamatan Aru Selatan, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku.
Tuntutan Masyarakat Adat pun berujung pada pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri Dobo. Dilansir dari portal berita RII Ambon (rri.co.id/ambon, 18/52021), Surat gugatan yang didaftarkan dalam Perkara Nomor 7/Pdt.G/2021/PN Dob bertanggal 31 Maret 2021 itu, menggugat TNI AL, Gubernur Maluku, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) atas objek sengketa berupa tanah seluas 689 hektar.
Di Kota Ambon, puluhan pemuda adat yang tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Kabupaten Aru, melakukan aksi unjuk rasa dengan berjalan kaki dari lokasi Gong Perdamaian ke Kantor Gubernur Maluku dalam rangka mendukung perjuangan Masyarakat Adat Marafenfen. (13/9/2021) Para mahasiswa menuntut agar Gubernur Maluku segera mencabut Surat Keputusan (SK) Gubernur Maluku Nomor 591.1/SK/50/92 bertanggal 22 Januari 1992 yang menjadi dasar pembuatan sertifikat atas lahan yang dikuasai pihak TNI AL. Dalam orasinya, mereka juga mendesak upaya penyelamatan kawasan Marafenfen serta segera disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat.
Proses Pelepasan Tanah yang Dipertanyakan
Dihubungi melalui sambungan telepon, (14/9/2021) Mika Ganobal mewakili Masyarakat Adat setempat, berbagi kisah tentang bagaimana awalnya tanah adat itu bisa jatuh ke tangan TNI AL. Menurutnya, proses kepemilikan tanah sampai rencana dibangunnya bandara, tidak masuk akal bagi Masyarakat Adat di Desa Marafenfen.
“Saya dengar cerita dari Mama Do,” kata Mika menyinggung cerita yang didapatnya dari mendiang Dolfintje Gaelagoy atau akrab disapa Mama Do, perempuan pejuang Masyarakat Adat yang berasal dari Marafenfen. “(Kala itu) bapaknya (Mama Do) lagi di padang sabana, lalu ada helikopter mendarat. (Aparat) TNI AL tanya sama bapaknya Mama Do ini, di mana Kampung Marafenfen. Lalu, (bapaknya Mama Do) tunjuk arah, kemudian mereka berbalik. Besok-besoknya, mereka ke kampung dan ada pertemuan.”
Aksi penolakan Masyarakat Adat Marafenfen di Pangkalan Udara TNI AL. Sumber foto: Dokumentasi Masyarakat Adat Marafenfen.
Pihak TNI AL telah mengajukan surat kepada KOMNAS HAM yang dilengkapi dengan nama-nama warga Desa Marafenfen yang diklaim telah mewakili Masyarakat Adat di sana untuk melepaskan tanah adat mereka ke TNI AL dan menyatakan mendukung pembangunan bandara.
Namun, berdasarkan daftar tersebut, terdapat sejumlah kejanggalan.
“Ada beberapa orang yang di bawah umur,” ungkap Mika. Selain itu, ia juga mengutarakan ada nama penyandang disabilitas yang telah dikonfirmasi memiliki kebutuhan khusus sejak lahir serta nama-nama orang yang ternyata sudah tidak berdomisili di Desa Marafenfen. Mika menambahkan, “Ada juga orang-orang yang ada tanda tangannya, tapi mereka tak pernah merasa tanda tangan dan mereka bukan warga Marafenfen.”
Mewakili Masyarakat Adat, Mika yang pernah terlibat dalam gerakan penyelamatan hutan adat #SaveAru beberapa tahun lalu, mengutarakan bahwa hingga saat ini, tak ada uang satu rupiah pun yang diterima Masyarakat Adat sebagai ganti rugi. Mereka juga menolak rencana pemindahan warga ke tempat lain dengan janji akan dibuatkan rumah dan diberikan sertifikat dua hektar per kepala keluarga. Alasannya, lokasi yang hendak dijadikan tempat tinggal bagi warga itu, tak lain adalah wilayah adat mereka sendiri.
Ruang Hidup Masyarakat Adat Marafenfen
Lahan yang hendak dijadikan area pembangunan bandara dan berbagai fasilitas lainnya tersebut, merupakan bagian dari wilayah adat Masyarakat Adat Marafenfen. Mika menggambarkan bagaimana kawasan tersebut punya peran penting sebagai habitat berbagai satwa yang sebagian endemik hanya ada di Aru, seperti babi, rusa, walet, kakatua jambul kuning, cendrawasih, dan lain-lain.
Sejak dulu, di sanalah Masyarakat Adat melakukan upacara daotel untuk berburu di padang sabana. Secara harafiah, “daotel” dapat diterjemahkan dengan pembakaran alang-alang.
“Itu proses perburuan yang melibatkan sejumlah kampung di Aru Selatan,” kata Mika. “Ada sebagian wilayah itu, - ilalang yang sudah dikavling (diperuntukkan secara adat) - yang dibakar dan dijadikan area perburuan. Jadi, saat dibakar, rusa itu keluar lalu mereka menangkap gunakan panah. Itu setiap tahun ada dan ritual itu sudah ada sejak zaman leluhur.”
Ketika persoalan sengketa lahan terjadi, bersamaan dengan hadirnya kendaraan-kendaraan yang diduga terkait dengan urusan rencana pembangunan bandara, Mika dan Masyarakat Adat setempat pun kian menyadari tentang rusa-rusa yang jumlahnya kian sedikit. Mereka menduga ada banyak dari hewan itu yang mati karena tertabrak truk serta diburu tanpa aturan adat menggunakan senjata oleh bukan Masyarakat Adat.
Mika bilang, “Dulu mau berburu gampang, tapi kalau sekarang sudah susah.” Persoalan sengketa lahan maupun rencana pembangunan bandara pun mengancam sumber penghidupan Masyarakat Adat sebab mereka tak dapat lagi berburu sesuai adat mereka. Bagi Masyarakat Adat, perburuan bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan pangan, melainkan dari situlah mereka meneruskan tradisi leluhur dan dapat memperoleh hasil yang digunakan untuk menutupi biaya sehari-hari, termasuk keperluan pendidikan anak. Perburuan dalam jumlah maupun waktu yang terbatas, juga menjadi cara bagi Masyarakat Adat melestarikan lingkungan dan flora-fauna yang ada di dalam wilayah adat.
Aksi Masyarakat Adat Marafenfen di depan Kantor Pengadilan Negeri Dobo. Sumber foto: Dokumentasi Masyarakat Adat Marafenfen.
Kini, perjuangan Masyarakat Adat Marafenfen kian mendapatkan sorotan secara luas. Selain dari kalangan mahasiswa di Kota Ambon, petisi yang menyatakan dukungan terhadap hak mereka atas wilayah adatnya dan pelestarian ekosistem di Kepulauan Aru, telah ditandatangani oleh ribuan orang dan kian terus bertambah. Pihak Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru bersama dengan DPRD setempat juga menyambut dukungan yang mengedepankan pesan bahwa “Masyarakat Adat Marafenfen bukan mau melawan negara, (tetapi) mereka mau membela haknya atas tanah.”
***