Merawat Kebangsaan Lewat UU Masyarakat Adat
22 September 2021 Berita Nurdiyansah DalidjoOleh Nurdiyansah Dalidjo
Tahun ini, Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat (RUU Masyarakat Adat) berusia lebih dari satu dekade sejak pertama kali diinisiasi perancangannya oleh AMAN bersama berbagai kelompok masyarakat sipil pada 2009. Keberadaan UU Masyarakat Adat penting karena merupakan mandat konstitusi sekaligus janji Presiden Joko Widodo kepada Masyarakat Adat. Namun, setelah 12 tahun berlalu, RUU tersebut tak kunjung disahkan. Padahal, keberadaan UU Masyarakat Adat tidak hanya akan menjadi jalan keluar bagi bermacam persoalan Masyarakat Adat, melainkan pula upaya merawat kebangsaan.
Masalah pada Draf Versi DPR
RUU Masyarakat Adat telah ditetapkan kembali masuk Prolegnas Prioritas 2021 dengan Fraksi Nasdem dan PKB sebagai pengusul. Meski RUU tersebut tidak termasuk yang akan di-carry over (maksudnya, perlu dibahas lagi dari awal), namun isi dari draf RUU yang ada sekarang merupakan adopsi dari periode sebelumnya. AMAN menilai itu masih memiliki sejumlah masalah.
“Di dalam draf asli RUU versi DPR, disebut ‘Masyarakat Hukum Adat,’” ungkap Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM PB AMAN. Menurutnya, penggunaan terminologi “Masyarakat Adat” justru hendak menjembatani dua istilah dalam konstitusi yang menyebut “Kesatuan Masyarakat Hukum Adat” (Pasal 18(B) Ayat 2) dan “masyarakat tradisional” (Pasal 28(I) Ayat 3). “Kedua, secara substansi, ada pasal yang menyebutkan bahwa dalam waktu tertentu, Masyarakat Adat akan dievaluasi keberadaannya. Itu bertentangan dengan prinsip hak asal-usul, di mana yang boleh menyatakan ada atau tidaknya Masyarakat Adat itu, bukan Undang-Undang, tapi dirinya sendiri,” lanjut Arman.
Ia menjelaskan bahwa draf RUU versi DPR tersebut justru membawa persoalan lama yang tidak akan menyelesaikan konflik terkait dengan proses pengakuan Masyarakat Adat yang mudah, murah, dan hasilnya legal-legitimate. Hal lain yang pula masih absen dari draf yang ada, adalah perihal restitusi dan rehabilitasi terkait dengan berbagai pelanggaran hak Masyarakat Adat yang terjadi di masa lalu, bahkan hingga kini.
Sampai hari ini, Arman mengabarkan bahwa RUU Masyarakat Adat masih tertahan di DPR. Harmonisasi sudah dilakukan, namun draf versi DPR tersebut belum dibawa ke Rapat Paripurna sebagai usulan resmi DPR untuk kemudian ditindaklanjuti dengan meminta presiden menunjuk wakilnya untuk membahas RUU beserta Daftar Inventaris Masalah (DIM)-nya.
Muhammad Arman. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.
Kepentingan Masyarakat Adat dan Bangsa Indonesia
Pengakuan penuh oleh negara melalui kehadiran UU Masyarakat Adat, menurut Arman, diperlukan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang membelit Masyarakat Adat, mulai dari sengketa lahan, perampasan wilayah adat, pelanggaran hak Masyarakat Adat, stigma dan diskriminasi, hingga kriminalisasi yang hingga masih membelenggu Masyarakat Adat.
“Saya ingin menyampaikan bahwa kita - Indonesia - adalah entitas yang sangat beragam,” jelas Arman. “Keberagaman itu, salah satunya ada pada Masyarakat Adat. Kita tahu negara kita terdiri dari suku-suku dan juga ragam etnis. Dan kalau kita bicara dalam konteks Masyarakat Adat, - mengapa kemudian sampai hari ini mereka sering dapat stigma, diskriminasi, dan seterusnya - itu berangkat dari suatu situasi pengakuan setengah hati.”
Saat ini, AMAN mencatat terdapat sedikitnya 32 peraturan-perundangan yang mengatur tentang hak Masyarakat Adat secara sektoral. Itu tidak hanya menggambarkan betapa rumitnya proses pengakuan atau pendaftaran Masyarakat Adat, melainkan tumpang tindih serta carut-marutnya kebijakan dan sistem birokrasi yang mengikutinya.
Arman juga mengungkapkan bahwa di dalam berbagai instrumen hukum yang mengatur tentang Masyarakat Adat itu, selalu diikuti dengan pengakuan bersyarat. Pengakuan bersyarat tersebut kemudian memaksa Masyarakat Adat untuk mengikuti langgam hukum yang tersedia di Indonesia saat ini.
“Selalu ada pandangan bahwa Masyarakat Adat berubah sepanjang perkembangan zaman dan itu adalah keniscayaan,” lanjut Arman terkait dengan kritiknya pada peraturan-perundangan yang mengatur tentang masyarakat Adat. “Ada juga banyak pandangan bahwa kalau Masyarakat Adat itu sudah berubah dari kehidupan dan kebudayaannya, misalnya menggunakan handphone, teknologi, dan lainnya, itu bukan Masyarakat Adat. Padahal, yang mau dilihat adalah aspek historis, sosiologis, dan bagaimana negara berkewajiban untuk melindungi hak Masyarakat Adat secara utuh.”
Masing-masing peraturan-perundangan yang ada mensyaratkan kriteria yang berbeda, baik dalam melihat Masyarakat Adat sebagai subjek hukum maupun objek yang diatur. Ia mencontohkan pengakuan hutan adat dalam rezim UU Kehutanan yang mengharuskan Perda dan persyaratan lain (pengusulan). Begitu pula pada UU Cipta Kerja, di mana Masyarakat Adat diakui keberadaannya, tapi selalu ada persyaratan, salah satunya lagi-lagi Perda. Sementara itu, mengacu pada pengalaman secara umum bagi banyak daerah di Indonesia, proses penyusunan Perda merupakan hal yang politis, mahal, lama, dan tidak selalu memiliki kepastian. Kita tentu sulit membayangkan kapan itu akan dapat selesai dengan menyandingkannya pada realitas terhadap jumlah banyaknya populasi dan komunitas Masyarakat Adat di Indonesia yang ditaksir berjumlah 40-70 juta jiwa, di mana saat ini tercatat 2.422 komunitas adat (sekitar 20 juta jiwa) telah menjadi anggota AMAN. Indonesia sendiri memiliki lebih dari 500 kabupaten/kota.
RUU Masyarakat Adat yang diusulkan oleh AMAN dan berbagai kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, menegaskan bahwa tujuan untuk mendorong UU itu, adalah untuk memastikan Masyarakat Adat hadir sebagai warga negara yang utuh di dalam republik ini sekaligus menjembatani pelaksanaan program pembangunan yang sesuai dengan prinsip-prinsip hak Masyarakat Adat.
“Kalau kita mau berangkat, misalnya soal meletakkan Masyarakat Adat dalam konteks pemerintahan desa adat, maka harus lihat dulu siapa subjek yang disebut Masyarakat Adat. Kalau kita bicara bagaimana kelestarian alam itu dengan baik, kita tahu persis hutan-hutan yang masih tersedia dan lestari, itu ada di Masyarakat Adat. Jadi, ini jembatan bagaimana mendudukkan posisi Masyarakat Adat dengan pemerintah, sehingga bisa saling bersinergi, termasuk sinergi antara proses pembangunan yang diciptakan negara kita dan konsep-konsep di masyarakat.” Menurutnya, UU Masyarakat Adat kian urgen diperlukan juga untuk mengatasi ketiadaan hukum dan ketidakpastian pengakuan Masyarakat Adat atas wilayah adatnya.
Bagi Indonesia, pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan semata menjadi penanda produk hukum yang mengatur urusan Masyarakat Adat, melainkan menegaskan pula peran dan kontribusi Masyarakat Adat dalam mengelola wilayah-wilayah adat secara adil dan lestari. Masyarakat Adat adalah garda depan dalam menjaga hutan, laut, gunung, dan alam raya yang ada di Nusantara. Lebih dari itu, Masyarakat Adat jugalah yang merawat, mempertahankan, dan mengembangkan, mulai dari seni-budaya, pangan, ekosistem, hingga kedaulatan rakyat dan kebangsaan.
“Undang-Undang Masyarakat Adat adalah mandat konstitusi, maka kewajiban negara untuk menjalankan mandat itu. Kehadiran UU Masyarakat Adat sesungguhnya bukan hanya untuk kepentingan Masyarakat Adat, tetapi juga untuk kepentingan kebangsaan. Kita bicara soal ke-Indonesia-an,” kata Arman.
***
Obrolah dengan Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM PB AMAN pada artikel ini, dapat juga didengar melalui Podcast Radio Gaung AMAN lewat edisi Program Bincang Masyarakat Adat bersama Muhammad Arman: Urgensi RUU Masyarakat Adat.