Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi menyerukan kepada sekitar 700 orang Kader AMAN untuk menguatkan solidaritas terhadap sesama Masyarakat Adat pada kegiatan Konsolidasi Kader Pemula yang secara khusus diselenggarakan bagi para Kader Pemula yang tersebar di segala penjuru Nusantara pada Rabu, 29 September 2021.

AMAN memiliki kader yang terdiri dari empat kategori, yaitu Kader Pemula, Kader Penggerak, Kader Pemimpin, dan Kader Utama di tujuh region yang mencakup Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua. Kader Pemula merupakan jenjang kader paling bawah yang pula diisi oleh umumnya pemuda-pemuda adat, lelaki maupun perempuan, serta dengan jumlah yang relatif besar.

Pada pidato pembukaan, Rukka Sombolinggi menyampaikan bahwa tujuan konsolidasi adalah untuk memahami apa itu Masyarakat Adat bersama haknya serta memahami mengenai AMAN sebagai gerbong atau rumah besar bagi perjuangan Masyarakat Adat di Indonesia. Ia berharap - setelah mengikuti konsolidasi - kelak Kader Pemula akan mempunyai landasan yang kokoh untuk meyakini kebaikan dan kebenaran pada apa yang selama ini telah diperjuangkan bersama.

“Kita harus menjaga rasa senasib sepenanggungan dengan Masyarakat Adat apa pun dan di mana pun,” ucap Sekjen AMAN ketika mengutip salah satu pesan yang tertera pada Maklumat Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) yang terakhir. “Satu Masyarakat Adat saja ditindas, maka  itu adalah lambang dari seluruh kita. Kita harus saling bergandeng tangan dan mendukung. Kalau ada saudara-saudara kita yang sedang dirampas haknya dan berjuang, kita tak boleh diam!”

Bagi AMAN, Kader Pemula adalah penopang gerakan Masyarakat Adat dan punya makna maupun peran yang sama pentingnya dengan kader lain serta para pemimpin organisasi Masyarakat Adat.

“Saudara-saudara kita di Flores sedang berjuang melawan pembangunan waduk. Saat ini, mereka sedang dikriminalisasi,” tambah Rukka dalam menyinggung gerakan perlawanan Masyarakat Adat di Rendu, Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam menolak lokasi pembangunan Waduk Lambo yang hendak membenamkan, tidak hanya rumah-rumah warga, melainkan pula kebun, ladang, hutan adat, bahkan kuburan leluhur Masyarakat Adat di sana.

Aksi Masyarakat Adat Rendu dalam menghalangi polisi untuk masuk wilayah adat tanpa izin. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Turut hadir pada pembukaan acara yang dilakukan secara daring itu, adalah sosok perempuan adat pejuang dari Rendu, yakni Mama Mince. Selain mengucapkan terima kasih atas dukungan dan semangat yang telah diberikan, Mama Mince bersama para mama lain, memberikan nyanyian perjuangan.

Berbagai konflik terkait Masyarakat Adat di Tanah Air, menurut Rukka, terjadi karena, meski hak Masyarakat Adat telah diakui di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ‘45), namun semua Undang-Undang yang lahir dan dibuat kemudian justru dipakai untuk merampas wilayah adat. Kini, Masyarakat Adat pun menjadi sasaran dari intimidasi, kriminalisasi, dan tindak kekerasan. Dan upaya Masyarakat Adat dalam mempertahankan wilayah adatnya, seringkali dianggap sebagai tindakan melawan hukum.

“Hukum yang lahir setelah UUD ‘45 itu digunakan sedemikian rupa untuk melegalisasi perampasan wilayah adat kita,” tegasnya. “Mereka boleh saja disebut sah secara hukum, tapi tak punya legitimasi sebab kita ada sebelum negara ini ada dan seluruh hukum itu bertentangan dengan UUD ‘45.”

Rukka mengungkapkan bahwa hal tersebut sesuai atas pengakuan hak asal-usul Masyarakat Adat dan perampasan wilayah adat tidak sesuai dengan UUD ‘45. Ia juga menyerukan agar para Kader Pemula dapat pula memastikan agar UU Masyarakat Adat segera disahkan dengan berbagai perlawanan tanpa kekerasan sesuai dengan prinsip hak asasi manusia (HAM).

Selain menyerukan para Kader Pemula untuk mendukung saudara-saudara Masyarakat Adat di Rendu, ia juga memerintahkan agar dukungan yang sama diberikan kepada saudara-saudara di Tano Batak yang tengah berjuang untuk mendesak penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Sumatera Utara. Baginya, itu merupakan tanggung jawab bersama.

“Jangan diam saja! Kita tahu teman-teman di Tano batak sedang berjuang, minimal sebarkan beritanya dan buat dukungan,” perintah Sekjen AMAN tersebut.

Abdon Nababan mewakili Masyarakat Adat Tano Batak mengungkapkan bahwa selama lebih dari 30 tahun perusahaan yang kini bernama TPL itu berada di sana, pihak TPL telah menimbulkan banyak korban dari kalangan Masyarakat Adat, termasuk ada dari mereka yang telah tewas serta mengalami luka-luka, kriminalisasi, dan intimidasi.

Aksi Masyarakat Adat menuntut tutup TPL. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

“Saat ini, sejak adanya kejadian Mei lalu, kami kembali mengorganisir diri untuk menutup perusahaan ini,” kata Abdon yang juga menjabat sebagai Dewan AMAN Nasional (DAMANNAS) mewakili Region Sumatera. “Kami sedang berjuang bersama dan perjuangan kami banyak dapat dukungan dari saudara-saudara di seluruh Nusantara dan dunia. Tapi, kami merasa perlu lebih banyak lagi suara, solidaritas, dan gerakan dari berbagai tempat agar menutup perusahaan yang merampas wilayah adat kami.” Abdon juga mengabarkan perkembangan terbaru mengenai aktivitas perusahaan yang telah mulai membabat hutan-hutan alam di sekitar Danau Toba dan mengubahnya menjadi perkebunan monokultur eukaliptus. Bagi Masyarakat Adat Batak, kawasan Danau Toba memiliki posisi penting dan sakral karena menjadi tempat bersemayamnya leluhur.

Rukka menyerukan bahwa adalah tugas kita - termasuk para Kader Pemula AMAN - untuk berjuang mempertahankan titipan leluhur serta berbakti pada tanah leluhur dengan cara memastikan wilayah adat tetap lestari dan dikelola oleh Masyarakat Adat dengan baik sekaligus melindunginya dari pihak luar yang ingin merusak.

“Kita akan sukses melawan Waduk Lambo yang akan gusur wilayah kita yang berharga,” seru Rukka. “Kita juga akan berhasil mengusir TPL yang sudah lama sekali merusak, merampas, dan membuat saudara kita di Tano Batak mengalami penderitaan yang tak terperikan dengan mari kita bersama-sama mengucapkan salam semangat, mengirimkan doa, melakukan ritual untuk saudara kita di Tano Batak dan Flores.”

Secara khusus kepada para Kader Pemula, Rukka berharap agar kader-kader yang mempunyai gawai pintar (smartphone), tidak perlu berjuang dengan angkat pedang, tetapi menggunakan jari untuk mengoptimalkan fungsi maupun manfaat dari perangkat teknologi informasi dan komunikasi tersebut. Rukka mengungkapkan bahwa perjuangan lewat gadget itu pun bisa senilai dengan kembalinya seluruh wilayah adat.

“Untuk Kader Pemula,” seru Rukka, “gerakkan jempolmu! Bergerak! Ada berita tentang Rendu, Tano Batak atau dari Masyarakat Adat lainnya, share (sebarkanlah)!”

Menurut Rukka, dua perjuangan tersebut - di Rendu dan Tano Batak - merupakan simbol perlawanan Masyarakat Adat hari ini. Selain itu, tentu saja dukungan lain tetap harus diberikan kepada seluruh Masyarakat Adat yang tengah berkonflik dan dihadapkan pada perampasan wilayah adat.

***

Kisah tentang Mama Mince dan mama-mama pejuang lainnya dari Rendu di Nagekeo, Flores, NTT, dapat didengar pada Podcast Radio Gaung AMAN pada Program Jelajah Nusantara dengan judul “Menenun untuk Mempertahankan Wilayah Adat Rendu.” Sementara itu, lebih lengkap mengenai gerakan melawan TPL di Tano Batak, Sumatera Utara, dapat dibaca pada Portal Berita AMAN.or.id dengan judul “Masyarakat Adat Serukan #TutupTPL“ atau Majalah Gaung AMAN edisi “Tangguh di Tengah Krisis.”

Writer : Nurdiyansah Dalidjo | Jakarta