Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Penyerangan terhadap Masyarakat Adat kembali terjadi pada Senin, 27 September 2021. Kali ini, hal tersebut menimpa Masyarakat Adat Toruakat di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), Sulawesi Utara (Sulut). Satu orang warga tewas ditembak pada bagian dada, sedangkan empat orang lainnya mengalami luka-luka akibat penyerangan yang diduga dilakukan oleh sekelompok preman yang direkrut pihak perusahaan untuk mengamankan lokasi tambang.

Pemuda yang tewas itu bernama Arman Damopolii dari Desa Toruakat. Sebelum tragedi tersebut terjadi, Arman bersama sekitar lebih dari 60 orang warga Masyarakat Adat pada hari itu hendak melakukan pengecekan dan pematokan tapal batas terkait dengan kebun-kebun yang berada di wilayah adat mereka. Turut menemani adalah sejumlah polisi.

Menurut Sumitro Molot, Sekretaris Komunitas Masyarakat Adat Hulu Ongkag Tanoyan dari Desa Tanoyan Bersatu, aktivitas itu telah lebih dulu dilaporkan kepada pihak kepolisian setempat. Sebelumnya, Masyarakat Adat sengaja mendatangi dan menyampaikan maksud kegiatan tersebut pada Kepolisian Resort Bolaang Mongondow untuk memastikan kelancaran aktivitas. Selain mengerahkan tim pengamanan, Sumitro mengutarakan bahwa polisi juga telah meminta warga untuk tidak membawa senjata atau benda tajam mengingat memanasnya situasi terkait dengan operasi PT Bulawan Daya Lestari (BDL). Perusahaan tambang emas tersebut tercatat memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang berlaku hingga Maret 2029 dengan luas 99,84 hektar, di mana sebagian mencakup wilayah adat.

Dugaan Perampasan Wilayah Adat dan Pengerahan Preman

“Itu yang membuat Masyarakat Adat bingung sebab tahu-tahu ada perusahaan di situ,” ungkap Sumitro dalam wawancara (30/9/2021) lewat sambungan telepon. Ia mengutarakan bahwa tidak ada konfirmasi maupun pemberitahuan dari pihak perusahaan atau pemerintah setempat ke Masyarakat Adat terkait apakah boleh mereka masuk ke wilayah adat. “Jadi, tiba-tiba itu sudah ada legalitas dan berizin, sedangkan itu wilayah perkebunan (yang dimiliki dan dikelola oleh Masyarakat Adat) juga ada di situ.”

Sumitro dan warga lainnya baru mengetahui keberadaan PT BDL sejak beberapa tahun belakangan ketika Masyarakat Adat menyadari adanya perekrutan pekerja perusahaan dan masuknya alat-alat berat. Mereka mulai menelusuri sendiri dan mendapatkan informasi bahwa ada IUP di dalam wilayah adat mereka.

Menurut Sumitro, Masyarakat Adat belum pernah ditunjukkan data maupun dokumen resmi terkait legalitas keberadaan perusahaan dan aktivitas pertambangan itu. Mereka kesulitan untuk mengaksesnya. “AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)-nya belum ada, katanya,” ungkap Sumitro. Masyarakat Adat pun mencurigai perusahaan tersebut dengan mengacu pada cara perekrutan staf (terutama pekerja di bagian keamanan) dan penjagaan perusahaan yang - diakui oleh Sumitro - diduga menggunakan preman bayaran.


Sekelompok orang yang diduga sebagai preman bayaran dengan senjata di lokasi kejadian. Sumber foto: Dokumentasi AMAN Daerah Bolmong.

Peristiwa Penembakan

Mengenai peristiwa penyerangan yang terjadi, Sumitro mengabarkan bahwa pada awalnya aktivitas warga yang didampingi oleh pihak kepolisian itu berjalan baik. 

“Tapi, tiba-tiba dari pihak security PT BDL - yang dianggap sebagai keamanan atau preman bayaran - itu mengusir,” ujarnya. Orang-orang yang dianggap oleh warga sebagai preman tersebut ditaksir mencapai puluhan dan mereka sempat mencaci maki warga dengan mengatakan bahwa wilayah perkebunan itu bukan punya Masyarakat Adat, melainkan wilayah PT BDL. “Sudah macam-macam kalimat yang membuat kami terprovokasi. Tapi, kami tak bawa senjata tajam, jadi ya mundur.”

Sekitar jam satu atau dua siang, penyerangan pun terjadi. Dari keterangan saksi mata di lokasi, Sumitro mengungkapkan kalau para polisi yang kala itu bersama mereka, tidak berusaha melindungi warga, melainkan “seperti didiamkan.”

Warga mendengar beberapa kali suara tembakan. Mereka mengira itu mungkin ada polisi atau preman yang sedang memberikan peringatan lewat tembakan ke udara agar massa yang berhamburan dan ricuh, segera bubar. Suasana kian tidak terkendali dan mereka tak menyadari ada satu di antara mereka yang dadanya tertembus peluru dan jatuh ke tanah.

Sumitro bilang, “Dugaan kami ditembak. Dari pihak preman, ada yang bawa senjata api rakitan dan anggota kepolisian juga ada yang bawa senjata. Jadi, kami tidak bisa duga dari mana.”

Saat ini, Masyarakat Adat pun tengah menanti hasil otopsi di Rumah Sakit Bhayangkara atas jasad Arman Damopolii yang gugur di lokasi kejadian. Menurutnya, pihak keluarga korban telah melontarkan permintaan agar peristiwa tersebut dituntut tuntas.

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan, melalui siaran pers yang dikeluarkan AMAN bersama Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), bahwa peristiwa yang menimpa Masyarakat Adat Toruakat tersebut merupakan cerminan dari banyaknya kasus konflik wilayah adat yang tidak diselesaikan secara baik oleh pemerintah.

“Izin diobral secara serampangan demi mengejar investasi tanpa peduli lokasi yang ditunjuk tersebut milik siapa dan tidak ada pengawasan serta evaluasi apakah perusahaan pertambangan tersebut melakukan perusakan lingkungan atau tidak,” kata Rukka.

Menurutnya, ketiadaan perlindungan dari pemerintah telah menyebabkan masyarakat menjadi korban. Pihak kepolisian yang diharapkan menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, lanjut Rukka, juga tidak mampu berbuat banyak atas aksi kekerasan yang dilakukan oleh “preman perusahaan.” AMAN pun mendesak agar seluruh aparat dan kelompok masyarakat yang bukan merupakan Masyarakat Adat setempat, harus ditarik dari lokasi tersebut karena pihak perusahaan dapat membawa masyarakat lain yang berasal dari luar wilayah adat. Selain itu, AMAN dan JATAM juga mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar lekas bergerak dan melakukan pendampingan atas tindakan - yang diungkapkan Rukka - telah melanggar prinsip-prinsip HAM.

Koordinator JATAM Merah Johansyah menyatakan bahwa kasus penembakan yang terjadi pada warga Masyarakat Adat Toruakat, telah berdampak pada ketidakseriusan pemerintah dan aparat dalam menyelesaikan seluruh konflik pertambangan yang ada di Indonesia. 

“Kami mempertanyakan mengapa Pemerintah Daerah, yakni gubernur dan Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) mengeluarkan SK 503/DPMPTSP/IUP-OP/241/X/2020 dan melakukan pencatatan pada sistem Mineral One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada entitas pertambangan bermasalah ini, yang diduga juga masih belum memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH)?” tanya Merah pada siaran pers.

Saat ini, Sumitro Molot mengabarkan bahwa seluruh komunitas adat anggota AMAN Daerah Bolmong tengah melakukan konsolidasi sambil menunggu hasil otopsi.

Sementara itu, PT BDL justru meresponnya secara berbeda. “Dari pihak perusahaan, malah menambah personil preman bayaran,” ungkapnya berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh warga.

Masyarakat Adat Toruakat pun meminta pemerintah untuk segera menutup PT BDL dan meminta agar Kapolri menindak tegas pelaku penembakan.

***

Writer : Nurdiyansah Dalidjo | Jakarta