Oleh Apriadi Gunawan

Majelis Adat Aru di Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, mendesak Pemerintah Pusat untuk menghormati dan mengakui hak Masyarakat Adat menyusul adanya klaim sepihak dari Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) atas penguasaan lahan seluas 689 hektar milik Masyarakat Adat Marafenfen yang berujung gugatan ke pengadilan.  

Para tokoh adat setempat meminta Presiden Joko Widodo selaku Panglima Tinggi TNI untuk memerintahkan TNI AL agar segera menghentikan aksi pengambilalihan tanah adat tersebut.

Elly Darakai, Ketua Harian Majelis Adat Aru Ursia Urlima, menyatakan bahwa pemerintah telah melanggar konstitusi jika tidak melindungi hak Masyarakat Adat Marafenfen yang sedang digerogoti oleh pihak TNI AL. Elly mengatakan, dalam konstitusi disebutkan bahwa negara berkewajiban melindungi segenap rakyat untuk kesejahteraan. Konstitusi kita juga telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat. Terkait dengan hal tersebut, Masyarakat Adat di Desa Marafenfen saat ini terancam kehidupannya akibat klaim TNI AL atas penguasaan lahan seluas 689 hektar di dalam wilayah adat.

“Saya merasa bahwa Pemerintah Pusat harus turun tangan menyelesaikan permasalahan di Desa Marafenfen ini (untuk) mewujudkan apa itu tujuan konstitusi kita, (yaitu) melindungi segenap rakyat untuk kesejahteraan,” kata Elly Darakai saat dihubungi wartawan pada Rabu lalu (10/11/2021).

Ia menyatakan, jauh sebelum negara ini berdiri, Masyarakat Adat Aru, termasuk Marafenfen, sudah hidup di atas tanah adat kami. Elly menambahkan kalau masing-masing komunitas adat sudah memiliki tanah di dalam wilayah adat, sehingga tidak ada istilah “tanah kosong” di Kepulauan Aru sebagaimana yang pernah diutarakan pihak TNI AL.

Pada 1991, TNI AL  telah masuk menguasai lahan milik Masyarakat Adat Marafenfen disusul dengan terbitnya Sertifikat Hak Pakai Nomor 01/Marafenfen tanggal 13 Februari 1992.  Padahal, wilayah yang diklaim itu, merupakan kawasan yang dikelola Masyarakat Adat untuk kegiatan berkebun, mengambil sarang burung walet, serta berburu babi dan rusa untuk memenuhi kebutuhan pangan dan ekonomi, termasuk biaya pendidikan anak-anak untuk sekolah.

Kawasan tersebut juga menjadi tempat hidup satwa liar yang dilindungi, seperti cendrawasih, kakatua jambul kuning, kakatua raja, dan berbagai fauna endemik lainnya. Setelah pihak TNI AL masuk ke lahan itu,  Masyarakat Adat mengaku tidak bisa lagi secara bebas beraktivitas di sana.

Rencananya, lahan milik marga Bothmir yang diklaim TNI AL itu akan digunakan untuk membangun lapangan terbang dan berbagai fasilitas pendukungnya.

Tidak tinggal diam, Masyarakat Adat pun melakukan perlawanan dengan menempuh upaya hukum  menggugat Gubernur Maluku, TNI AL, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). 

Upaya hukum ditempuh oleh Masyarakat Adat Marafenfen setelah protes untuk mendapatkan kembali hak atas tanah mereka, tidak membuahkan hasil. Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Dobo pada akhir Maret 2021 lalu, telah ditandatangai tim pengacara yang terdiri dari, Semuel Waileruny, Yustin Tuny, Korneles Latuny, dan Lukas Waileruny.

Persidangan telah berlangsung beberapa kali di Pengadilan Negeri Dobo hingga kelak menanti putusan pada 17 November 2021.

Semuel Waileruny mengatakan bahwa demi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang menangani perkara gugatan tersebut, Komisi Yudisial - sesuai kewenangannya - diharapkan dapat menghadiri dan memantau jalannya proses persidangan.

Ia mengatakan, hal itu penting karena dalam persidangan sebelumnya, pihaknya telah membuktikan secara sah berupa surat bukti dan saksi serta menyakinkan bahwa pihak TNI AL telah menguasai objek sengketa seluas 689 hektar milik Masyarakat Adat (sebagai penggugat) dengan cara tidak sah.

“Klien kami telah dirampok lahannya dan diikuti dengan penipuan administrasi,” ungkap Semuel. “Hal ini telah kami bacakan pada kesimpulan kami dalam sidang sebelunya.”

Semuel berharap para hakim yang menyidangkan perkara itu, dapat bertindak adil dan objektif saat menjatuhkan putusan nantinya.

“Kita ingin ada keadilan dalam perkara ini. Hak Masyarakat Adat Marafenfen harus dihormati dan diakui. Karenanya, para hakim harus bertindak objektif memutus perkara berdasarkan fakta persidangan, bukan atas tekanan,” kata Semuel.

***

Writer : Apriadi Gunawan  | Jakarta
Tag : Majelis Adat Aru Marafenfen TNI AL Elly Darakay Apriadi Gunawan