Oleh Apriadi Gunawan

Kuasa hukum dari Masyarakat Adat Marafenfen akan mengajukan banding atas putusan kontoversial Majelis Hakim Pengadilan Negeri Dobo yang menolak gugatan atas perampasan wilayah adat seluas 689 hektar oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL). Kuasa hukum pun bertekad memperjuangkan kebenaran dan keadilan, bukan hanya melalui pendekatan hukum, tetapi juga diplomasi, jejaring, dan lobi pihak-pihak penentu kebijakan.

Semuel Wailerunny, kuasa hukum Masyarakat Adat Marafenfen, menyatakan bahwa pihaknya akan menempuh berbagai cara untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi Masyarakat Adat Marafenfen. Namun, dalam waktu dekat ini, sesuai hukum acara, persiapan tidak akan keluar dari mekanisme hukum acara yang berlaku.

Semuel mengatakan kalau setelah putusan ditetapkan, masih ada waktu hingga 14 hari untuk menyatakan banding. Jika itu tidak dilakukan, maka keputusan itu punya kekuatan hukum tetap.

“Kita sudah sepakat bahwa kita akan menyatakan banding sebelum masa 14 hari itu berakhir,” kata Semuel dalam konferensi pers yang digelar pada Rabu malam (17/11/2021).

Ia menambahkan, setelah menyatakan banding, itu harus diikuti dengan memori banding yang memuat alasan untuk membantah keputusan pengadilan. Menurut Semuel, keputusan Majelis Hakim sangat tidak adil.

Semuel menjelaskan kalau penerbitan sertifikat itu berdasar pada Permendagri No. 5 Tahun 1973. Itu berarti kewenangan untuk menerbitkan Surat Keputusan (SK) atau sertifikat, itu bukan kewenangan dari Kakanwil Pertanahan Provinsi dan sertifikatnya diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten.

“Itu saja sudah salah, tapi itu dibenarkan oleh hakim,” tandasnya.

Semuel mengatakan, jika bicara tentang tanah Marafenfen, itu saksi yang kami ajukan maupun saksi dari TNI AL dan ahli, semuanya menyatakan bahwa Marafenfen itu desa adat. Salah satu ciri dari desa adat adalah punya wilayah adat. Semuel menyatakan pada saat pemeriksaan tempat, hakim sudah melihat bahwa itu ada di negeri lama. Ada bekas kuburan dan itu dibacakan pada saat sidang berita acara.

Semuel juga menerangkan bahwa Permendagri No. 5 Tahun 1973, itu orientasinya adalah untuk memperoleh hak terhadap tanah negara, bukan tanah adat.

“Itu masalahnya, jadi mereka (Majelis Hakim) menganggap bahwa tanah di Marafenfen itu adalah tanah negara. Ini salah besar, bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dia punya konsideran yang berisi dasar hukum agraria nasional adalah hukum adat. Pasal 3 itu juga memberi pengakuan seperti itu,” paparnya.

Menurut Semuel, hakim menghindari untuk mengakui bahwa (Marafenfen) itu tanah adat. Hakim membenarkan bahwa itu tanah negara. Jika tidak melakukan bantahan terhadapnya, itu berati bahwa tanah adat di situ sudah ada UUD 1945 ayat 2, sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi, sudah ada UU tentang HAM, dan berbagai ketentuan lainnya. Begitu pun Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat.

“Ini diabaikan dalam keputusan yang pada zaman sudah ada peraturan-peraturan. Ini pengkhianatan. Bagi saya, ini bukan suatu penguasaan terhadap 689 hektar, tapi lebih dari itu pembunuhan terhadap hak-hak Masyarakat Adat. Pembunuhan ini bukan pada generasi sekarang, tapi pada generasi yang akan datang yang akan menikmati pembunuhan, kesengsaraan ini,” ungkapnya.

Selanjutnya, Semuel juga memaparkan hal lain yang menjadi kejanggalan dalam keputusan hakim. Semuel mengatakan tadi hakim berpegang pada Keputusan Gubernur dan Keputusan Kepala Kantor Pertanahan. Itu dianggap sah, padahal semua orang tahu bahwa keputusan itu harus berdasarkan pertimbangan yang benar, baik itu fakta lapangan maupun fakta yuridis.

“Fakta lapangan adalah tidak ada musyawarah, tidak ada ganti rugi. Sementara fakta yuridis, mereka yang namanya disebut di situ sudah diajukan sebagai saksi, disumpah. Dan kalau hanya satu orang, itu berarti bukan saksi. Tetapi, ini semua orang menjelaskannya terhadap saksi siapa saja, kami tanya orang ini kenal. Itu dijelaskan secara detail,” ujarnya.

Semuel mengatakan, selain menempuh jalur hukum lewat upaya banding, pihaknya akan melakukan pendekatan lain, seperti diplomasi dan lobi pihak-pihak penentu kebijakan. Semuel menyatakan semua upaya itu bisa dilakukan secara lisan maupun tertulis. Misalnya, menyurati Presiden Joko Widodo tentang ketidakadilan yang terjadi di Marafenfen.

Semuel menyebut, sebelum keputusan, ada pengaruh tekanan dan Menara Group turut terlibat dalam permainan ini. “Tapi, ini baru cerita, belum ada kepastian,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menegaskan bahwa keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Dobo yang menolak gugatan Masyarakat Adat Marafenfen, tidak bisa diterima. Rukka mengatakan keputusan itu menunjukkan ketidakmampuan sistem hukum kita, ketidakmampuan hakim untuk bisa melihat bukti-bukti otentik.

Menurutnya, keputusan Majelis Hakim tersebut mengingkari fakta bahwa hak Masyarakat Adat sudah dijamin di dalam UUD 1945, juga RUU PA menyatakan menjamin sepanjang hukum tentang hak milik itu, UU tentang hak milik itu belum ada maka yang berlaku adalah hukum adat.   

“Ini salah satu wujud Masyarakat Adat hari ini, terbukti menjadi korban dari ketiadaan pengakuan dari pemerintah. Ada hutang bangsa ini sejak Indonesia merdeka untuk meregistrasi pengakuan Masyarakat Adat yang belum ada sampai detik ini,” kata Rukka yang ikut dalam konferensi pers.

Rukka juga mengatakan bahwa sebenarnya ada harapan yang diserahkan pada hakim di Kabupaten Kepulauan Aru karena beberapa gugatan yang terjadi di beberapa tempat di pelosok Tanah Air, telah mengalami hal yang sama. Ternyata terbukti, sama saja di sana terlepas dari berbagai bukti otentik yang sudah diserahkan Masyarakat Adat dan pengacara.

“Ini menunjukkan betapa pengakuan melalui Undang-Undang Masyarakat Adat sampai detik ini, masih menjadi hutang kita bersama untuk itu menjadi sebuah instrumen hukum yang perlu. Karena tanpa Undang-Undang Masyarakat Adat, ada banyak keputusan yang lahir bertentangan dengan UUD 1945,” katanya.

Rukka menegaskan bahwa wilayah adat adalah identitas Masyarakat Adat dan harus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan.

“Kami dari AMAN menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Masyarakat Adat Marafenfen dan pengacara. Apa pun langkah yang akan diambil, kita akan dukung sepenuhnya,” kata Rukka sambil memberi semangat kepada Masyarakat Adat Marafenfen, terutama generasi muda.

Rukka mengatakan bahwa memperjuangkan tanah leluhur adalah salah satu tujuan hidup Masyarakat Adat di bumi ini dan memastikan wilayah adat bisa kita warisi kepada generasi berikutnya dalam keadaan tak kurang suatu apa pun atau - jika memungkinkan - dalam kondisi yang lebih baik.

“Itulah yang disebut dengan kemajuan,” ujar Rukka terkait dengan pewarisan wilayah adat kelak.

Sementara itu, Rosina Gaelagoy, tokoh perempuan adat dari Marafenfen, menyatakan hal serupa: perjuangan belum selesai. Menurut sosok yang akrab dipanggil Mama Rosina itu, Masyarakat Adat Marafenfen tetap punya semangat untuk merebut kembali tanah adat yang telah dirampas oleh TNI AL.

“Kami akan berjuang sampai darah penghabisan. Tanah adat adalah jati diri orang Aru, sehingga harus diperjuangkan dan direbut kembali,” kata Mama Rosina.

Mama Rosina mengatakan bahwa sebelum menang saja, TNI AL sudah sewenang-wenang, apalagi setelah mereka dinyatakan menang oleh pengadilan. Maka, menurutnya, kesewenang-wenangan itu akan semakin menjadi-jadi di wilayah adat kami di Marafenfen.

“Sekarang ruang gerak Masyarakat Adat Marafenfen semakin terbatas karena sudah dikuasai TNI AL,” tambahnya.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Dobo pada Rabu (17/11/2021), menolak gugatan Masyarakat Adat Marafenfen atas perampasan wilayah adat seluas 689 hektar oleh TNI AL.

Atas putusan kontroversial yang diambil oleh Majelis Hakim yang diketuai Bukti Firmansyah itu, Masyarakat Adat Marafenfen sangat marah. Mereka menggelar aksi protes di sejumlah tempat hingga malam hari. Aksi berlangsung damai. Tidak ada tindakan anarkis apa pun yang dilakukan oleh massa.

***

Writer : Apriadi Gunawan | Jakarta
Tag : Masyarakat Adat Marafenfen TNI AL PN Dobo