Pak Presiden, Dengarkan Pakai Hati Nurani!
19 November 2021 Berita Nurdiyansah DalidjoOleh Nurdiyansah Dalidjo
Ada tiga perempuan adat dari Tano Batak, datang ke Jakarta. Mersi Silalahi, Esna Sidauruk, dan Berliana Manik menjadi bagian dari 40 orang perwakilan berbagai komunitas adat yang tinggal di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara (Sumut). Kehadiran Masyarakat Adat Batak ke ibu kota, hendak menagih janji Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pada 6 Agustus 2021 lalu, Jokowi menerima kedatangan Togu Simorangkir di Istana Merdeka. Saat itu, Togu bersama Irwandi Sirait, Anita Martha Hutagalung, dan delapan orang lainnya, - kemudian disebut Tim 11 - tuntas melakukan Aksi Jalan Kaki Tutup PT Toba Pulp Lestari (Ajak Tutup TPL) selama 44 hari dengan menempuh perjalanan sekitar 1.700 kilometer dari kawasan Danau Toba ke Jakarta.
Ketika berjumpa dengan Jokowi, aktivis lingkungan sekaligus perwakilan Masyarakat Adat Batak itu telah menyerahkan dokumen berupa daftar kejahatan TPL yang selama puluhan tahun membuat Masyarakat Adat menderita. Togu juga menyampaikan tuntutan agat TPL segera ditutup.
Kepada Togu, Jokowi memberikan kabar gembira berupa janji penyelesaian masalah dan upaya untuk perbaikan lingkungan lewat penanaman pohon. Namun, itu belum ditepati.
Penderitaan yang Tak Kunjung Usai
Gelombang aksi berupa protes di jalan-jalan di berbagai kabupaten/kota di Sumut serta Ajak Tutup TPL maupun keramaian di media sosial dengan tagar #TutupTPL, adalah puncak dari kemarahan Masyarakat Adat Batak yang tak dapat dibendung lagi. Hal itu dipicu oleh bentrokan yang terjadi pada 18 Mei 2021, di mana ratusan pekerja dan petugas keamanan TPL menerobos masuk ke tanah leluhur yang diklaim sebagai wilayah konsesi perusahaan. Pada peristiwa itu, 12 warga adat mengalami luka serius.
Pada konferensi pers yang digelar di Jakarta pada Rabu lalu (17/11/2021), Mersi Silalahi dari Lantoras, Sihaporas, Kabupaten Simalungun, hadir memberikan kesaksian dan permohonan kepada Jokowi.
Esna Sidauruk (kiri), Mersi Silalahi (tengah), dan Berliana Manik (kanan) mewakili perempuan adat korban TPL di Simalungun, Sumut. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.
“Kami perwakilan Masyarakat Adat dari Tanah Batak, datang ke Jakarta untuk menjumpai Bapak Presiden dan Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya untuk sampaikan keluh kesah dan perbuatan merugikan masyarakat yang dilakukan oleh TPL,” ungkap Mersi. Selain meminta agar TPL ditutup, ia juga mendesak agar hak Masyarakat Adat dikembalikan, khususnya wilayah adat yang telah dirampas.
Penderitaan yang dialami oleh Mersi mewakili, tidak hanya perempuan adat, melainkan juga banyak Masyarakat Adat yang menggantungkan hidup dari kelestarian Danau Toba dan alam di sekitarnya. Selain pengrusakan dan pencemaran lingkungan, Mersi juga mengutarakan soal kriminalisasi yang terjadi, termasuk pada suaminya sendiri yang sempat dilaporkan oleh pihak perusahaan dan ditangkap selama enam bulan pada 2019.
“Kami berjuang untuk memohon kepada pemerintah untuk tutup TPL. Mereka beroperasi di sana dan tak pedulikan ada Masyarakat Adat,” tuturnya. Mersi membeberkan fakta atas pencemaran dan intimidasi yang dilakukan oleh pihak perusahaan. “Mereka mendirikan kemah di sumber mata air Masyarakat Adat. Mereka mengambil air dari sana untuk penyemprotan dan meninggalkan sisa pestisida yang menyebabkan ikan mati gara-gara racun.”
Di mata air itulah, mereka diduga sengaja buang air besar sebagai bentuk intimidasi. Mersi dan warga mengaku bahwa mereka tak punya pilihan selain mengonsumsi air yang telah tercemar, baik oleh pestisida maupun tinja manusia, selama berbulan-bulan.
Mersi bilang, “Saya sampaikan ke Bapak Presiden dan Bu Siti Nurbaya, kelakuan mereka tak perhatikan HAM. Kami melapor ke Dinas Lingkungan Hidup dan kami buat perjanjian agar mereka tak buat kemah di umbul (mata air). Tapi, seminggu setelahnya, mereka lakukan lagi, memang TPL tak ada peri kemanusiaan dan tak hargai manusia. Saya sebagai ibu, saya punya lima anak, faktor ekonomi sangat membuat saya hampir putus asa. Tapi, di dalam benak saya, suami saya ingin agar tanah leluhur - tanah adat kami - kembali ke kami.”
Kehadiran TPL pun turut memecah belah Masyarakat Adat yang kemudian jadi saling berselisih karena sebagian direkrut sebagai buruh perusahaan. Lebih dari itu, mereka yang berjuang pun mendapatkan diskriminasi dan stigma sebagai dampak lanjutan. Mersi tak hanya harus bergelut menjadi tulang punggung keluarga ketika suaminya ditangkap, ia juga dilecehkan. Anaknya sempat tak mau pergi ke sekolah karena diolok-olok.
“Saya duduk di sini meminta kepada Pak Jokowi dan Bu Siti Nurbaya agar menolong kami. Kami bukan perampas hak. Kami meneruskan titipan leluhur kami. Kami tahu Indonesia penuh budaya, jadi kami hanya teruskan itu. Kami percaya melalui sejarah dan peninggalan orangtua kami, itu adalah hak kami. Kami mohon tolong kami! Tolong TPL ditutup dan kembalikan hak Masyarakat Adat. Kami meminta dengan sangat kepada Pak Jokowi dan Bu Menteri, tolong agar TPL ditutup karena di Tanah Batak, ada banyak masalah.”
Dengan tangis, Mersi tak ingin berhenti. Ia melanjutkan kesaksian dan permohonannya.
“Tak kasihan pada orang yang perjuangkan hak-haknya? Apakah begitu untuk rakyat? Kami memohon kepada Pak Presiden, agar dengarkan pakai suara dan hati nurani, Bapak! Kami manusia dan bukan binatang. Sengaja TPL usir kami dari tanah adat. Karena Bapak dan Ibu yang punya wewenang untuk masalah kami, jadi kami mohon dengan sangat perhatian Pak Jokowi dan Bu Menteri Siti Nurbaya.”
Akumulasi Konflik Agraria
Benni Wijaya dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mengingatkan Jokowi agar lekas menyelesaikan perkara dan penderitaan yang dihadapi oleh Masyarakat Adat di Tano Batak. Menurutnya, usai bertemu dengan Togu Simorangkir dan mengutarakan janji, tak ada langkah konkrit terhadap aspirasi Masyarakat Adat. Ia menegaskan bahwa kedatangan kembali 40 warga adat tersebut ke Jakarta, merupakan bentuk kekecewaan.
“Apa yang dihadapi Masyarakat Adat Batak, adalah cermin konflik agraria yang terjadi di Indonesia selama berdekade dan terus melahirkan korban,” ungkap Benni. “Itu karena tidak ada keseriusan untuk selesaikan konflik. Akibatnya, konflik berlarut dan korban terus bertambah. Terjadi pelanggaran HAM yang kian luas.”
KPA mencatat sepanjang 2015-2020, terjadi lebih dari dua ribu konflik agraria yang diungkapkan Benni sebagai konflik lama yang terakumulasi dengan konflik baru. Tingginya jumlah konflik itu disebabkan karena ketiadaan upaya serius dari pemerintah.
“Kita meminta untuk ini waktunya buka ‘kotak pandora’ atas klaim sepihak kawasan hutan,” tegas Benni pada konferensi pers yang sama.
Menurutnya, konflik di sektor kehutanan disebabkan oleh klaim sepihak pemerintah, di mana klaim tersebut kemudian dimasukkan ke dalam area konservasi maupun diberikan ke perusahaan dalam bentuk konsesi. Hal tersebut menempatkan Masyarakat Adat sebagai pemilik wilayah adat, selayaknya penghuni ilegal, padahal Masyarakat Adat telah hidup turun termurun di sana.
“Kita dukung perjuangan Masyarakat Adat dari Tano Batak untuk mendapat haknya dan menuntut pemerintah segera cabut izin TPL dan menutup TPL karena telah banyak menyebabkan kerugian. Kita khawatir, jika itu tidak dilakukan, (maka) akan terus ada korban.”
***