Oleh Apriadi Gunawan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyahuti secara serius perjuangan Masyarakat Adat di Tano Batak yang menuntut pemerintah untuk segera menutup perusahaan pulp (bubur kertas) dan kertas PT Toba Pulp Lestari (TPL) di kawasan Danau Toba, Provinsi Sumatera Utara.

Komnas HAM meminta Masyarakat Adat yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL untuk mengumpulkan bukti-bukti autentik yang dapat dijadikan bahan pertimbangan menutup TPL.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan bahwa perjuangan Masyarakat Adat menuntut penutupan TPL, sudah lama. Bahkan, sebelum Taufan diangkat sebagai Ketua Komnas HAM, tuntutan tutup TPL sudah lebih dulu menggema di wilayah adat Tano Batak. Taufan yang adalah putra daerah asal Simalungun, mengaku kenal dengan sejumlah tokoh Tano Batak yang kerap menentang keberadaan TPL, seperti Musa Gurning.

Taufan mengatakan kalau Komnas HAM punya wewenang, pasti sudah ditutup TPL. Namun, Komnas HAM bukan pemerintah, sehingga tidak bisa menutup TPL. Menurutnya, yang punya kewenangan menutup TPL adalah pemerintah. Sementara Komnas HAM, hanya berwenang untuk mendesak pemerintah agar mematuhi aturan-aturan yang berlaku untuk rakyat.

“Komnas HAM bisa mengawasi mereka (pemerintah), memeriksa ke lapangan. Tapi, tidak punya wewenang. Kalau Komnas HAM punya wewenang, saya tutup hari ini, saya tandatangani. Hari ini juga saya tutup TPL,” kata Taufan saat menerima audiensi perwakilan Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL di kantor Komnas HAM pada Senin (22/11/2021).

Audiensi Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL dengan Komnas HAM. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Taufan mengatakan, Komnas HAM sangat mencurahkan perhatiannya pada kasus TPL ini karena sudah jadi isu nasional. Taufan menjelaskan kalau dulu TPL sering disorot dengan pencemaran limbah, namun sekarang lebih pada konsesi hutannya yang merambah hak ulayat Masyarakat Adat. Selain itu, produksi mereka secara ekologis, merusak.

“Kalau dikumpulkan semua (bukti) dari daerah, maka akan jadi persoalan yang besar,” kata Taufan.

Taufan mengatakan, Komnas HAM dalam waktu dekat akan segera memanggil pihak TPL, termasuk kepolisian.

“Kita akan minta keterangannya,” tandasnya.

Sandrayati Moniaga, Komisioner Komnas HAM yang turut hadir dalam pertemuan dengan perwakilan Masyarakat Adat tersebut, mengutarakan bahwa kasus TPL sudah lama dipantau oleh Komnas HAM sejak 2010. Ia menyebut kalau sudah banyak bahan yang dikumpulkan, termasuk kasus Pandumaan. Namun, dalam pertemuan itu, Sandrayati meminta agar Masyarakat Adat mengumpulkan bukti untuk dicocokkan.    

“Saya rasa yang diperlukan data. Kalau omongan saja, tidak cukup. Kita perlu ada catatan peristiwa secara lebih detail. Kalau tidak, nanti kita dikira hanya asumsi-asumsi saja di Komnas HAM ini,” kata Sandrayati Moniaga.

Sandrayati mengusulkan ada satu peta yang lebih komprehensif mengenai wilayah konsesi TPL untuk memastikannya dengan wilayah adat Tano Batak.

Ia menyatakan bahwa Komnas HAM telah memahami tuntutan Masyarakat Adat, yaitu tutup TPL. Alasan penutupan itu dikarenakan oleh Masyarakat Adat yang merasa bahwa lahan yang diserahkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk penghijauan, tapi dimanfaatkan untuk yang lain.

“Itu dulu untuk penghijauan, untuk menjaga sistem tata air, bukan diserahkan kepada pihak lain. Lalu, ada kerusakan lingkungan,” kata Sandrayati menambahkan akibat kerusakan lingkungan di sekitar Danau Toba, di mana pernah terjadi bencana longsor hingga menelan korban jiwa 13 orang di Bulu Silampe.

Sandrayati menyatakan bahwa sampai sekarang kerusakan lingkungan masih ada. Ia mengaku pernah turun ke sana dan tempatnya terbuka.

“Itu artinya pembukaan hutan secara besar-besaran telah berdampak pada hasil pertanian Masyarakat Adat di sana, seperti kemenyan, kopi,” ujarnya.

Masalah lain yang disoroti Komnas HAM, antara lain soal respon aparat di daerah Tano Batak. Menurut Sandrayati, polisi di daerah tersebut tidak bersikap sebagaimana mestinya, sedangkan pegawai TPL juga kurang pas dalam bertindaknya.

Hal tersebut dibenarkan oleh Roganda Simanjuntak, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Wilayah Tano Batak saat memimpin perwakilan Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL beraudiensi dengan Komnas HAM.

“Tindakan kekerasan polisi dan pegawai TPL selama ini sangat masif. Masyarakat Adat Tano Batak dikriminalisasi dalam mempertahankan wilayah adatnya,” kata Roganda.

Ia menyebut bahwa sudah banyak warga yang dikriminalisasi. Ada 16 orang menjadi korban tindak kekerasan di Kabupaten Toba. Menurutnya, sejak TPL masih bernama Indorayon tahun 1983 sampai sekarang, justru aktivitas TPL semakin brutal dan parah. Indorayon pernah ditutup oleh Presiden B. J. Habibie pada 1998.

“Selain masalah limbah di sekitar pabrik, juga ada lima daerah di kawasan Danau Toba yang terdampak langsung dari kehadiran TPL, mulai dari perampasan wilayah adat, pengrusakkan, hingga penghancuran hutan-hutan adat yang berdampak pada kerusakan lingkungan, seperti krisis air bersih dan pencemaran langsung dari racun pabrik TPL,” paparnya.

Roganda menegaskan bahwa kehadiran TPL tidak ada manfaatnya bagi Masyarakat Adat. Oleh karena itu, Masyarakat Adat bersama para pendukungnya berharap kepada Komnas HAM untuk terlibat penuh dalam menyelesaikan masalah. Masyarakat Adat juga meminta kepada pemerintah untuk segera menutup TPL dan mengembalikan wilayah adat yang dirampas TPL ke Masyarakat Adat.

“Kami berharap Komnas HAM turut mengawal dan mengawasi tuntutan tutup TPL ini,” kata Roganda sambil menyebut kehadiran puluhan organisasi masyarakat sipil di level daerah dan nasional terlibat dan tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL.

***

Writer : Apriadi Gunawan  | Jakarta
Tag : Tutup TPL Roganda Simanjuntak Komnas HAM PW AMAN Tano Batak