Masyarakat Adat Sembalun: “Cabut HGU PT SKE!”
26 November 2021 Berita Mohamad Hajazi dan SahnilOleh Mohamad Hajazi dan Sahnil
Ribuan warga Masyarakat Adat Sembalun dan masyarakat di Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, - yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sembalun Menggugat - menggelar aksi damai menuntut Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB) mencabut izin hak guna usaha (HGU) PT Sembalun Kusuma Emas (SKE) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Warga yang sebagian besar petani itu juga mengancam akan pindah ke Kabupaten Lombok Utara karena Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lombok Timur dinilai kurang memperhatikan masyarakat di Sembalun.
Aksi yang berlangsung selama dua hari, mulai dari Rabu (24/11/2021) hingga Kamis (25/11/2021) itu, merupakan rentetan aksi protes warga atas perampasan wilayah adat dari Masyarakat Adat Sembalun yang dilakukan oleh PT SKE. Pada hari pertama, warga melakukan protes dengan aksi jalan kaki menuju Kantor Bupati Lombok Timur, sementara di hari kedua, massa bergerak ke Kantor Kejaksaan Tinggi, BPN, serta Kantor Gubernur NTB.
Para perwakilan pengunjuk rasa pun berkesempatan untuk berdialog dengan utusan pejabat dari Kejaksaan Tinggi NTB.
Dalam dialog tersebut, Lalu Kesumajayadi, perwakilan dari organisasi sayap AMAN untuk pemuda adat, yaitu Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) untuk Daerah Lombok Tengah, mengatakan aksi yang berlangsung selama dua hari itu bertujuan untuk menuntut pemerintah mencabut izin HGU PT SKE. Ia meminta agar Pemkab Lombok dan Pemprov NTB, tidak mengkhianati masyarakatnya dengan membiarkan terus PT SKE beroperasi di atas penderitaan warga.
“Pemerintah harus membela warganya, bukan (membela) perusahaan yang telah merampas tanah adat kami,” kata Lalu Kesumajayadi pada Kamis (25/11/2021). “Kembalikan tanah adat kami!”
Lalu mengatakan bahwa warga menuntut hak agar wilayah adat yang telah dirampas oleh PT SKE, dikembalikan. Ia menyatakan keheranannya atas terbitnya izin HGU di atas wilayah adat.
Salah seorang pejabat Kejaksaan Tinggi NTB yang menerima perwakilan warga, mengatakan bahwa pihaknya berjanji akan mengusut tuntas penerbitan izin tersebut dan berjanji akan mengusut oknum yang terlibat.
Merespon janji tersebut, perwakilan Aliansi Masyarakat Sembalun Menggugat mengungkapkan agar pejabat jangan sekadar mengumbar janji.
“Jangan hanya kami dijanji-janji karena kami muak dengan buaian dan janji semu," kata seorang warga bernama Junaedi.
Hal senada disampaikan oleh warga lain, yakni Rully. Menurutnya, sudah terlalu banyak janji yang diumbar ke warga, sementara realisasinya tidak ada. Ia mencontohkan janji dari bupati menjelang Pilkada lalu yang akan membantu warga memperoleh pengakuan atas wilayah adatnya. Namun, itu hanya isapan jempol alias janji palsu. Sampai saat ini, itu belum terealisasi.
“Kami butuh bukti, bukan janji. Saat ini, warga (Masyarakat Adat) Sembalun ingin tanah adatnya kembali,” kata Rully.
Amrullah, warga lainnya, mengatakan kalau Pemkab Lombok Timur selama ini hanya mengobral janji dan Masyarakat Adat Sembalun sudah bosan atas hal tersebut. Dirinya meminta kepada pemerintah setempat agar melepas Sembalun untuk pindah ke Kabupaten Lombok Utara.
“Kami ingin pindah ke Kabupaten Lombok Utara karena Pemkab Lombok Timur kurang memperhatikan masyarakat di Sembalun,” katanya.
Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Lombok Timur Sayadi yang pula menjadi koordinator lapangan dalam aksi damai tersebut, menyampaikan bahwa keluarnya sertifikat HGU PT SKE pada awal 2021, telah menuai konflik antara petani Sembalun dan perusahaan.
Menurutnya, rekomendasi dan izin lokasi yang dikeluarkan oleh Bupati Lombok Timur H. M. Sukiman Azmy dan sertifikat HGU yang dirilis oleh BPN, tidak melibatkan petani Sembalun yang telah menggarap lahan di sana selama 26 tahun.
"Proses penerbitan izin HGU tidak jelas,” ujar Sayadi. Ia menerangkan bahwa areal konsesi perusahaan itu sebelumnya merupakan kebun maupun ladang yang menjadi sumber penghidupan Masyarakat Adat dan masyarakat lokal. “Ironisnya, petani Sembalun kini tergusur dari tanahnya."
Sowani alias Amaq Rilli selaku pimpinan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (Agra) Lombok Timur yang pula menjadi koordinator umum untuk aksi damai tersebut, mengatakan bahwa selama konflik berlangsung, pihak perusahaan tetap beraktivitas di lahan dengan mencoba melakukan pemagaran dan menerbitkan surat pinjam pakai yang mengklaim bahwa petani Sembalun hanya berstatus sebagai peminjam.
"Kami tidak diajak untuk koordinasi, tiba-tiba sertifkat HGU sudah keluar. Itu cacat hukum dikarenakan pihak desa setempat serta petani tidak dilibatkan dan tidak tahu menahu,” tandasnya.
Menurut Sowani, pihak pemerintah menjanjikan akan menyelesaikan konflik melalui skema pembagian Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Akan tetapi, skema yang ditawarkan itu tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan terkait reforma agraria yang berlaku.
"Petani dijanjikan tanah seluas 15 are (setara dengan 1.500 meter persegi) dengan alih-alih mengklaimnya sebagai reforma agraria dalam skema TORA, namun petani tidak dijamin haknya," ujarnya.
***
Penulis adalah jurnalis rakyat dari AMAN Wilayah NTB.