Oleh Apriadi Gunawan

Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL, mengecam keras tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian terhadap perwakilan Masyarakat Adat dari Tano Batak, Sumatera Utara saat melakukan aksi damai di depan gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta Pusat pada Jumat (26/11/2021).

Para aktivis menilai tindakan aparat kepolisian tersebut merupakan gambaran pemerintah yang sangat represif dan anti-kritik terhadap aspirasi keadilan yang disuarakan masyarakat.

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan, tidak sepatutnya aparat kepolisian bertindak brutal terhadap Masyarakat Adat dari Tano Batak yang sedang menuntut keadilan atas perampasan wilayah adat. Menurut Rukka, tindakan represif yang dipertontonkan aparat kepolisian tersebut, mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.  

“Kita mengecam keras tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian terhadap Masyarakat Adat dari Tano Batak,” kata Rukka pada malam usai kejadian di hari yang sama (26/11/2021).

Sejumlah Masyarakat Adat dari Tano Batak terluka akibat dipukul oleh aparat kepolisian saat melakukan aksi damai menuntut penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di depan gedung KLHK. Mereka dipukul ketika polisi membubarkan aksi damai dan memaksa sejumlah aktivis masuk ke mobil polisi. Seorang di antara mereka adalah Maruli Simanjuntak. Pria asal Toba tersebut mengalami luka memar pada wajah akibat dipukul oleh aparat kepolisian ketika dipaksa masuk ke mobil polisi.

Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL - sebuah aliansi yang terdiri dari Masyarakat Adat dan berbagai organisasi masyarakat sipil - sebetulnya hanya ingin menyampaikan aspirasi sekaligus meminta untuk bertemu dengan Menteri LHK  Siti Nurbaya. Mereka ingin menyampaikan aspirasi keadilan berkaitan dengan tuntutan penyelesaian konflik agraria melalui pencabutan izin TPL dan pengembalian wilayah adat Tano Batak yang selama sekitar 30 tahun dirampas TPL. 

Selain itu, massa aksi damai juga ingin menagih janji Presiden Joko Widodo dan Menteri LHK Siti Nurbaya pada Agustus 2021 lalu atas penyelesaian konflik agraria struktural antara Masyarakat Adat dan TPL. Namun, bukan dialog dan penyelesaian yang didapat, melainkan perlakuan represif oleh aparat kepolisian terhadap Masyarakat Adat.

Sebanyak 21 orang perwakilan Masyarakat Adat Tano Batak, ditangkap polisi saat melangsungkan aksi damai. Mereka dibawa ke Polres Metro Jakarta Pusat. Namun, sekitar pukul 21.00 WIB, para perwakilan Masyarakat Adat Tano Batak tersebut dibebaskan.

Rukka mengatakan bahwa tindakan represif dan penangkapan itu merupakan bentuk intimidasi terhadap Masyarakat Adat dari Tano Batak. 

“Hari ini, sekali lagi kita menyaksikan sikap pemerintah yang menulikan kuping terhadap tuntutan Masyarakat Adat dari Tano Batak untuk menutup PT TPL yang sudah 30 tahun merampas wilayah adat dan menimbulkan penderitaan yang tidak berkesudahan. Permintaan untuk audiensi dijawab dengan penangkapan utusan Masyarakat Adat,” ungkap Rukka.

Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Tano Batak Roganda Simanjuntak yang ikut ditangkap dalam aksi tersebut, menyatakan rasa terima kasihnya atas dukungan dari semua kawan. Akhirnya, rombongan Masyarakat Adat dipulangkan dari Markas Polres Metro Jakarta Pusat. 

Roganda mengatakan bahwa tindakan represif polisi dan pihak KLHK yang menyeret dan memukuli para orang tua yang sedang istirahat dengan duduk di teras kantor KLHK, sebagai hal yang biadab. Padahal, perwakilan Masyarakat Adat dari Tano Batak itu datang dari Bona Pasogit (tanah leluhur yang melekatkan identitas orang Batak) untuk menemui Siti Nurbaya dalam rangka menagih janji terkait pengrusakan kawasan Danau Toba, pencemaran lingkungan, dan perampasan wilayah adat oleh TPL.

“Kami akan terus melawan dan berjuang sampai PT TPL ditutup dan wilayah adat yang mereka rampas, dikembalikan kepada Masyarakat Adat,” tandas Roganda.

***

Writer : Apriadi Gunawan  | Jakarta
Tag : Rukka Sombolinggi Tutup TPL KLHK Tano Batak Polres Metro Jakarta Pusat