Oleh Apriadi Gunawan

Setelah sepekan dijatuhi sanksi, pemerintah akhirnya membayar denda adat karena bersalah memasang patok di kebun warga tanpa izin dari Masyarakat Adat Salena di Kelurahan Buluri, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah.

Pembayaran denda adat berupa tiga ekor kambing dan tiga dulang itu dilakukan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVI Palu (BPKH Palu) pada Selasa (7/12/2021). Peristiwa tersebut menjadi tonggak sejarah bagi Masyarakat Adat Salena yang baru pertama kali memberlakukan sanksi adat terhadap pemerintah.

Haerul, tokoh Masyarakat Adat Salena, mengapresiasi sikap BPKH Palu yang telah menepati janjinya untuk membayar denda adatnya kepada Masyarakat Adat Salena. Haerul menyatakan bahwa denda adat tersebut dibayarkan oleh BPKH Palu setelah dinyatakan bersalah memasang patok tanpa izin di kebun warga.

“Ini pertama kalinya kami menjatuhkan sanksi kepada pemerintah untuk membayar denda adat. Selama ini denda adat hanya diberlakukan untuk Masyarakat Adat,” kata Haerul pada Rabu (8/12/2021).

Haerul mengatakan, denda adat itu menjadi peringatan bagi siapa saja, termasuk pemerintah, agar taat pada hukum adat ketika memasuki wilayah adat. Haerul meminta semua pihak menghormati penerapan denda adat dan menjadikan peristiwa itu sebagai pelajaran.

Haerul menjelaskan bahwa denda adat dijatuhkan kepada BPKH Palu pada satu minggu lalu melalui musyawarah adat. Sejumlah tokoh Masyarakat Adat dan perwakilan BPKH Palu hadir dalam musyawarah adat yang berlangsung di Balai Pertemuan Adat Salena. Dalam musyawarah adat yang berlangsung dengan penuh kekeluargaan tersebut, perwakilan BPKH Palu mengakui kesalahan mereka dan menyanggupi sanksi yang dijatuhkan oleh Masyarakat Adat Salena.

“Sanksinya denda adat yang minimal berupa tiga ekor kambing dan tiga dulang. Kita beri batas waktu selama tujuh hari untuk membayarnya, tapi dalam waktu lima hari sudah dibayarkan. Mereka membayar lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Ini patut diapresiasi,” kata Haerul.

Haerul menyebut bahwa denda tiga ekor kambing sudah diserahkan oleh perwakilan BPKH Palu kepada Masyarakat Adat Salena pada Selasa (7/12/2021). Pembayaran denda tiga ekor kambing itu bersamaan dengan pembayaran tiga dulang. Namun, karena BPKH Palu tidak memiliki dulang, maka diganti dalam bentuk uang senilai Rp2,5 juta.

Haerul menuturkan, ketiga ekor kambing yang dibayarkan tersebut sudah mereka sembelih dan dimakan bersama seluruh Masyarakat Adat Salena dalam satu upacara adat yang berlangsung di Balai Pertemuan Adat pada Rabu (8/12/2021). Sementara itu, uang yang dibayarkan seluruhnya telah mereka belikan dulang.

“Dulang secara leluhur merupakan salah satu syarat buat upacara adat. Tanpa dulang, tidak ada upacara adat. Makanya, uang yang dibayarkan telah dibelanjakan untuk membeli dulang,” kata Haerul.

Haerul menuturkan bahwa pembayaran denda adat tersebut berawal ketika BPKH Palu ingin memasang patok di hutan adat. Peristiwa itu berlangsung tiga bulan lalu. Saat itu, Masyarakat Adat Salena menolak pemasangan patok karena lokasinya tidak berada di wilayah hutan negara, melainkan hutan adat. Atas penolakan itu, BPKH Palu mengurungkan niatnya. Namun, secara diam-diam, petugas BPKH Palu malah memasang patok di areal kebun warga tanpa izin dari Masyarakat Adat. Tindakan itu diprotes warga dan berujung dengan mengadili secara adat BPKH Palu dengan hukum adat yang berlaku.

“BPKH Palu dinyatakan bersalah (karena) memasang patok di kebun warga tanpa izin dari Masyarakat Adat. Menurut kami, tindakan itu sama halnya dengan mencuri,” kata Haerul.      

Haerul mengungkap alasan Masyarakat Adat menolak pemasangan patok di areal hutan adat, adalah karena memang itu tidak dibenarkan dan ada kekhawatiran dengan pengalaman masa lalu. Haerul menceritakan bahwa Masyarakat Adat di Kampung Tua pernah dipindah paksa ke Palolo, Donggala karena masalah patok tahun 1977.

Saat itu, warga yang menolak wilayah adatnya dipatok, akan menerima konsekuensi cambuk. Karena takut, akhirnya mereka mengikhlaskan wilayah adatnya dipatok. Tak lama kemudian, Masyarakat Adat yang ada di Kampung Tua dipindah paksa.

“Kami takut itu akan terjadi kepada kami, maka saat ini tidak pernah kami izinkan ada pemasangan patok di wilayah adat kami,” kata Haerul.

Tamin S. Rantelino sebagai Ketua RW Salena, berharap pemerintah tidak lagi melakukan penggusuran wilayah adat dengan beralasan pada patok. Tamin mengatakan bahwa untuk membentengi diri, Masyarakat Adat memberlakukan hukum adat yang berlaku kepada siapa saja, termasuk unsur pemerintah, di wilayah adat.

“Hukum adat bukan hanya berlaku untuk orang luar, tetapi dalam kehidupan sehari-hari Masyarakat Adat Salena juga memberlakukan hal ini jika ada yang melanggar adat,” ungkap Tamin saat menghadiri upacara adat di Balai Pertemuan Salena pada Rabu (8/12/2021).

Tamin mengatakan, apa yang merela berlakukan itu tidak terlepas dari petunjuk leluhur. Tanpa pertolongan leluhur, Masyarakat Adat tidak sanggup menjatuhkan sanksi hukum kepada siapa pun. Menurutnya, bukan hanya pemerintah yang memiliki hukum, tetapi Masyarakat Adat juga memilikinya.

“Hukum adat yang kami terapkan berlaku untuk siapa saja. Siapa yang salah, kita hukum dengan sanksi denda adat,” kata Tamin.

***

Writer : Apriadi Gunawan  | Jakarta
Tag : AMAN Sulteng Masyarakat Adat Salena BPKH Palu