Oleh Apriadi Gunawan

Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN Rukka Sombolinggi mendesak kepolisian untuk segera membebaskan Kepala Desa Kinipan Wilem Hengki dari tahanan karena diduga menjadi korban kriminalisasi oleh sekelompok orang.

Rukka menyatakan bahwa dirinya kecewa dengan aparat kepolisian karena dengan sewenang-wenang telah menahan Wilem Hengki. Menurutnya, tindakan polisi tersebut offside (di luar posisi) sebab sarat dengan kepentingan.

Kriminalisasi Masyarakat Adat

Ia menjelaskan bahwa Kepala Desa Kinipan itu merupakan salah satu tokoh Masyarakat Adat Kinipan yang selalu berjuang mempertahankan wilayah adatnya dari ekspansi perkebunan sawit PT Sawit Mandiri Lestari (SML). Kegigihannya dalam mempertahankan wilayah adat, diduga menjadi penghalang atas kepentingan kelompok tertentu, sehingga kehadiran maupun perjuangannya hendak disingkirkan. 

“Begini nasib Kepala Desa Kinipan yang konsisten mempertahankan wilayah adat (dan) yang menolak sawit,” kata Rukka pada sabtu (15/01/2022). Ia menjelaskan bahwa apa yang dialami Wilem, merupakan bentuk kriminalisasi yang tak lain adalah pembungkaman atas perlawanan Masyarakat Adat. Rukka juga menyinggung tentang fenomena elite capture (penangkap elit) terkait dengan bentuk korupsi yang membiaskan sumber daya publik demi kepentingan tertentu. “Akhirnya, mereka berhasil menangkap kepala desa yang baik…. (Itu) hanya salah satu strategi lanjutan ketika (upaya) elite capture, sogok, dan pecah belah tidak berhasil.”

Rukka mendesak pihak kepolisian untuk segera membebaskan Wilem Hengki dari tahanan. Menurutnya, kriminalisasi yang berujung pada penahanan tersebut, akan membuat citra polisi semakin jelek di masyarakat.

Sinung Karto, Staf Advokasi Pengurus Besar AMAN, menerangkan bahwa kasus yang menjerat Wilem berawal dari Surat Perintah Bupati Lamandau Hendra Lesmana yang bersifat rahasia kepada Inspektorat Kabupaten Lamandau tanggal 31 Januari 2020. Dalam surat tersebut, Hendra memerintahkan agar dilaksanakan pemeriksaan  khusus terhadap pelaksanaan belanja modal dan belanja barang dan jasa sesuai ketentuan pada pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Kinipan untuk tahun anggaran pada 2017, 2018, dan 2019. Bupati pun meminta agar hasil itu dilaporkan dalam waktu segera mungkin kepada dirinya.

“Bila mencermati surat perintah itu, patut kita menduga (bahwa) Kepala Desa Kinipan sudah lama dibidik,” kata Sinung.

Ia mengutarakan bahwa berangkat dari surat yang dikeluarkan oleh Bupati Lamandau itulah, tim inspektorat bisa bekerja. Menurutnya, banyak temuan dari inspektorat yang sengaja mengorek-ngorek kesalahan Wilem sebagai kepala desa.

“Itu artinya sudah lama titik lemah Kinipan selalu dicari, khususnya terhadap mereka yang teguh pendiriannya (dalam) mempertahankan wilayah adat dari ekspansi sawit,” ujar Sinung.

Sejak 2012, Masyarkat Adat Kinipan gigih menolak wilayah adat untuk dijadikan perkebunan sawit. Jauh sebelum Willem Hengki menjabat di sana, para kepala desa terdahulu bersama Masyarakat Adat telah bersikap seperti itu. Sementara itu, segelintir warga yang kemudian menerima kehadiran perkebunan sawit, terdesak oleh kebutuhan ekonomi, di mana ada dari warga setempat yang turut bekerja sebagai buruh untuk perusahaan perkebunan itu.

Masyarakat Adat Laman Kinipan di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, telah mengajukan protes atas penahanan Kepala Desa Kinipan Wilem Hengki. Masyarakat Adat dan para pendukungnya juga mendesak aparat kepolisian agar segera membebaskannya.

Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, menuturkan bahwa penahanan Kades Kinipan atas dugaan korupsi, merupakan hal yang keliru. Pasalnya, jalan desa yang menjadi objek kasus tersebut masih dinikmati oleh masyarakat sampai saat ini.

Buhing menyatakan bahwa jalan tersebut selesai dikerjakan tahun 2017 saat Wilem belum menjabat sebagai kepala desa. Dan ketika diangkat, Wilem hanya membayar hutang proyek jalan usaha tani tersebut pada 2019.

“Kades Wilem Hengki tidak bersalah,” tegas Buhing. “Penahanannya merupakan bentuk kriminalisasi.”

Oleh karena itu, Masyarakat Adat Laman Kinipan mendesak polisi agar segera membebaskan Wilem Hengki dan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus tersebut.

Buhing mengungkapkan bahwa sampai saat ini, Wilem merupakan tokoh yang bersama warga selalu berjuang mempertahankan wilayah adat dari ekspansi perkebunan sawit PT SML.

Aryo Nugroho dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya yang tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Kinipan, menyatakan kecewa atas penahanan Wilem Hengki yang dilakukan oleh Polres Lamandau. Sebagai pula pengacara Wilem Hengki, ia telah meminta Polres Lamandau agar penahanan Wilem ditangguhkan. Namun, pihak Polres menolak dengan alasan untuk mempermudah proses penyerahan Wilem Hengki ke kejaksaan pada hari Senin (17/1/2022).

“Kita protes atas ditolaknya permohonan penangguhan penahanan ini sebab selama ini, Kades Wilem Hengki tidak pernah mangkir dari proses hukum, (sehingga) mestinya tidak perlu sampai ditahan,” kata Aryo.

Kronologis Penahanan

Kepala Desa Kinipan Wilem Hengki ditetapkan sebagai tersangka sejak 11 Agustus 2021 oleh pihak Kepolisian Resor Lamandau dengan sangkaan dugaan korupsi dana desa tahun 2019. Pada Jumat (14/1/2022), ia ditahan dengan tuduhan pelanggaran Pasal 2, Jo Pasal 3, Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana sejumlah pihak berpendapat kalau sangkaan tersebut bertolak belakang dengan fakta yang sesunguhnya.

Berdasarkan keterangan dari Koalisi Keadilan untuk Kinipan, kasus yang diduga sarat dengan muatan rekayasa itu, berawal saat Willem Hengki baru dilantik menjadi Kepala Desa Kinipan tahun 2018 lalu.

Pada Desember 2018, ia pernah didatangi oleh pihak dari CV Bukit Pendulangan yang diwakili oleh Ratno bersama mantan kepala desa sebelumnya. Maksud dari kedatangan mereka, adalah menagih pembayaran jalan desa yang telah dikerjakan pada 2017. Dasar dari penagihan tersebut adalah surat kerja sama antara Desa Kinipan dan CV Bukit Pendulangan No. 140/92/KI/IX/2017 tentang Pembangunan Usaha Tani di Desa Kinipan tertanggal 8 September 2017.

Willem tidak serta merta membayar pekerjaan yang telah dikerjakan oleh CV Bukit Pendulangan tersebut. Ia kemudian meminta pendapat kepada warga terkait persoalan penagihan itu.

Pada 25 Januari 2019, dilakukan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) Desa Kinipan dengan hasil yang disepakati salah satunya adalah pembayaran pekerjaan jalan yang dianggarkan pada 2019 serta tertuang pada Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) di tahun yang sama.

Wilem juga telah berkoordinasi ke sejumlah instansi mengenai itu, termasuk Dinas Pembinaan Masyarakat Desa dan Inspektorat Kabupaten Lamandau. Hasil dari koordinasi tersebut, ditemukan satu kesimpulan bahwa pekerjaan tahun 2017 tersebut, bisa dibayarkan dengan syarat kalau pekerjaan itu terbukti tidak fiktif dan tidak terjadi kenaikan perhitungan. Wilem akhirnya membayar hutang atas pekerjaan berupa pembukaan jalan Desa Pahiyan sepanjang 1.300 meter dan pembersihan jalan pada 2019.

Namun, pada Februari 2020, Inspektorat Kabupaten Lamandau mengeluarkan Surat No. 700/21/II/2020/INSP tentang Laporan Hasil Pemeriksaan Khusus atas Pelaksanaan Belanja Modal, Belanja Barang Jasa, dan Bantuan Keuangan Tahun Anggaran 2017 sampai 2019 pada Pemerintahan Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau. Dalam laporan tersebut, dinyatakan bahwa pekerjaan pada 2019 itu merupakan pekerjaan fiktif.

Laporan tersebut merupakan tindak lanjut dari Surat Perintah Bupati Lamandau No. 130/16/I/PEM.2020 tanggal 31 Januari 2021 dan Surat Tugas dari Bupati Lamandau No. 700/031/II/2020/INSP tanggal 6 Februari 2020 untuk melakukan pemeriksaan khusus atas pelaksanaan belanja modal dan belanja barang jasa tahun anggaran 2017 sampai 2019 pada Pemerintah Desa Kinipan.

Akhirnya, pada 10 Agustus 2021, berdasarkan Surat Pemanggilan dari Kepolisian Lamandau No. Gil/44/VIII/RES.3.35/2021/Reskrim, menyatakan bahwa status Kepala Desa Kinipan adalah sebagai tersangka terkait dugaan tidak pidana korupsi pengunaan dana desa tahun 2019.

Atas kejadian itu, Koalisi Keadilan untuk Kinipan menyimpulkan bahwa kuat dugaan kasus yang menimpa Kepala Desa Kinipan Wilem Hengki, merupakan upaya sistematis untuk melemahkan perjuangan Masyarakat Adat Laman Kinipan dalam rangka mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari Pemerintah Kabupaten Lamandau. Koalisi juga berpendapat bahwa tidaklah benar untuk mengatakan pembayaran atas pekerjaan pembukaan jalan dan pembersihan jalan di sana sebagai hal yang dianggap pekerjaan fiktif.

***

Writer : Apriadi Gunawan  | Jakarta