BPAN Kecam Tindakan Represif TNI terhadap Masyarakat Adat
20 Januari 2022 Berita Apriadi GunawanOleh Apriadi Gunawan
Pengurus Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Daerah Flores Bagian Timur mengecam tindakan represif anggota TNI Angkatan Darat (AD) yang telah memukul warga Masyarakat Adat dan mahasiswa saat menghalau pemasangan pilar di wilayah adat eks Hak Guna Usaha (HGU) Patiahu Nanghale, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Akibat penganiayaan tersebut, seorang warga bernama Yosef Felix dan seorang mahasiswa mengalami luka memar di bagian wajah hingga harus dirawat di rumah sakit.
Ketua BPAN Daerah Flores Bagian Timur Adrianus Lawe mengatakan bahwa kondisi kedua korban pemukulan anggota TNI AD tersebut, sudah membaik dan diperbolehkan pulang ke rumah. Namun, keduanya mengaku masih trauma akibat tindakan represif oknum anggota TNI yang dianggap telah menganiaya keduanya.
“Kami mengecam tindakan brutal anggota TNI yang telah memukul dan menganiaya warga adat dan mahasiswa hingga trauma,” kata Adrianus Lawe pada Rabu (19/1/2022).
Adrianus menyatakan bahwa BPAN Daerah Flores Bagian Timur akan mengambil langkah hukum dengan mengadukan persoalan tersebut ke Kapolri, Panglima TNI, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk memperjuangkan hak Masyarakat Adat yang ada di komunitas Masyarakat Adat Natarmage dan Runut.
Adrianus menceritakan kalau kejadian yang menimpa kedua korban itu berawal saat sekelompok anggota TNI AD hendak memasang pilar di tanah eks HGU Patiahu Nanghale yang berada di dalam wilayah adat milik Masyarakat Adat Natarmage dan Runut pada Selasa (18/1/2022). Ia mengatakan bahwa pemasangan pilar di atas wilayah adat tersebut telah ditentang oleh Masyarakat Adat karena masih berstatus sengketa. Namun, anggota TNI AD tetap memaksa pemasang pilar untuk dilakukan dengan cara kekerasan.
Menurut Adrianus, sebagai abdi negara yang memiliki tugas mengayomi dan melindungi masyarakat, seharusnya anggota TNI memberikan edukasi dan perlindungan kepada masyarakat, bukan malah sebaliknya melakukan tindakan anarkis dengan memukul warga.
“Ini yang kami protes,” tandasnya. “Aparatur keamanan negara bertindak yang tidak sepantasnya terhadap warga. Tugas mereka (adalah) melindungi rakyat, bukan menganiaya rakyat.”
Adrianus menerangkan bahwa persoalan tanah eks HGU di Patiahu Nanghale masih berstatus sengketa, sehingga siapa pun tidak boleh beraktivitas di tanah tersebut, termasuk aparat keamanan, Pemerintah Kabupaten Sikka, dan PT Krisrama. Sebab, hal itu bisa memancing amarah dari Masyarakat Adat.
“Kita memiliki tugas bersama untuk menjaga situasi ini tetap kondusif sampai pada proses penetapan sesuai amanat Permendagri No. 52 Tahun 2014 dan Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019,” kata Adrianus menyinggung peraturan terkait dengan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat.
Ia menjelaskan bahwa dalam proses yang berjalan sejauh ini, kita baru melalui dua tahapan, yaitu identifikasi dan verifikasi validasi Masyarakat Adat. Sebagai bagian dari Masyarakat Adat, Adrianus mengutarakan kalau kita perlu sama-sama menghargai proses sesuai aturan yang ada, sehingga pemerintah setempat maupun pihak perusahaan yang berkepentingan di sana, PT Krisrama, agar tidak bertindak hal-hal di luar kesepakatan yang dibuat bersama di antara ketiganya baru-baru ini.
“Kami berharap pemerintah selaku mediator, harus bertindak adil sesuai tata aturan yang diamanatkan Undang-Undang, sehingga pihak- pihak yang berkepentingan tidak merasa dirugikan,” ujarnya.
***