Pihak Perusahaan Diduga Meneror Masyarakat Adat Tana Ai di Sikka, NTT
26 Januari 2022 Berita Apriadi GunawanOleh Apriadi Gunawan
Sekitar 50 orang tak dikenal tiba-tiba mendatangi rumah seorang tokoh Masyarakat Adat di Lorong Angkasa, Kelurahan Waioti, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Rabu (26/1/2022).
Segerombolan orang yang diduga disewa oleh PT Krisrama (Kristus Raja Maumere) itu meneror Jhon Bala dengan ancaman akan kembali mendatangi kediamannya dengan jumlah massa yang lebih besar. Mereka menuduh Jhon sebagai pihak yang menyuruh Masyarakat Adat Tana Ai untuk mencabut pilar yang sudah ditancapkan pihak perusahaan di lokasi tanah eks HGU Patiahu dan Nangahale.
Dalam surat pernyataan sikap bertanggal 26 Januari 2022 yang ditandatangani oleh Antonius As dan Philipus Pina Poin sebagai Koordinator Umum Pekerja dan Koordinator Lapangan PT Krisrama, mereka meminta kepada Jhon untuk segera menanam kembali pilar yang telah dicabut. Mereka menuding Jhon telah menyuruh orang untuk mencabut pilar tersebut.
Menanggapi tudingan tersebut, Jhon menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menyuruh siapa pun untuk mencabut pilar yang ditanam oleh para pekerja perusahaan.
“Mereka datang ke rumah menuduh saya yang menyuruh,” ungkap Jhon usai menerima kedatangan sekelompok orang tak di kenal di rumahnya (26/1/2022). “Memang ini kita yang mengorganisir. Tapi, bahwa sikap mengambil tindakan atas kesepakatan bersama itu, bukan keputusan saya.”
Ia mengatakan kalau itu merupakan pengalaman yang menarik sekaligus mencemaskan bagi dirinya secara pribadi dan keluarga. Menurutnya, ancaman tersebut semestinya tidak dilakukan oleh orang-orang yang bekerja di bawah kendali PT Krisrama yang dimiliki oleh Keuskupan Maumere.
“Ini tidak benar,” tandas Jhon.
Ia pun berencana akan melaporkan tindakan pengancaman tersebut sekaligus meminta perlindungan kepada polisi.
“Laporan itu akan saya sampaikan hari ini ke polisi,” katanya. “Saya berharap laporan ini bisa mencegah terjadinya konflik horizontal di lapangan.”
Jhon menceritakan bahwa konflik antara Masyarakat Adat dan PT Krisrama sudah berlangsung lama. Pertikaian itu memuncak ketika HGU perusahaan tersebut berakhir pada 2013.
“Eskalasi perlawanan muncul sejak izin berakhir tahun 2013, (tapi) kemudian mereka masuk dan menguasai wilayah adat,” ungkapnya.
Jhon menerangkan bahwa saat itu ada proses dialog, namun belum ada kesepakatan. Dialog terus dilakukan hingga lahan eks HGU itu dibagi menjadi empat blok, yaitu Blok HGU, Blok Masyarakat Adat, Blok Konservasi, dan Blok Cadangan Negara. Menurutnya, dalam tataran pembagian wilayah, itu tidak jadi masalah. Akan tetapi, yang justru dipersoalkan sekarang ini, adalah jumlahnya.
“Masyarakat Adat merasa - sebagai pemegang asal-usul tanah (pemilik wilayah adat) - mendapat jatah yang kecil, (sementara) pemerintah justru berpikir untuk memprioritaskan HGU (agar) berlanjut. Padahal, prinsip reforma agraria, (yaitu) bagi dulu ke rakyat. Setelah itu, baru bagikan ke pengusaha atau pihak lain,” tutur Jhon.
Ia menyebut bahwa luas areal eks HGU yang diperdebatkan itu, mencapai 719 hektar. Dari luas areal tersebut, PT Krisrama meminta 380 hektar, sedangkan pemerintah hanya mengalokasikan 92 hektar untuk Masyarakat Adat.
“Masyarakat Adat tidak sepakat dengan ketetapan ini. Masyarakat Adat minta 202 hektar. Jumlah yang diminta ini sesuai dengan jumlah orang yang ada di wilayah adat,” katanya sambil menambahkan bahwa sampai saat ini, permintaan Masyarakat Adat tersebut tidak direspon oleh Pemerintah Daerah.
Ironisnya, kata Jhon, ketika perusahaan belum mendapat izin, justru mereka bertindak sepihak dengan menyertakan polisi dan Satpol PP untuk menguasai lahan.
“Pemerintah pro pengusaha,” ucapnya. “Berulang kali Bupati bilang, mari prioritaskan dulu untuk kepentingan perusahaan yang notabene milik gereja Katolik, (yaitu) PT Krisrama.”
Jhon mengatakan bahwa pihaknya pernah menawarkan solusi agar pemerintah memprioritaskan Masyarakat Adat. Tapi, hal itu lagi-lagi tidak direspon dengan dalih pada keutamaan terhadap investasi.
“Kalau sudah begini, yang susah (adalah) Masyarakat Adat,” tutur Jhon Bala.
***