Oleh Apriadi Gunawan 

Anton Yohanis Bala - akrab dipanggil Jhon Bala - tidak diam saat dirinya diteror sekelompok orang tak dikenal pekan lalu. Tokoh Masyarakat Adat asal Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, melaporkan tindakan teror tersebut ke Polres Sikka pada 27 Januari 2022.

Jhon pun melaporkan Antoniusas dan Philipus Pina Poin ke polisi. Keduanya diduga adalah orang-orang yang memimpin sekelompok massa - yang diduga adalah suruhan pihak perusahaan - untuk mengepung rumah Jhon Bala di Kelurahan Waioti, Kecamatan Alok Timur pada Rabu (26/1/2022). Mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menohok ketika meneror Jhon. Jumlah mereka mencapai 50 orang dan mereka datang dengan tiga mobil pick up. 

“Cukup banyak orang yang bersuara keras ketika itu dan barkata: ‘Ini Bapak John Bala ‘kah? Bapak ini ‘kan yang menyuruh masyarakat di Nangahale dan Patiahu (untuk) mencabut patok yang kami tanam! Bapak harus bertanggung jawab untuk menanam kembali,’” demikian tulis Jhon dalam laporannya ke Polres Sikka atas orang-orang yang dianggapnya telah melecehkan dan mengancam itu. 

Ia mengaku kalau dirinya sudah menjelaskan kepada massa yang datang ke rumahnya itu bahwa pencabutan patok di lapangan, merupakan inisiatif masyarakat dan bukan atas perintahnya. Namun, mereka tidak percaya dan terus menuduh dirinya yang menyuruh pencabutan patok tersebut. Menurut Jhon, tindakan mereka sudah dapat dikategorikan dugaan tindak pidana.

“Mereka sudah melakukan pencemaran nama baik sesuai Pasal 310 KUHP,” kata Jhon. Ia memberi tahu bahwa massa sempat memasuki halaman rumahnya tanpa izin. Bagianya, itu pun tindak pidana yang melanggar Pasal 167 ayat (1) KUHP.

Massa yang diduga disuruh oleh pihak PT Krisrama (Kristus Raja Maumere) itu, meneror Jhon Bala dengan ancaman akan kembali mendatangi kediamannya dengan jumlah orang yang lebih banyak. Mereka menuduh Jhon sebagai pihak yang menyuruh Masyarakat Adat Tana Ai untuk mencabut pilar yang sudah ditancapkan pihak perusahaan di lokasi tanah eks HGU Patiahu dan Nangahale.

Dalam surat pernyataan sikap bertanggal 26 Januari 2022 yang ditandatangani oleh Antonius As dan Philipus Pina Poin sebagai Koordinator Umum Pekerja dan Koordinator Lapangan PT Krisrama, mereka meminta kepada Jhon untuk segera menanam kembali pilar yang telah dicabut. 

Jhon Bala menyatakan keprihatinannya dengan peristiwa tersebut karena tidak habis pikir mengapa PT Krisrama bisa menggunakan intimidasi dan terror dalam merespon masalah. 

“Bukankah, Krisrama itu kepanjangan dari kata ‘Kristus Raja Maumere’? Bukankah, PT Krisrama itu milik Keuskupan Maumere?  Kata ‘Kristus Raja,’ hemat saya mengandung makna damai dan membebaskan. Demikian halnya dengan Keuskupan Maumere yang adalah institusi moral pembawa damai yang penuh suka cita dan cinta kasih. Bukan sebaliknya,” ungkap Jhon Bala penuh tanya.

Ia mengatakan bahwa PT Krisrama tentu punya alibi dan seribu alasan untuk mengelak dari keterlibatannya dalam peristiwa itu. Namun, ia yakin kalau itu adalah bagian dari strategi penguasaan objek secara paksa yang telah disiapkan secara sistematis dan terencana dengan mengabaikan dialog yang sedang berjalan. 

Jhon mengaku kalau ia punya catatan dari lapangan yang menunjukkan fakta bahwa pemasangan patok atau pilar pada batas-batas yang dikehendaki untuk pembaruan izin HGU itu, tidak melalui kesepakatan dengan pihak yang bersengketa. Artinya, tanpa hak dan bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan.

Jhon menduga ada yang memanipulasi pertemuan para pihak pada 22 Desember2021 di ruangan Bupati Sikka yang lalu sebagai dasar kesepakatan. Padahal, menurut pengakuan wakil masyarakat yang hadir ketika itu, tidak ada sama sekali poin-poin yang disepakati secara tertulis.

“Pemasangan patok atau pilar itu dilakukan tanpa melibatkan Masyarakat Adat secara resmi sebagai salah satu pihak yang bersengketa. Masyarakat Adat baru tahu bahwa akan ada pemasangan patok atau pilar itu dari pengumuman di gereja pada misa hari Minggu. Tidak seperti biasanya, kalau ada kegiatan di lapangan, selalu ada surat penyampaian sebalumnya,” kata Jhon.

Jhon juga menambahkan, tidak terlihat pejabat BPN/ATR yang berada dilapangan. Padahal, tanah itu masih berstatus tanah negara dan berada di bawah penguasaan BPN/ATR serta belum ada izin untuk pembaruan HGU untuk PT Krisrama.

Menurutnya, keterlibatan aparat kepolisian, TNI, dan Satpol PP hanyalah untuk memberi kesan seolah itu sah (legitimate), resmi, dan legal, padahal tidak demikian faktanya.

“Karena alasan-alasan inilah, maka Masyarakat Adat Tana Ai Suku Goban-Runut dan Suku Soge-Natarmage sebagai pihak yang juga mengklaim hak adatnya atas tanah tersebut, melakukan perlawanan di lapangan. Jadi, mereka mencabut patok atau pilar yang telah ditanam oleh PT Krisrama tersebut, kemudian sebagiannya diantar ke rumah bupati itu bukan karena disuruh orang lain, apalagi saya,” tandasnya.

***
 

Writer : Apriadi Gunawan  | Jakarta
Tag : Masyarakat Adat Sikka PT Krisrama Jhon Bala Polres Sikka