Ironi Masyarakat Adat di Perkebunan Sawit dan Tekanan Lonjakan Harga Minyak Goreng
08 Februari 2022 Berita Suher, Antonius Yesnath, dan SyahliwanOleh Suher, Antonius Yesnath, dan Syahliwan
Lonjakan harga minyak goreng masih meresahkan warga. Tak terkecuali bagi Susi Susanti yang tinggal di kawasan perkebunan sawit di Desa Talang Jarinjing, Kecamatan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Masyarakat Adat yang hidup dari hasil kerja serabutan itu pun harus rela memperkecil lagi pengeluaran untuk belanja kebutuhan sehari-hari demi mendapatkan minyak goreng.
Susi mengaku bahwa ia sangat kewalahan mengatur uang yang pas-pasan. Uang belanja yang diterimanya dari suami, sekitar Rp500 ribu per bulan. Ia harus putar otak untuk membelanjakan uang tersebut secara hemat dan bijak, terlebih ketika harga minyak goreng kini meroket.
Ia mengungkapkan bahwa sebelumnya harga minyak goreng di pasaran berkisar Rp17 ribu per kilogram. Tapi, kini naik menjadi Rp22 ribu per kilogram. Kenaikan itu memaksa Susi untuk semakin irit.
“Biasanya, saya beli minyak goreng dua kilogram untuk sebulan. Sekarang, hanya membeli satu kilogram,” kata Susi pada Sabtu (5/2/2022).
Susi mengatakan kalau ia tidak punya pilihan lain untuk mengurangi biaya belanja. Menurutnya, langkah itulah yang bisa dilakukan di tengah lonjakan harga minyak goreng saat ini.
Ia tidak tahu sampai kapan bisa bertahan dengan situasi sekarang. Tidak banyak yang bisa diandalkan Susi dan keluarganya untuk menopang biaya hidup sehari-hari. Meski tinggal di kawasan perkebunan sawit, Susi dan keluarga tidak pernah merasa kehadiran perkebunan itu membantu perekonomiannya. Sebaliknya, justru mereka seperti tertimpa apes karena limbah yang dihasilkan perusahaan sawit tersebut, membuat kehidupan mereka tidak nyaman.
“Bau limbah pabrik membuat tidak nyaman dalam keseharian, apalagi di musim penghujan, baunya mennyengat,” kata Susi dengan nada lirih.
Ia berharap agar pemerintah segera bertindak cepat mengatasi pencemaran lingkungan yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Hal yang sama juga ia harapkan kepada pemerintah agar bertindak cepat dalam mengatasi kenaikan harga minyak goreng yang mencekik masyarakat.
“Pemerintah harus berusaha memikirkan (untuk) menurunkan harga minyak goreng. Ini sudah meresahkan warga,” kata Susi.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Masyarakat Adat di Tanah Papua. Saat ini, harga minyak goreng di sana telah melonjak tajam.
Selpy Wanane, seorang warga Masyarakat Adat dari Kampung Klaben, Distrik Klamono, Kabupaten Sorong, Papua Barat, menyebut harga minyak goreng saat ini mencapai Rp30 ribu per liter. Lonjakan tersebut berdampak pada naiknya berbagai harga kebutuhan lain.
Ia menuturkan bahwa masuknya banyak perusahaan perkebunan sawit di Tanah Papua, tidak membuat harga minyak goreng menurun di sana. Sebaliknya, perkebunan sawit malah membuat Masyarakat Adat setempat tidak lagi memiliki lahan untuk ditanami sagu dan umbi-umbian karena tanah untuk berladang di wilayah adat, telah dirampas dan dijadikan perkebunan.
Selpy mencontohkan bagaiman Masyarakat Adat di Klamono tak menjadi sejahtera secara ekonomi dengan datangnya perusahaan perkebunan sawit ke wilayah adat. Masyarakat Adat saat ini merasa diasingkan atas wilayah adatnya sendiri yang telah berganti wajah.
“Keadaan ini serta merta telah memicu terjadinya konflik pertanahan antara pihak investor dan Masyarakat Adat maupun warga yang ada di sekitar perkebunan,” kata Selpy.
Menurutnya, itulah salah satu fakta terkuat yang seringkali muncul dan mewarnai keberadaan perkebunan sawit di Tanah Papua.
“Perkebunan sawit telah menjadi momok bencana ketimbang membawa anugerah bagi Masyarakat Adat,” tandasnya.
Selpy menambahkan bahwa hal itu semakin dikuatkan dengan kondisi kehidupan Masyarakat Adat di sekitar perkebunan yang tidak lepas dari kemiskinan dan kesulitan hidup secara ekonomi. Masyarakat Adat dan masyarakat lokal di sekitar perkebunan sawit, hanya menjadi penonton. Banyak yang kemudian bekerja sekadar menjadi buruh yang sehari-hari mengutip tandan buah sawit dengan upah yang tidak layak.
Di Kalimantan Selatan, petani sawit katanya tengah berbahagia karena saat ini harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani, naik. Namun, kenaikan itu jadi tak punya arti karena diikuti dengan naiknya harga minyak goreng sawit di pasaran yang pula membuat heboh masyarakat di sana, termasuk juga Masyarakat Adat yang tinggal di dalam atau sekitar perkebunan sawit.
Sahrianto, Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Kotabaru, mengatakan bahwa Masyarakat Adat saat ini tertekan dengan naiknya harga minyak goreng. Hal itu ditambah dengan adanya perkebunan sawit yang selalu menimbulkan masalah baru bagi Masyarakat Adat, yaitu hak Masyarakat Adat yang tergadaikan, bahkan banyak yang terpaksa kehilangan wilayah adat karena perampasan.
“Itu disebabkan karena warga Masyarakat Adat kita banyak yang menjual tanahnya kepada para pengusaha sawit,” katanya.
Hal senada diungkapkan Pak Uncun, Dewan AMAN Wilayah (DAMANWIL) di sana yang mengungkapkan bahwa di wilayahnya, terdapat sekitar 20 persen warga yang bekerja sebagai petani sawit sejak tahun 1995. Uncun khawatir kelak akan ada banyak warga yang rela menjual lahannya kepada perusahaan sawit karena tergiur oleh iming-iming uang.
“Ini yang mengkhawatirkan,” ungkapnya. “Bisa-bisa, semua lahan nanti dikuasai perusahaan sawit. Mereka punya uang, sementara Masyarakat Adat kita butuh uang untuk hidup.”
***
Penulis adalah para jurnalis rakyat yang berasal dari Riau, Papua Barat, dan Kalimantan Selatan.