Oleh Apriadi Gunawan

Sebanyak 19 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), menyatakan penolakan pembangunan ibu kota negara (IKN) yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Penajam Pasir Utara, Kalimantan Timur karena sarat dengan berbagai masalah.

Para aktivis tersebut juga mendesak Jokowi agar segera menghentikan agenda pembangunan IKN. Selain AMAN, organisasi-organisasi lain dalam KNPA, termasuk Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Petani Indonesia (API), Solidaritas Perempuan (SP), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Sajogyo Institute (Sains), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Yayasan PUSAKA, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Sawit Watch (SW), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), dan lain-lain.

Deputi Sekretaris Jenderal AMAN Erasmus Cahyadi mengatakan bahwa agenda pembangunan IKN yang baru saja dilakukan Jokowi, harus segera dihentikan karena sarat dengan permasalahan. Erasmus juga mengatakan bahwa pemerintah dan DPR telah memanfaatkan situasi, di mana masyarakat tidak bisa berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam proses pembangunan IKN.

Jadi, tidak salah jika publik mendapat kesan bahwa pembangunan IKN hanya untuk memenuhi ambisi kepentingan bisnis dan pencitraan politik semata,” kata Erasmus dalam jumpa pers virtual bertajuk "Pemindahan IKN Sarat Masalah, Tidak Menjawab Persoalan Struktural" pada Senin lalu (14/3/2022).

Ia menerangkan bahwa untuk mewujudkan ambisi elit politik dan bisnis terkait dengan pemindahan IKN, Jokowi dan DPR mengebut pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN). Sebelumnya, ada UU Cipta Kerja, Perpres Nilai Ekonomi Karbon, dan juga peraturan lain yang punya dampak besar terhadap kehidupan sosial masyarakat.

Erasmus mengatakan kalau tanah-tanah di IKN bukanlah tanah yang tidak bertuan. Di masa lalu, katanya, pemerintah kita sangat sembrono memberikan izin pengelolaan tanah tanpa persetujuan dari masyarakat kepada perusahaan tambang dan perkebunan.

“Jauh sebelum adanya wacana IKN, lokasi pembangunan IKN bukanlah tanah kosong atau tanah tak bertuan, melainkan tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh Masyarakat Adat dan petani. Tapi, kemudian, tanah-tanah itu dikelola oleh perusahaan tambang dan perkebunan,” katanya.

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun AMAN 2021, terdapat 21 komunitas Masyarakat Adat yang mendiami wilayah pembangunan IKN. AMAN memperkirakan sedikitnya terdapat 20 ribu warga Masyarakat Adat yang akan terampas haknya akibat proyek ambisius IKN di Kalimantan Timur itu.

Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan WALHI Uli Artha Siagian mengatakan bahwa dalam kajian WALHI, lokasi IKN adalah wilayah strategis dan pendukung kebutuhan sumber air bagi masyarakat di wilayah sekitarnya. Ia menyebut bahwa pembangunan IKN akan menghilangkan keberadaan ekosistem bakau di Teluk Balikpapan dengan luas 2.603,41 hektar. Menurut Uli, selama ini, bakau di sanalah yang menjadi benteng alami bagi perlindungan kawasan pesisir Kalimantan.

Uli Artha mengatakan kalau sekitar 61 persen lokasi IKN itu adalah kawasan hutan. Menurutnya, sangat tidak mungkin di tengah pembangunan megaproyek IKN, kawasan hutan itu secara fungsi dan tutupan bisa dipertahankan. Selain kawasan hutan, lokasi IKN juga menjadi habitat perlindungan satwa.

“Tidak bisa dibayangkan kemudian jika habitat ini hancur, maka itu juga akan mempertinggi konflik satwa dan manusia,” katanya.

Uli juga menambahkan bahwa terdapat 14 daerah aliran sungai (DAS) di wilayah IKN. Ia sendiri mengungkapkan, tidak bisa dibayangkan kemudian jika DAS tersebut berubah fungsi menjadi kawasan perumahan atau kawasan pembangunan infastruktur perkotaan lainnya.

“Ini akan menjadi bom waktu. Kapan saja bencana ekologis dengan skala besar, bisa terjadi di kawasan IKN, bahkan Kalimantan secara umum,” ujarnya.

Kepala Advokasi Kebijakan KPA Roni Septian mengatakan bahwa berdasarkan catatan KPA selama lima tahun terakhir, timbul 30 konflik agraria di kawasan seluas 64.707 hektar akibat masalah tumpang tindih lahan di Kalimantan Timur.

Roni mengatakan bahwa itu terjadi akibat tidak dijalankannya reforma agraria. Pengakuan hak atas tanah telah menambah potensi perampasan-perampasan tanah baru. Sebab, menurutnya, itu dilakukan di tengah carut-marutnya sistem pertanahan kita yang  masih mengacu pada sistem hukum agraria yang sangat positivistik.

“Besar kemungkinan masyarakat yang telah berdiam lama di wilayah IKN, tersingkir secara tidak hormat dari wilayah hidup mereka,” tandas Roni.

Ia juga mengatakan bahwa pemerintah seharusnya menyadari kalau pemerataan ekonomi bukanlah semata perombakan struktur berdasarkan geografis. Menurutnya, yang lebih penting dari semua itu, adalah bagaimana memastikan sumber-sumber ekonomi itu dikuasai oleh rakyat, bukan segelintir kelompok melalui jaringan-jaringan perusahaan besar. Pada konteks itu, pemindahan IKN tidak menjawab persoalan struktural sebab dilakukan hanya berdasarkan pemerataan berbasis wilayah, sementara aktornya masih sama, yakni kelompok bisnis yang berkelindan dengan elit-elit politik.

Menurut Roni, pemindahan IKN - tanpa diikuti dengan pelaksanaan reforma agraria - tidak akan pernah menjawab semua persoalan yang muncul. Sebaliknya, itu justru akan menimbulkan banyak masalah baru.

“Alih-alih mau mengatasi masalah, tapi justru menimbulkan masalah baru,” tegas Roni. “Ini tidak baik. Karena itu, pembangunan IKN harus dihentikan!”

***

Writer : Apriadi Gunawan  | Jakarta
Tag : IKN Penajam Paser Kalimantan Timur