Ancaman Punahnya Masyarakat Adat Akibat Pembangunan IKN
13 April 2022 Berita Isnah AyundaOleh Isnah Ayunda
Rencana pemindahan ibu kota negara (IKN) telah ditetapkan sejak 26 agustus 2019 lalu. Lokasi IKN tepatnya berada di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara. Dengan rencana tersebut, pemerintah pun bergerak cepat dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN tanggal 15 Februari 2022. Kebijakan itu menambah deretan panjang aturan hukum yang disahkan oleh pemerintah tanpa ada keberpihakan pada Masyarakat Adat karena tidak melibatkan peran aktif Masyarakat Adat dalam pembahasannya.
Melalui tulisan kecil ini, saya hendak berbagi pengalaman tentang perjalanan saya menemui komunitas Masyarakat Adat di wilayah yang akan menjadi IKN. Di sana, saya bertemu dengan warga Masyarakat Adat yang berbagi pandangan tentang IKN. Selain itu, perjalanan tersebut memberikan saya potret lain dari IKN yang selama ini mungkin banyak yang belum diketahui oleh banyak orang, terutama tentang ancaman atas kepunahan Masyarakat Adat yang sebelum proyek IKN itu pun sudah kian tergusur dan tertindas terkait dengan perampasan wilayah adat sebagai ruang hidup.
Perjalanan Mengunjungi Komunitas Masyarakat Adat
Pada awalnya, saya hendak menggali data sosial tentang Komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku yang wilayah adatnya akan dijadikan bagian dari IKN yang baru. Untuk melakukan itu, saya melakukan perjalanan kurang lebih tiga jam melalui jalan darat menggunakan sepeda motor menuju tempat tinggal Komunitas Masyarakat Adat Suku Balik Sepaku. Mulanya, jalanan ke sana terasa mulus dan lancar, tetapi semakin saya mendekat, jalanan berubah dan berangsur-angsur rusak parah. Saya baru menemui jalanan yang layak dilalui kendaraan lagi setelah menempuh perjalanan sekitar 12 kilometer.
Jalanan rusak yang berlumpur sehabis hujan. Sumber foto: Dokumentasi PEREMPUAN AMAN.
Selama perjalanan saya menuju Komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku, saya disuguhi dengan pemadangan yang beragam, mulai dari kebun karet, kebun sawit, kebun buah-buahan, hamparan ladang yang ditumbuhi padi yang menguning, hingga pemukiman warga dari berbagai etnis suku. Namun, saya merasa terguncang ketika melihat kebun warga yang dipatok oleh pemeritah dengan keterangan bertuliskan “Batas Kawasan Inti Pusat Pemerintahan. Dilarang Merusak.” Terlihat juga ada kebun karet yang ditumbuhi pohon pisang yang nyatanya itu adalah milik masyarakat yang masih belum ada pembahasan terkait pelepasan lahan. Menurut warga setempat, pemerintah mematok wilayah adat maupun lahan masyarakat tanpa ada perundingan terlebih dahulu.
Selain patok-patok yang dipasang di kebun-kebun Masyarakat Adat, saya juga melihat pemandangan tanaman industri milik PT Itci Hutani Manunggal (IHM). Pepohonan eukaliptus yang berjejer rapi di pinggiran jalan, seolah menandakan sebentar lagi saya akan sampai di rumah Komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku.
Patok yang dipasang di kebun. Sumber foto: Dokumentasi PEREMPUAN AMAN.
Sesampainya di sana, saya kemudian diajak salah satu warga dari Komunitas Masyarakat Adat Suku Balik untuk mengunjungi kawasan titik nol IKN. Tidak mudah untuk masuk ke kawasan tersebut. Siapa pun yang ingin mengunjunginya harus izin terlebih dulu ke pihak keamanan (security) PT IHM. Beruntung, kala itu kami dapat izin.
Sepanjang perjalanan saya menuju titik nol itu, - dengan jalan berbatu mulus - mata saya tidak lepas memandang truk-truk besar yang mengangkut kayu eukaliptus. Dan setibanya saya di sana, saya melihat banyak buruh bangunan sedang menata kawasan titik nol yang kelak dikunjungi Presiden Joko Widodo untuk berkemah bersama gubernur se-Indonesia.
Hanya beberapa menit saja saya berada di kawasan titik nol tersebut, suasana hati saya tidak nyaman. Dada saya seolah meronta dan berkata bahwa awalnya kawasan itu adalah wilayah adat yang pernah menjadi hutan yang dijaga baik oleh leluhur Suku Balik, lantas dirampas oleh pihak perusahaan dan sekarang akan dijadikan kawasan IKN. Penderitaan Suku Balik secara turun-temurun seperti tiada henti, padahal Masyarakat Adat adalah pemilik dari kawasan yang akan dijadikan IKN tersebut.
Beberapa menit saya berada di titik nol IKN, saya pun kembali diajak ke menara pandang yang katanya, jika kita naik ke menara itu, kita akan melihat pemandangan. Maka, sesampainya saya di menara pandang, saya mencoba menaiki menara yang sudah cukup tua itu. Saya tidak berani naik ke tingkat tertinggi dan hanya sampai di tingkat dua. Yang saya lihat adalah luasnya hamparan tanaman eukaliptus dan Teluk Balikpapan di kejauhan.
Perampasan dan Hilangnya Wilayah Adat
Sepaku adalah wilayah adat dari Suku Balik. Suku Balik sendiri adalah Masyarakat Adat yang berdasarkan asal-usulnya, merupakan Masyarakat Adat yang mendiami wilayah adat secara turun-temurun. Sampai saat ini, saya dan kawan-kawan AMAN masih berusaha menghimpun profil maupun sejarahnya. Selain Suku Balik, ada juga ada suku-suku maupun komunitas Masyarakat Adat lain, yaitu Suku Paser yang pula berada di kawasan inti rencana pembangunan IKN.
Dahulu, Suku Balik mengandalkan hutan sebagai penompang kehidupan. Suku Balik mencari makan dengan berburu dan berladang padi maupun berkebun sayur-sayuran. Dalam membuka ladang, Suku Balik mengenal dengan yang namanya sempolo (gotong-royong). Pembukaan lahan untuk berladang umumnya dilakukan oleh laki-laki, sedangkan penanaman benih dilakukan oleh perempuan. Setiap membuka ladang, Suku Balik melakukan prosesi ritual adat agar hasil panen mereka melimpah.
Perempuan adat dari Masyarakat Adat Suku Balik memiliki peran penting dalam mengelola wilayah adat. Bahkan, Suku Balik memiliki pemimpin yang berasal dari perempuan yang bernama Ten Sopek. Ten Sopek sesungguhnya adalah panggilan kehormatan bagi Suku Balik. Kepemimpinan Ten Sopek menandakan bahwa perempuan juga dilahirkan sebagai pemimpin, bukan hanya sekadar mengurus keluarga, anak, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan rumah tangga. Adat mengajarkan bahwa menghormati perempuan adalah penting. Bagi Suku Balik, danum, tana, dan lawang seperti ibu yang menyusui anaknya. Itu bermakna bahwa air, tanah, dan hutan merupakan sumber kehidupan. Hubungan Suku Balik dengan alam, sangat dekat. Peradaban pun berkembang secara selaras dengan lingkungan sekitar yang berupa hutan.
Suku Balik yang awalnya banyak mendiami Tanjung Gonggot (Balikpapan), akhirnya bepindah untuk menghindari keramaian dan banyak faktor lain.
Di dalam area pembangunan IKN baru itu, terdapat Masyarakat Adat yang bukan hanya Suku Balik, tetapi masih banyak lagi Suku Paser yang selama ini hidup secara turun-temurun dengan mengandalkan hutan. Dalam mengelola hutan, Masyarakat Adat tidak lepas dari peran perempuan adat hingga saat ini. Dengan segala pengetahuan kolektifnya, perempuan adat mengandalkan hutan sebagai ladang untuk menanam padi dan berkebun sayuran.
Selama masa pandemi, baik Masyarakat Adat Suku Balik maupun Masyarakat Adat Suku Paser, tetap dapat bertahan di tengah lonjakan harga berbagai kebutuhan pokok.
Jauh sebelum muncul perencanaan pemindahan IKN, perempuan adat memang telah terdesak dan semakin kehilangan wilayah kelola perempuan adat di dalam wilayah adat. Sebagian besar wilayah adat Masyarakat Adat Suku Balik dan Suku Paser, telah dikuasai oleh perusahaan hutan tanaman industri (HTI), perkebunan sawit, dan pertambangan batubara. Maka, dengan adanya IKN, bukan tidak mungkin kalau itu akan membuat perempuan adat benar-benar sepenuhnya kehilangan wilayah kelolanya.
Perempuan adat yang saya temui, mengaku bahwa mereka bisa hidup tenang dan damai tanpa adanya IKN. Mereka tidak pernah meminta adanya IKN itu. Sejak wilayah adat, dikuasai oleh perusahaan-perusahaan, mereka sangat sulit untuk mendapatkan air bersih dan membuka ladang karena minimnya hutan. Ditambah lagi, dengan adanya larangan membakar hutan, peladang-peladang dari Komunitas Masyarakat Adat Suku Balik maupun Suku Paser, terancam dikriminalisasi. Padahal, Masyarakat Adat yang peladang mempraktikkan kearifan lokal ladang gulir balik dengan cara membakar dalam cakupan yang amat kecil dan itu dilakukan dengan serangkaian ritual dan kontrol. Sejak adanya aturan larangan membakar hutan itu, Masyarakat Adat, khususnya perempuan adat, kian takut untuk meneruskan tradisi dengan membakar ladang.
Potret perempuan adat peladang. Sumber foto: Dokumentasi PEREMPUAN AMAN.
Tak Ada Pelibatan Masyarakat Adat, Khususnya Perempuan Adat
Pemindahan IKN tentu tidak pernah melibatkan perempuan adat yang secara turun-temurun turut mendiami dan mengelola wilayah adatnya. Padahal, sebelum adanya kerajaan maupun negara, mereka telah ada di wilayah adat mereka dan terbiasa bermusyawarah dalam memutuskan berbagai hal. Sementara itu, kini pemerintah justru tidak melibatkan Masyarakat Adat, khususnya perempuan adat, untuk duduk bersama membahas IKN yang berdampak langsung pada kelangsungan hidup Masyarakat Adat. Dengan adanya proyek besar itu, jangankan membahas perlindungan dan pengakuan Masyarakat Adat, malah kini nasib Masyarakat Adat kian tak menentu dan terancam dipunahkan.
Kawasan IKN bukanlah lahan kosong. Di lokasi tersebut, telah hidup secara turun-temurun Masyarakat Adat. Tetapi, Masyarakat Adat justru dianggap tidak ada di sana, sementara pemerintah sibuk mempercepat pembangunan IKN. Di sisi lain, perempuan adat nekat mempertaruhkan hidupnya dengan terus berladang dan berkebun demi bertahan hidup. Lantas, siapakah yang akan menjamin kesejahteraan mereka? Siapakah yang akan menjamin bahwa mereka tidak akan digusur? Bahkan, ketika presiden lalu-lalang mengunjungi kawasan IKN, Masyarakat Adat sebagai pemilik wilayah adat hanya melihat dari kejauhan.
Pembangunan IKN seharusnya melibatkan Masyarakat Adat yang memiliki wilayah adat yang dititipkan oleh leluhur untuk anak cucu dan dijaga secara turun-temurun oleh Masyarakat Adat. Dengan tidak dilibatkannya Masyarakat Adat dalam rencana maupun proses pembangunan IKN, menjadi bentuk pengabaian negara kepada Masyarakat Adat. Negara yang seharusnya menjamin hak Masyarakat Adat bersama wilayah adatnya, justru tidak memberikan pelindungan hukum kepada Masyarakat Adat sebagai warga negara. Saya bertanya-tanya, apakah kelak Masyarakat Adat dapat tetap eksis di tengah perkembangan pesat penduduk yang akan berbondong-bondong pindah ke IKN baru itu atau justru lagi-lagi kami harus dipunahkan?
***
Penulis adalah Dewan Nasional PEREMPUAN AMAN Region Kalimantan.