Oleh Apriadi Gunawan

Pengurus Besar (PB) AMAN beserta jajaran Pengurus Wilayah (PW) dan organisasi sayap merapatkan barisan dengan melakukan konsolidasi advokasi untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak Masyarakat Adat.

Konsolidasi selama tiga hari pada 23-25 Mei 2022 itu berlangsung di Yayasan Joglo Keadilan, Kemang, Bogor, Jawa Barat. Puluhan peserta hadir dalam kegiatan konsolidasi yang diadakan di tengah membaiknya situasi pandemi Covid-19 di Tanah Air.

Muhammad Arman selaku fasilitator kegiatan, mengatakan bahwa konsolidasi merupakan bagian dari penguatan Masyarakat Adat. Ia menerangkan berbagai hal yang didiskusikan peserta, antara lain tantangan dan rencana pembelaan terhadap Masyarakat Adat. Kegiatan diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak Masyarakat Adat yang selama ini diabaikan.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan bahwa situasi kita saat ini sedang tidak baik-baik saja, terutama setelah disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang disebutnya sebagai UU “Cilaka.” Selain itu, termasuk pula UU tentang Ibu Kota Negara (IKN).

“Itu kenapa kita menggugat UU IKN,” ungkapnya saat memberikan sambutan dalam kegiatan berjudul “Training Legislasi Daerah dan Konsolidasi Advokasi untuk Pengakuan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Masyarakat Adat bagi Pengurus Wilayah AMAN dan Organisasi Sayap AMAN.”

Ia menyatakan bahwa UU Cipta Kerja menghilangkan banyak hal, termasuk hak kita untuk berladang secara tradisional, di mana Masyarakat Adat Balik di Kalimantan Timur berada dalam situasi yang terancam punah, sehingga - kalau masuk - kita akan punya enam kelompok karena situasi yang ditimpa oleh UU IKN.

“Ini bentuk legalitas untuk merampas dan mengambil hak kita,” kata Rukka. Ia menyatakan, PPMAN selesai Rapat Kerja Nasional (Rakernas) harus berbagi strategi untuk mengatasi permasalahan ini semua. Menurutnya, itu tidak bisa jalan kalau para ketua atau tokoh diam saja di daerah masing-masing. “Ada satu target PPMAN untuk menggugat perusahaan yang berdiri. Ini harus dicek lagi capaian kita!”

Rukka mengungkit soal Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) 35 yang bukan hanya tentang hutan adat. Hutan adat adalah bonusnya, katanya. Sekarang, kita sengaja dibuat mengejar ekor sendiri. Semua yang diarahkan ke MK 35 seolah hanya urusan hutan adat.

“Kita tahu betul politiknya dibuat panjang dan berbelit. Dan, buktinya apa? Kita baru 75.000 hektar dan lebih banyak dari PS (Perhutanan Sosial). Belum lagi hutan desa, HKN, dan lainnya. Kalau ada PW dan PD sudah melakukan kemitraan di luar hutan adat, ini sudah tercemar,” katanya.

Rukka menjelaskan bahwa politik global saat ini untuk perubahan iklim, hanya bicara tentang hutan karena memang dianggap tutupan hutan yang paling gampang diukur kalau hilang dan bertambah. Itu menjadi sumber pengerukan bumi, bukan hanya kayu, tapi setelah kayu. Sekarang, harus bertambah tutupan hutan dan rehabilitasi.

Ia mengatakan kalau memang bicara tentang hutan, kita mendukung kapitalisme, skemanya sudah siap. Banyak karbon koboi yang berkeliling, termasuk ke wilayah adat yang sudah memiliki Surat Keputusan (SK) Hutan Adat. Rukka meminta agar para pengurus, kader, dan pemimpin untuk memandu melihat jalan.

“Himpitan, godaan, gangguan sudah banyak. Belum lagi diadu domba baju adat, lembaga adat, dan kesultanan,” katanya sembari prihatin jika masih ada yang bingung saat menjawab pertanyaan tentang beda kesultanan dan Masyarakat Adat.

Rukka mengatakan bahwa yang harus dilakukan saat ini, kita jusrtu harus semakin kuat. Kalau bisa gerakan Masyarakat Adat harus menjadi sentral gerakan sosial dan mampu bersolidaritas dengan gerakan urban, termasuk kelompok miskin kota.

“Karena negara ini bukan milik pemerintah, maka konsolidasi harus diperkuat,” tegasnya.

Abdon Nababan, Ketua Dewan AMAN Nasional (DAMANNAS) yang turut memberi sambutan dalam kegiatan konsolidasi, mengatakan bahwa sekarang ini kondisi kita ada 2.389 komunitas Masyarakat Adat. Karena kita mau membangun advokasi yang terintegrasi, maka kita harus mulai dari kerangka besarnya, yaitu gerakan sosial.

“AMAN dibangun sebagai lokomotif gerakan Masyarakat Adat, gerakan sosial di tengah Masyarakat Adat,” tuturnya. Menurutnya, saat ini, kita sudah punya pemandunya - berdaulat, mandiri, dan martabat. Abdon bilang, kalau anggota AMAN tidak lebih baik setelah ada AMAN, maka AMAN itu gagal. “Ini bisa dicek, apakah anggota AMAN sudah lebih baik sejak berdiri tahun 1999,” pungkasnya.

Abdon menjelaskan bahwa satu gerakan sosial yang berhasil, akan menjadi kekuatan nasional pada usia 35 tahun. Itu adalah hasil studi gerakan sosial. Ia juga mengatakan kalau berjalan seperti yang kita rencanakan, maka tahun 2034, AMAN menjadi kekuatan politik di Indonesia.

“Jadi, di usia 35 tahun, AMAN sudah bisa melakukan perubahan tanpa mobilisasi masa karena sudah mampu membangun sistem presentasi yang efektif untuk berhadapan dengan musuhnya,” ujarnya.

“Tinggal 13 tahun lagi. Kalau tidak berhasil selama 13 tahun, kita akan menjadi LSM dan akan kembali ke masa lalu, kembali menjadi kelompok elit yang sibuk dan tidak ada hasil. Akan ada hasil, tapi belum tentu menuju ke sini atau dipahami untuk menjadi basis kader ideologi di seluruh kader AMAN,” ungkapnya.

Abdon mengatakan, karena ini gerakan Masyarakat Adat, maka dia hadir sebagai gerakan sosial karena sistem adat bertarung dengan sistem negara, rezim kapitalisme global, dan harus mampu menghadapi musuhnya yang memiliki ideologi, perangkat, dan legalitas yang sama dengan AMAN. Sebagai gerakan sosial, ia berpesan bahwa Masyarakat Adat harus bisa exist (eksis), resist (bertahan/melawan), indigenize (berpengaruh/mengontrol sesuatu sesuai dengan Masyarakat Adat), dan decolonize (mendekolonisasi).

Abdon melanjutkan bahwa dari awal, AMAN dirancang untuk besar. Ia memperkirakan kalau kita (punya anggota) 50 juta di 2034, bisa dibayangkan kita akan punya pengaruh besar. “Bahkan, tidak mustahil AMAN bisa mengutus presiden. Ini soal eksistensi,” katanya.

Menurutnya, selama ini kita belum serius urus angka politik. Gerakan sosial punya daya intimidasi, itu pakai angka. Ia mengakui bahwa angka kita masih terlalu kecil untuk mengintimidasi kekuatan partai politik. Namun, kalau bertumbuh menjadi gerakan sosial seperti sekarang, mereka akan patuh.

“Sebagai gerakan sosial, maka ujung tombak kita adalah kader atau orang. Ini yang harus terus kita tingkatkan,” ujarnya.

***

Writer : Apriadi Gunawan | Jakarta
Tag : Masyarakat Adat PPMAN