Melestarikan Wuon yang Hampir Punah di Papua Barat
30 Mei 2022 Berita Yaku Ayes dan Apriadi GunawanOleh Yaku Ayes bersama Apriadi Gunawan
Tujuh orang pemuda adat dari Masyarakat Adat Suku Miyah dan Ireres ditarik keluar dari pedalaman hutan di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Mereka baru saja ditahbiskan sebagai “gentleman” pada 29 April 2022 usai menjalani “meditasi” selama hampir satu tahun di dalam hutan.
Ketujuh pemuda adat tersebut menjadi kelompok terakhir yang menjalani tradisi Wuon di Papua Barat. Wuon merupakan kearifan turun-temurun dari Suku Miyah dan Ireres yang mendiami wilayah pedalaman Tambrauw. Saat ini, tradisi itu dapat dikatakan hampir punah karena nyaris tidak pernah dilakukan lagi. Seingat saya, tradisi Wuon terakhir yang digelar adalah pada 1990-an.
Dalam bahasa setempat, kata “Wuon” disebut rumah adat bagi kaum laki-laki untuk belajar nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal. Untuk mempertahankan budaya dan nilai sakral yang ada dalam tradisi itu, generasi muda Suku Miyah dan Ireres harus menempuhnya lewat inisiasi pendidikan melalui sekolah adat.
Secara umum, pendidikan Wuon pertama kali diterapkan oleh tiga suku besar yang mendiami Tambrauw, yaitu Suku Abun, Suku Miyah, dan Suku Ireres. Kemudian, pendidikan Wuon menyebar ke wilayah yang kini menjadi Kabupaten Maybrat, Sorong Selatan, dan Sorong.
Sekolah adat kami tidak mengenal batasan umur. Anak-anak adat sejak dini akan mendapat perlakuan khusus dan ada penerapan tertentu dalam keluarga ketika ada anak-anak adat yang menunjukkan minat untuk menempuh sekolah adat. Bahkan, jika si anak masih dalam kandungan dan si ibu yang mengandungnya itu tertarik menyertakan anaknya kelak, perlakuan khusus maupun penerapan tertentu itu sudah bisa dilakukan ketika si anak belum lahir, seperti penerapan pola makan maupun pantangan atau larangan saat tengah mengandung.
Selanjutnya, ketika si anak lahir sampai umur 12-15 tahun, anak itu akan diasingkan dari kampungnya dengan dikirim ke sekolah adat yang dikenal dengan nama rumah adat Wuon yang berada jauh dari kampung. Biasanya, jarak sekolah adat dari kampung sekitar 15-30 km.
Keluarga tentu bisa mengantar makanan ke tempat si anak bersekolah, tapi tidak semua makanan. Mungkin satu atau dua jenis saja. Begitu pun dengan sayur yang juga tidak semua boleh diantar atau diberikan. Selama enam bulan atau satu tahun, anak-anak adat yang sedang menempuh pendidikan adat itu pun sekadar makan beberapa jenis lauk maupun sayur dalam jumlah yang terbatas.
Masa lamanya sekolah adat dibagi ke dalam tiga tahap, yakni tiga bulan, enam bulan, dan satu tahun. Dalam menjalani pendidikan di sekolah adat, bila ada yang sudah berkeluarga, maka pasangan dari peserta sekolah adat harus mengikuti aturan yang berlaku. Misalnya, jika seorang suami mengikuti sekolah adat di Wuon, maka tata aturan yang sama harus diikuti oleh istrinya di rumah (kampung). Bila dalam menjalani pendidikan adat ada kejadian yang luar biasa yang menyebabkan celaka hingga meninggal, pihak keluarga tidak akan marah sebab mereka menyakini bahwa kejadian itu disebabkan oleh si peserta sekolah adat yang kemungkinan melanggar aturan yang berlaku dan berdampak pada datangnya musibah.
Itulah nilai-nilai sakral pendidikan adat di Suku Miyah. Kesiapan mental dan kesepakatan keluarga sudah menjadi prosedur sebelum orangtua atau anggota keluarga lain menyetujui anaknya untuk bersekolah di sekolah adat, termasuk kesiapan atas konsekuensi selama menjalani proses tersebut. Bila ketahuan melanggar aturan yang sudah ditetapkan, para pendidik tidak akan segan memberikan hukuman.
Anak-anak adat yang tamat dari pendidikan adat, akan dihargai di kampung oleh penduduk sebab mereka layak mendapatkannya usai menempuh berbagai tantangan dan rintangan, di mana tidak semua warga dapat menghadapinya. Lalu, setelah selesai melewati pendidikan adat, keluarga pun akan membuat pesta penyambutan sebagai ungkapan rasa syukur.
Sewiam Sedik, seorang tokoh Masyarakat Adat Tambrauw, menjelaskan bahwa Wuon hanya dikhususkan untuk anak laki-laki yang sudah masuk fase dewasa. Anak laki-laki yang masuk dalam pendidikan itu, minimal berusia 14 tahun ke atas. Ia juga mengatakan kalau mereka akan diasingkan ke hutan untuk mendapat pendidikan khusus selama enam bulan sampai satu tahun.
“Mereka akan dibentuk, digembleng, dan dibina di tempat khusus untuk menjadi seorang laki-laki yang bertanggung jawab dan dewasa,” katanya. “Mereka juga akan dididik untuk menanam obat-obatan, meracik ramuan obat, memanah, memancing, berburu, dan lainnya.”
Sewiam mengaku kalau tradisi itu telah hampir punah. Ia mencontohkan bagaimana di daerahnya di Miyah Raya, Wuon terakhir yang digelar adalah pada 1990-an. Selain peserta didik, tenaga pengajarnya juga tinggal sedikit.
“Saat ini, pengajar Wuon tinggal empat orang dan sudah lansia,” katanya.
Melihat kondisi itu, ia berinisiatif menemui para tetua adat pada awal 2021 lalu untuk membuka kembali pendidikan adat tersebut. Dan ketika usulan Sewiam disetujui, pada Juni 2021, Wuon akhirnya kembali dibuka.
“Di awal pembukaan, ada lima pemuda adat yang ikut. Kemudian pada Agustus, kami merekrut tujuh pemuda adat. Mereka dididik sampai 29 April 2022 dan telah ditarik keluar dari hutan untuk ditahbiskan,” ungkapnya.
Sewiam menjelaskan bahwa Wuon lahir dari keinginan Masyarakat Adat dengan tujuan untuk menyiapkan generasi muda yang mandiri dan memiliki jati diri. Ada yang mengistilahkannya sebagai gentleman versi Papua Barat. Menurutnya, pendidikan itu merupakan salah satu cara meditasi.
“Meditasi tentang bagaimana berhubungan dengan Tuhan dan berhubungan dengan alam," ujarnya.
Bonifasius Syufi, tokoh Masyarakat Adat lain, berharap pendidikan adat tersebut bisa terus dikembangkan sebab itu dapat membina mental, memperlihatkan cara berpikir yang tenang, menyemangati hidup, memberikan harapan kepada orang lain, dan menunjukan sikap baik dalam perilaku hidup untuk menjadi laki-laki yang bertanggung jawab dan dewasa.
Sementara itu, Paul, seorang pemuda adat asal Tambrauw, mengutarakan kalau tradisi tersebut perlu dijaga dan dilestarikan untuk anak dan cucu kelak. “Tradisi Wuon ini sangat bermanfaat dalam membentuk mental pemuda yang bertanggung jawab dan ini harus terus dilestarikan,” katanya.
***
Penulis adalah jurnalis rakyat dari Papua Barat.