Oleh Maruli Tua Simanjuntak dan Apriadi Gunawan

Seorang perempuan adat nyaris dilahap mesin pemotong kayu saat terjadi kericuhan antara Masyarakat Adat Lamtoras dengan karyawan PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan polisi di lokasi blokade Buntu Pangaturan Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Mesin pemotong kayu tersebut tiba-tiba telah mengarah ke wajah perempuan bernama Nurinda Napitupulu.

Perempuan adat paruh baya ini terkejut. Pasalnya, saat kejadian itu ia hanya bertanya mengapa portal yang ada di posko mereka dirusak oleh karyawan TPL. Nurinda berharap ada jawaban dari TPL, tapi bukan jawaban yang diterimanya melainkan justru nyawa Nurinda terancam.  Mesin pemotong kayu diarahkan ke wajahnya.

Spontan, aksi menjurus anarkis ini mengundang amarah dari warga. Mereka mengusir paksa rombongan polisi dan karyawan TPL dari lokasi setelah hampir 15 menit mengepung Masyarakat Adat Lamtoras.

Puluhan polisi bersama rombongan karyawan TPL mengepung posko Masyarakat Adat Lamtoras di Buntu Pangaturan Sihaporas pada Senin (18/7/2022) malam sekira pukul 19.00 Wib. Polisi dan karyawan TPL merusak portal yang ada di posko tanpa berkomunikasi dengan masyarakat.  Mereka berupaya mengusir aksi blokade yang dibuat Masyarakat Adat Lamtoras untuk hentikan aktivitas TPL. Aksi brutal yang dilakukan oleh karyawan TPL ini berujung bentrok. Beberapa orang perempuan adat mengalami luka-luka akibat terjatuh menghindari mesin pemotong kayu yang diarahkan ke wajah mereka.

Ketua BPH AMAN Tano Batak Roganda Simanjuntak mengecam tindakan tindakan represif yang diperlihatkan aparat Polres Simalungun bersama karyawan TPL terhadap Masyarakat Adat Lamtoras-Sihaporas

Roganda menyebut tindakan kekerasan dan kriminalisasi secara berulang terus dialami oleh Masyarakat Adat Lamtoras. Pihak TPL selalu menuduh Masyarakat Adat mengusahai hutan negara (konsesi PT TPL) tanpa izin pemerintah. Padahal, Masyarakat Adat yang tergabung dalam Lembaga Adat Ompu Mamongtang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) telah mendiami dan mengusahai wilayah adatnya sejak Ompung Mamontang Laut Ambarita tiba di Sihaporas.

“Sudah 11 generasi mereka tinggal di wilayah adat itu,” kata Roganda pada Selasa (19/7/2022).

Menurutnya, selama ini Masyarakat Adat Lamtoras sangat menggantungkan hidupnya di wilayah adat dari hasil pertanian seperti menyadap aren, kopi, tanaman holtikultura, padi dan jenis tanaman lainnya. Sedangkan, hutan dijaga kelestariannya karena dianggap sakral: sumber obat-obatan dan ramuan untuk ritual, air bersih.

Roganda mendesak segala tindak kekerasan dan intimidasi yang ditujukan kepada Masyarakat Adat Lamtoras dihentikan. Menurutnya, tindak kekerasan dan intimidasi yang dilakukan polisi bersama karyawan TPL bukan pertama ini terjadi, namun sudah berulang kali. Bahkan, ada sembilan orang Masyarakat Adat Lamtoras yang telah dikriminalisasi.

“Tindak kekerasan dan intimidasi yang selama ini ditujukan kepada Masyarakat Adat Lamtoras sudah diluar batas kemanusiaan, kami minta semua itu dihentikan,” tandas Roganda dengan nada lantang.

Ia meminta aparat kepolisian tidak berpihak kepada TPL. Menurutnya, aparat kepolisian di Simalungun harus bertindak secara profesional dan mengedepankan persuasif kepada Masyarakat Adat Lamtoras.

“Polisi harus profesional, tidak boleh berpihak kepada pengusaha. Polisi digaji dengan uang rakyat, seharusnya mereka membela rakyat,” ujarnya.

Roganda mendesak pemerintah untuk menghentikan seluruh aktifitas TPL di wilayah adat Lamtoras.  Ia juga meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera mengeluarkan klaim hutan negara dan konsesi TPL dari Wilayah Adat Lamtoras.

“Ini solusi, jika tidak dilakukan pemerintah maka persoalan ini akan terus menggelinding tanpa kita tahu kapan berakhirnya,” kata Roganda.

***

Penulis adalah Jurnalis Rakyat dari Tano Batak

Writer : Maruli Tua Simanjuntak dan Apriadi Gunawan | Tano Batak
Tag : Tutup TPL Masyarakat Adat Tano Batak SahkanRUUMasyarakatAdat