Oleh Budi Baskoro

Selain berhasil memilih Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Lamandau, Ketua dan Anggota Dewan AMAN Daerah (DAMANDA) yang baru, Musyawarah Daerah (Musda) AMAN Lamandau di Kalimantan Tengah yang digelar di Laman Kinipan pada Senin lalu (18/7/2022), juga telah menetapkan program kerja dan resolusi. Sasaran utama dari resolusi tersebut, adalah pemerintah yang dinilai lalai dalam melindungi Masyarakat Adat.

Ada tiga resolusi yang dikeluarkan oleh AMAN Lamandau. Pertama, mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lamandau untuk segera mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dengan pelibatan penuh komunitas Masyarakat Adat pada prosesnya. Kedua, mendesak Pemkab Lamandau untuk menghentikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat di Lamandau. Ketiga, mendorong dan mengawal Pemerintah Desa (Pemdes) untuk mendukung inisiatif-inisiatif komunitas Masyarakat Adat melalui alokasi Dana Desa.

Tiga resolusi itu muncul dari kegelisahan dan pengalaman yang dihadapi Masyarakat Adat di Lamandau yang kemudian diungkap dan didiskusikan dalam Musda. Effendi Buhing, Ketua BPH AMAN Lamandau yang terpilih dalam Musda, mengungkapkan bahwa upaya untuk memperoleh pengakuan wilayah adat dari Pemkab Lamandau, belum berhasil. Ganjalannya masih terletak pada urusan administrasi.

Sementara itu, upaya untuk melindungi hutan yang tersisa melalui skema hutan adat, baru direspons oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Pencadangan Hutan Adat. Pencadangan itu pun ternyata masih belum memasukkan hutan adat milik Masyarakat Adat Kinipan yang terlanjur dirampas dengan menjadikannya sebagai konsesi perusahaan.

Nuah, seorang warga Kinipan, menegaskan keinginan Masyarakat Adat untuk menjaga ruang hidupnya.

“Apakah salah orang Kinipan yang mempertahankan alamnya yang merupakan (selayaknya) ‘ATM hidup bagi orang Kinipan? Salahkah kami di mata Pemerintah Indonesia, di mata dunia, bahkan di mata Tuhan? Saya rasa tidak karena kami mempertaruhkan hidup kami pada alam, ucapnya.

Tuntutan agar pemerintah tidak membiarkan kriminalisasi terjadi, berkaca dari pengalaman Effendi Buhing yang ditangkap paksa oleh polisi pada Agustus 2020 dan pengalaman Kepala Desa Kinipan Willem Hengki yang digeret ke pengadilan dengan tuduhan korupsi Dana Desa, di mana akhirnya hakim memutuskan Willem tidak bersalah.

Peserta Musda AMAN Lamandau yang berasal dari perwakilan sembilan komunitas Masyarakat Adat di Kabupaten Lamandau. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Menyikapi kegelisahan itu, Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi yang hadir dalam Musda, menegaskan bahwa kesalahan tidak terletak pada Masyarakat Adat Kinipan karena berbagai upaya sudah dilakukan demi mempertahankan hutan dan memperoleh pengakuan dari pemerintah.

Menurutnya, jika pemerintah serius, maka apa yang diklaim oleh Kinipan sebagai wilayah adat, diakui saja terlebih dahulu seluruhnya. “Setelah itu, masalah-masalah yang ada selama ini baru diurai satu per satu. Begitu semestinya masalah di wilayah adat diselesaikkan. Bukan hanya di Kinipan, tapi juga di tempat-tempat lain,” kata Rukka.

Ia menambahkan, urusan dengan perizinan bukan tanggung jawab Masyarakat Adat.

“Kita tidak pernah memberi izin. Itu tanggung jawab KLHK yang harus membereskan. Jangan mau dibalik, seolah-olah semua diserahkan pada Pemda. Di tempat lain, mereka dalam semalam seenaknya bisa beri izin. Sementara untuk kita yang berjuang, mereka bilang, ‘Kami serahkan semua pada Pemda,” ujar perempuan adat asal Toraja itu.

Sedangkan resolusi ketiga, bertolak dari pengalaman Laman Kinipan bahwa perjuangan untuk memperoleh pengakuan wilayah adat, menjadi lebih mudah jika sejalan dengan Pemdes. Pemdes Kinipan, sejak sebelum era Willem Hengki, telah memfasilitasi pemetaan wilayah adat yang sebangun dengan administrasi desa, sehingga dukungan dari Masyarakat Adat selalu bergerak bersama Pemdes.

Effendi Buhing mengatakan, apa yang sudah dilakukan Kinipan, sebenarnya memungkinkan juga dilakukan Masyarakat Adat di desa-desa asal di Kabupaten Lamandau. “Apalagi, Masyarakat Adat di Lamandau itu tercermin keberadaannya di laman-laman atau desa asli di Lamandau yang tersebar di sepanjang sungai besar dan kecil yang menjadi ruang hidup, budaya, dan ekonomi yang terkait dengan hutan di sekitarnya,” jelas Effendi.  

***

Penulis adalah jurnalis rakyat dari Kalteng.

Writer : Budi Baskoro | Kalimantan Tengah
Tag : AMAN Kalimantan Tengah AMAN Lamandau Musyawarah Daerah