Oleh Yuyun Kurniasih bersama Timotius

Pada Minggu, 11 September 2022 lalu, saya berkomunikasi dengan Timotius (Timo), Ketua BPAN Sintang di Kalimantan Barat. Komunikasi berlangsung melalui WhatsApp (WA) dan sekadar iseng untuk menanyakan kabar. Ketika saya menanyakan kabar tentang keadaan komunitas Masyarakat Adat di sana, Timo menjawab kalau saat ini, mereka sedang panen raya jengkol. Masyarakat Adat tengah ramai melakukan panen yang hasilnya akan dijual ke para tengkulak. 

Jengkol atau jering adalah tumbuhan khas untuk negara-negara di Asia Tenggara. Pohon itu masuk ke dalam suku polong-polongan dan bentuk buahnya gepeng membentuk spiral berwarna lembayung tua. Jengkol memiliki nama latin Archidenron pauciflroum.

Di wilayah adat milik Komunitas Masyarakat Adat Seberuang Ansok di Sintang, pohon-pohon jengkol tumbuh dengan sendirinya di setiap kebun warga. Para warga tidak ada yang merawat atau melakukan perawatan khusus agar jengkol tumbuh dengan baik. Sehingga, pada Agustus sampai Oktober setiap tahunnya, panen raya jengkol terjadi di komunitas Masyarakat Adat. Jengkol adalah bukti yang sesungguhnya dapat menegaskan bahwa wilayah adat yang menjadi asal dan tempat tinggal Timo, masih berada dalam kondisi yang relatif baik.

Tahun ini, panen jengkol di kebun keluarga Timo, diprediksi mencapai dua sampai lima ton. Jumlah itu merupakan rata-rata penghasilan setiap warga di komunitas Masyarakat Adat. Menurut Timo, panen itu menjadi penegasan atas kedaulatan pangan untuk komunitas Masyarakat Adatnya. Banyak petani merasa lebih terbantu dari hasil penjualan jengkol dibandingkan komoditi lokal lain, seperti latek atau hasil sadap karet yang harganya anjlok saat ini. Lagipula, ada banyak warga di sana yang belakangan tidak bisa pergi menyadap karet karena cuaca buruk. Kondisi iklim turut mempengaruhi penurunan kualitas hasil karet. 

Dulu, panen raya jengkol menjadi perayaan yang meriah di Sintang. Meski tidak ada ritual khusus saat panen jengkol akan di mulai, namun warga melakukan gotong-royong pada perayaan panen jengkol. Mereka secara bersama-sama dan bergantian memanjat setiap pohon milik keluarga tertentu. Hari ini untuk keluarga si A, lalu hari berikutnya untuk tetangga keluarga si B, dan hari selanjutnya untuk keluarga lainnya. Upah gotong-royong pun diterima oleh warga dan mereka dapat bergantian bergotong-royong juga pada hal-hal lain, termasuk panen padi di ladang.

Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi gotong-royong panen jengkol itu kian meredup di tengah-tengah kehidupan Masyarakat Adat. Salah satu penyebabnya adalah murahnya harga jengkol ketika panen. Akhirnya, para keluarga pemilik kebun atau pohon, hanya melakukan aktivitas pemanenan bersama kerabat terdekat. 

Kembali ke percakapan saya dengan Timo, menurutnya harga jengkol pada panen kali ini jauh lebih murah dibandingkan panen sebelumnya. Para tengkulak membeli dengan harga Rp4-5 ribu per kilogram untuk jengkol yang telah dikupas. Padahal, jika harga sedang bagus, Masyarakat Adat di Sintang bisa mendapatkan uang hingga Rp24 ribu per kilogram. 

Akibat dari anjloknya harga jengkol tahun ini, para petani menjadi kurang bersemangat untuk melakukan panen. Petani hanya memanen yang berbuah lebat dan berjarak dekat, sehingga buah-buah jengkol yang jauh dari jangkauan dibiarkan menua dan membusuk di pohon. Padahal, jika harga jual jengkol tidak jatuh, mereka biasa memanen seluruh jengkol yang ada tanpa terlewat satu pohon pun. 

Musim panen tahun ini, keluarga Timo hanya berhasil memanen setengah ton. Jika dipanen semua, seharusnya mereka dapat mengumpulkan hingga empat ton jengkol. Keluarga Timo memiliki sekitar 800 pohon jengkol, namun yang dipanen baru 300 pohon. Mereka tidak memanen 500 pohon lainnya karena tidak terjangkau atau berada jauh dari tempat tinggal, sehingga itu membutuhkan upaya dan biaya lebih. Tetapi, menurutnya itu tak sebanding dengan harga jual saat ini. 

Di Komunitas Masyarakat Adat Seberuang Ansok, kehadiran tengkulak jengkol diperkirakan mulai muncul tahun 2007. Saat itu, harga jual jengkol pernah turun drastis hingga Rp1.000 per kilogram. Itulah yang membuat warga mulai memperhatikan tanaman jengkol. Lalu, tahun 2018, jengkol sempat mendapat harga tertinggi dengan nilai Rp24 ribu per kilogram. Jika panen dan harga jual jengkol stabil saat panen, sebetulnya komunitas Masyarakat Adat di sana mampu mengeluarkan jengkol hingga 300 ton per musim.

***

Penulis adalah pemuda adat dari BPAN.
 

Writer : Yuyun Kurniasih dan Timotius | Jakarta
Tag : Masyarakat Adat Pemuda Adat Jengkol BPAN Sintang