AMAN Toraya Menerima Penghargaan atas Pendokumentasian 125 Motif Ukiran Toraja
06 Oktober 2022 Berita Apriadi GunawanOleh Apriadi Gunawan
Senang bercampur haru terpancar di raut wajah Ketua AMAN Toraya Romba Marannu Sombolinggi saat menerima penghargaan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) atas dedikasi melakukan inventarisasi terhadap 125 motif ukiran Toraja. Penghargaan yang diserahkan langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam acara bincang-bincang di Makassar tersebut, merupakan bentuk pengakuan pemerintah atas kekayaan seni dan budaya Masyarakat Adat Toraja di Sulawesi Selatan.
Romba menyatakan senang menerima penghargaan itu. Namun, ia menegaskan bahwa penghargaan itu adalah milik Masyarakat Adat Toraja (Toraya). Ia pun mengaku tidak bekerja sendiri untuk mendapatkan penghargaan. Ia menyebut kalau ada 32 lembaga adat di Toraja yang membantu, termasuk para tokoh Toraja serta lembaga pemuda dan mahasiswa.
“(Penghargaan) ini milik kita bersama. Mari, kita jaga kelestarian ukiran Toraja yang telah mendapatkan hak Kekayaan Intelektual Komunal (KIK),” kata Romba usai menerima penghargaan.
Toraja merupakan salah satu wilayah adat di Sulawesi Selatan yang paling banyak mendaftarkan Kekayaan Intelektual Komunal untuk mendapatkan sertifikat KIK. Ada sebanyak 125 jenis maupun motif ukiran Toraja yang didaftarkan dan mendapat surat pencatatan inventarisasi KIK dari Kemenkumham. Surat tersebut dikeluarkan sesuai Pasal 38 Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Romba menerangkan bahwa semua karya cipta dalam bentuk ukiran Toraja, sudah didokumentasikan dalam pusat data KIK Indonesia. Ukiran Toraja itu didaftarkan oleh AMAN Toraya bersama mantan Kapolda Sulawesi Selatan Matius Salempang sebagai penanggung jawab (kustodian).
Ia juga menjelaskan bahwa KIK Passura’ Toraya itu diusulkan ke Kemenkumham atas pertimbangan kalau selama ini ada banyak pihak yang menyalahgunakan ukiran-ukiran Toraja, baik untuk kepentingan bisnis maupun kepentingan lain. Ia menegaskan, secara prinsip, itu tidak dibenarkan karena menyalahi arti dan makna ukiran Toraja.
Romba menceritakan bahwa awal munculnya kesadaran untuk memperjuangkan hak cipta terhadap ukiran Toraja, terjadi pada 2016 ketika banyak pemuda adat yang peduli terhadap permasalahan tersebut, melihat sebuah hotel di Makassar yang menggunakan motif ukiran Toraja di lantai bangunan. Para pemuda adat itu, termasuk Belo Tarran, Briken Linde Bonting, Somba Tonapa, dan lainnya, langsung bereaksi. Mereka kemudian berjuang bersama Ketua AMAN Toraya Romba Marannu Sombolinggi untuk mencari jalan agar ukiran Toraja memperoleh hak cipta dari Kemenkumham.
Selanjutnya, AMAN Toraya mengomandoi anak-anak muda adat untuk menjalin komunikasi dengan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara untuk bersama-sama mengusulkan ukiran Toraja mendapat hak cipta. Namun, di tengah jalan, karena berbagai alasan mereka menemukan sosok Irjen Pol. (Purn.) Matius Salempang, mantan Kapolda Sulawesi Selatan tahun 2016, yang dengan tangan terbuka menyambut ide tersebut. Secara bersama-sama, mereka pun melaporkan usulan ke Kemenhukham.
Matius mengaku bahwa tindakan maupun dukungan itu dilakukan semata-mata demi menjaga, melindungi, dan memperjuangkan hak intelektual Masyarakat Adat Toraja agar tidak disalahgunakan.
“Sebagai putra Toraja, saya merasa terpanggil untuk memperjuangkan itu supaya kekayaan intelektual orang Toraja, tidak sembarangan dipakai orang,” ujarnya.
Ia berharap pencatatan hak cipta terhadap ukiran Toraja, tidak menimbulkan polemik. Untuk itu, Matius mengusulkan agar dua Pemda di Toraja, duduk bersama Masyarakat Adat untuk membicarakannya.
“Mungkin nanti ada Perda bersama yang mengatur tentang bagaimana motif ukiran itu dipakai tidak sembarangan,” terangnya sembari mencontohkan bahwa motif yang dipakai pada upacara Rambu Solo’, seharusnya tidak boleh dipakai pada Rambu Tuka.
***