Oleh Apriadi Gunawan

Aliansi Masyarakat Sipil di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, mendukung perjuangan Masyarakat Adat Tungko Ni Solu dalam menuntut hakim Pengadilan Tinggi Medan untuk membebaskan Dirman Rajagukguk dari segala jerat hukuman karena telah menjadi korban kriminalisasi dari PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Tuntutan itu disampaikan oleh Aliansi Masyarakat Sipil saat menggelar aksi damai ke Pengadilan Tinggi Medan pada Kamis, 24 November 2022. Dalam aksi yang berlangsung sekitar 30 menit itu, perwakilan Aliansi Masyarakat Sipil menyerahkan surat terbuka yang didukung oleh lebih dari 300 lembaga dan individu masyarakat sipil untuk pembebasan Dirman Rajagukguk dari hukuman. Mereka mendesak pengadilan untuk memberikan keadilan kepada Dirman Rajagukguk yang telah divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Balige pada 6 Oktober 2022.

Doni Munthe dari Biro Advokasi AMAN Tano Batak menyatakan vonis pengadilan terhadap Dirman Rajagukguk, tidak adil karena kuat dugaan telah diintervensi oleh PT TPL. Doni minta Putusan Pengadilan Negeri Balige Nomor 116/Pid.B/Lh/2022/Pn, dibatalkan sembari membebaskan Dirman Rajagukguk dari segala tuntutan hukum.

“Dirman Rajagukguk itu korban kriminalisasi PT TPL. Kenapa pula dia yang dihukum. Karena itu, kami minta Dirman dibebaskan,” kata Doni Munthe usai menggelar aksi damai di Pengadilan Tinggi Medan.

Doni mendesak aparat kepolisian dan PT TPL untuk segera menghentikan segala tindakan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat. Ia juga minta PT TPL ditutup.

Menanggapi hal itu, Humas Pengadilan Tinggi Medan Jhon Panatas Lumban Tobing  menyatakan bahwa putusan perkara Dirman Rajagukguk akan dibacakan oleh hakim Pengadilan Tinggi pada 7 Desember 2022. Jhon menyatakan kalau mereka tidak bisa mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan. Ia menambahkan, biarlah perkara tersebut kita percayakan kepada hakim yang akan memutus.

“Harapannya, putusan hakim nanti adil bagi kita semua, terutama bagi Dirman Rajagukguk,” kata Jhon.

Pada kesempatan tersebut, Jhon menyarankan kepada keluarga Dirman Rajagukguk untuk mengirimkan surat penangguhan penahanan agar bisa segera diproses sebelum pembacaan putusan pada 7 Desember mendatang. 

Abdon Nababan, aktivis Masyarakat Adat yang baru-baru ini mengakhiri masa jabatannya sebagai Ketua Dewan AMAN Nasional, menyatakan bahwa kasus kriminalisasi oleh PT TPL terhadap Dirman Rajagukguk, membuat hati sangat sedih dan marah. Perjuangan marga Rajagukguk di Huta Tungko Ni Solu, - untuk merebut kembali hak ulayatnya dari tangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan PT TPL - berusaha dipatahkan dengan pengaduan kriminalisasi ke polisi oleh pihak manajemen perusahaan.

“Modus kriminalisasi ini telah menjadi senjata untuk membungkam para korban perampasan hak adat di banyak tempat,” tandasnya.

Abdon menyatakan bahwa Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Balige pun tidak berupaya menemukan keadilan substansial yang mengakar pada fakta historis dan kultural dari keberadaan marga Rajagukguk di Huta Tungko Ni Solu yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Ia menambahkan, Majelis Hakim memutus perkara hanya atas pertimbangan administrasi kawasan hutan yang itu pun statusnya belum terbukti berkekuatan hukum tetap.

“Kasus ini mengarah pada pengadilan yang sesat,” ujarnya.

Menurut Abdon, praktik kriminalisasi yang hanya didasarkan pada pembuktian administratif, harus dihentikan untuk mencegah semakin banyaknya korban kriminalisasi karena kelalaian negara dalam mengadministrasikan keberadaan Masyarakat Adat. Seluruh Masyarakat Adat yang wilayah adatnya dirampas dan menjadi kawasan hutan potensial, jadi korban, seperti Dirman Rajagukguk.

Abdon menyatakan bahwa marga Rajagukguk tidak pernah diberitahu dan dimintai persetujuan oleh pemerintah, terutama KLHK, kalau wilayah adat mereka telah ditunjuk oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai kawasan hutan.

“Kita harus terus melawan cara-cara KLHK yang tidak beradab ini,” kata Abdon dengan penuh semangat.

Terkait surat dukungan yang digalang, Abdon yang turut memberikan pernyataan dukungan, menjelaskan bahwa penggalangan surat dukungan itu merupakan aksi kolektif untuk melawan pengadilan yang sesat karena telah mengabaikan fakta historis dan sosiologis dari kasus-kasus kriminalisasi.

Abdon menyatakan, melalui surat dukungan itu, mereka mendesak hakim banding di Pengadilan Tinggi Medan dengan mempertimbangkan fakta historis dan sosiologis atas keberadaan marga Rajagukguk. Ia menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sudah menjamin hak asal-usul atau hak tradisional mereka untuk diakui dan dihormati oleh negara. Kelalaian negara dalam mencatat dan mengadministrasikan mereka sebagai Masyarakat Adat, bukanlah kesalahan mereka.

“Dirman Rajagukguk tidak sepantasnya memikul kesalahan negara yang abai dan lalai,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua AMAN Tano Batak Roganda Simanjuntak menyatakan bahwa kasus yang menyeret Dirman Rajagukguk, diduga telah direkayasa. Hal itu terlihat dari laporan PT TPL yang menuduh Dirman telah melakukan pencurian dan penebangan kayu serta membakar hutan. 

Atas laporan itu, penyidik Polres Toba, Jaksa Penunjut Umum Kejaksaan Negeri Balige, dan Majelis Hakim Pengadilan menyatakan bahwa Dirman bersalah dengan menjatuhkan pidana penjara selama tiga tahun dan denda sejumlah Rp1.000.500.000 dengan ketentuan, apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.

Menurut Roganda, putusan hakim itu aneh karena Dirman tidak pernah melakukan perihal yang dilaporkan oleh PT TPL. Dirman selama ini hanya bekerja dan mengelola wilayah adat yang diwariskan oleh leluhur.

“Kasus Dirman ini sudah direkayasa. Dia sangat gigih menjaga dan mempertahankan wilayah adat. Karena itu, mungkin ada pihak yang tidak nyaman dengan kegigihan Dirman, sehingga harus dipenjarakan. Ini sudah kriminalisasi,” ungkap Roganda. 

Roganda menegaskan bahwa Aliansi Masyarakat Sipil dan Masyarakat Adat akan terus mendukung Dirman Rajaguguk dalam mencari keadilan. Ia meminta hakim di Pengadilan Tinggi Medan untuk objektif, profesional, dan independen saat memutus perkara banding pada 7 Desember nanti. 

“Kami meminta kepada hakim Pengadilan Tinggi Medan yang memeriksa, menyidangkan, dan memutus perkara ini agar memberikan putusan yang adil bagi Dirman Rajagukguk. Kami minta Dirman dibebaskan dari segala tuntutan,” kata Roganda.

 

Pertemuan antara perwakilan masyarakat sipil maupun Masyarakat Adat dengan berbagai pihak dalam memperjuangkan keadilan bagi korban kriminalisasi.

Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Wilayah Adat Tungko Ni Solu

Tungko Ni Solu adalah wilayah adat marga Rajagukguk yang berada di Desa Parsoburan Barat, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Generasi ketujuh dari keturunan Tuan Gukguk adalah Guru Hasian Rajagukguk sebagai orang pertama yang membuka lahan perkampungan dan pertanian jauh sebelum Indonesia lahir. Luasan wilayah adat yang tercatat, mencapai 770 hektar. Keturunan dari pembuka pertama kampung sampai saat ini tetap menguasai dan mengelola wilayah adat tersebut hingga generasi kesembilan. Jika jarak antar-generasi dihitung dua puluh lima tahun, maka dapat diperkirakan bahwa mereka telah mengelola wilayah adat selama 225 tahun.

Sejak berdirinya PT Inti Indorayon Utama tahun 1986 dan kemudian berganti nama menjadi PT TPL dengan izin konsesi seluas 167.912 hektar, izin tersebut telah menghadirkan banyak konflik di kalangan masyarakat, khususnya di Tungko Ni Solu. Beroperasinya PT TPL mengakibatkan tatanan kehidupan Masyarakat Adat Tungko Ni Solu terpuruk. Kedamaian dan kerukunan dikampung dipecah belah, sumber daya alam yang melimpah habis dibabat, ancaman dan tantangan tak jarang terjadi.

Belakangan, Masyarakat Adat Tungko Ni Solu atas nama Dirman Rajagukguk mengalami teror. Ia dituduh telah mencuri, menebang pohon, dan membakar hutan hingga akhirnya mendekam di penjara.

***

Writer : Apriadi Gunawan | Jakarta
Tag : Tutup TPL PT Inti Indorayon Utama PT TPL Dirman Rajagukguk