Pemerintah Sedang Memukul Kemandirian Perempuan Adat
12 Desember 2022 Berita Apriadi GunawanOleh Apriadi Gunawan
Nuriana tak kuasa menahan emosinya saat menceritakan keberingasan aparat keamanan ketika mengusir mereka dari wilayah adat. Perempuan adat asal Kabupaten Langkat, Sumatera Utara itu, menangis. Ia mengaku sudah terusir dari wilayah adat yang bertahun-tahun mereka tempati.
“Kami tidak punya tanah adat lagi. Kami semua terusir. Pemerintah sangat kejam kepada kami,” katanya sambil menangis saat menceritakan kisahnya di acara “Refleksi Akhir Tahun PEREMPUAN AMAN: Posisi Perempuan Adat dalam Gerakan Masyarakat Adat dan Negara” di Fave Hotel, Kota Bogor pada 6 Desember 2022.
Nuriana mengatakan bahwa mereka tak berdaya menghadapi kekejaman aparat keamanan yang berjumlah ratusan, sementara perempuan adat hanya ada 25 orang. Menurutnya, tidak sepantasnya aparat keamanan menyerang mereka yang jumlahnya lebih sedikit dan tidak berdaya. Tapi, di saat itulah justru aparat keamanan menyerang mereka.
“Mereka sangat biadab terhadap kami. Kami diusir seperti binatang dengan buldoser dan senjata api,” kata Nuriana yang tak kuasa menahan tangis hingga ia harus menghentikan kisahnya sembari berharap pengalaman pahit itu tidak terjadi di kampung adat lain.
Ketua Umum PEREMPUAN AMAN Devi Anggraini menyatakan, kisah Nuriana mengiris hati kita sebagai perempuan adat sekaligus menunjukkan bahwa kita sedang dipukul habis. Ia menyatakan, apabila menoleh kembali perjalanan selama 10 tahun PEREMPUAN AMAN, itu menjadi penting untuk kita tahu saat ini kita tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Ketua Umum PEREMPUAN AMAN Devi Anggraini. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.
Devi mengatakan, ketika kita ingin membangun Masyarakat Adat yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat, sesungguhnya pemerintah justru melakukan kebalikannya.
“Pemerintah sedang memukul kemandirian kita,” kata Devi di hadapan puluhan kader dan pengurus PEREMPUAN AMAN yang datang dari berbagai daerah.
Ia menyebut, ketika Waduk Lambo dibangun, yang dihancurkan adalah kemandirian kehidupan yang telah dibangun puluhan, bahkan ratusan tahun oleh Masyarakat Adat yang ada di Rendu, Ndora, dan Lambo di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sekarang, itu berubah menjadi waduk.
“Mau hidup di mana?” tanyanya sebagai perenungan. “Bukan hanya dipukul kemandiriannya, tetapi kehidupannya pun dimatikan seketika. Hilang. Itu adalah bagian dari genosida (yang) menghabisi satu kampung. Sejarahnya hilang. Budayanya bisa hilang. Orangnya hanya diganti dengan uang. Memang hidup kita selesai dengan uang? Tidak!”
Ia mengatakan bahwa apa yang terjadi di Rendu, juga dikhawatirkan akan terjadi di wilayah ibu kota negara (IKN) dan banyak tempat lain yang penuh dengan beragam proyek. Devi juga menyebutkan betapa organisasi PEREMPUAN AMAN punya banyak tantangan, termasuk untuk melihat kembali upaya yang dilakukan kader, anggota, dan pengurus untuk sungguh-sungguh menjangkau banyak perempuan adat yang menjadi bagian dalam gerakan.
“Umur kita sudah 10 tahun. Sekarang, anggota kita sudah 3.445 orang. Kalau (kelak berusia) 20 tahun, - berarti kalau kita tambah usia 10 tahun lagi - PEREMPUAN AMAN harusnya akan berjumlah jutaan perempuan adat. Itu kalau kita mau punya posisi politik yang kuat di dalam gerakan Masyarakat Adat dan kehidupan bernegara,” paparnya.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN Rukka Sombolinggi dalam sambutannya, menyatakan bahwa situasi Masyarakat Adat saat ini mengalami tekanan yang sangat besar. Namun, kita sudah membuktikan bahwa dalam situasi paling tertekan, perempuan adat menjadi pihak yang berdiri sampai akhir.
Ia pun mengutarakan, dalam beberapa dekade, ujung tombak perjuangan Masyarakat Adat adalah perempuat adat. Ia menyebut bahwa sudah banyak kasus di masa lampau, seperti di Seko, Sulawesi Selatan, di mana perjuangan bisa kembali menggeliat karena perempuan adat. Ketika para pejuang yang laki-laki sudah dikejar-kejar, yang menjaga kampung dan menjaga api perlawanan di tempat-tempat perusahaan, adalah perempuan.
“Saya ingin mengingatkan kita semua bahwa landasan kita sebagai Masyarakat Adat, tidak terlepas dari perempuan adat dan generasi muda,” kata Rukka. Tetapi, lanjut Sekjen AMAN yang memimpin dalam periode kedua ini, terlepas dari apakah wilayah adat kita masih dikontrol atau tidak, ada yang disebut dengan kedaulatan permanen atau kedulatan tetap Masyarakat Adat atas wilayah adatnya. Ia bilang, “Itu sudah menjadi standar hak asasi manusia (HAM) dan hak kolektif Masyarakat Adat. Apa yang kita lakukan saat ini, selain menjaga kampung dan mempertahankan wilayah adat, adalah memastikan ingatan sejarah atas wilayah adat yang kita harus tetap jaga.”
Rukka mencontohkan, seperti yang dilakukan perempuan adat di Tualang Pusu, Sumatera Utara, merupakan salah satu cara untuk merawat sejarah dan merekonstruksi kembali identitas Masyarakat Adat. Ia menjelaskan bahwa Tualang Pusu adalah kampungnya Masyarakat Adat Rakyat Penunggu yang sudah melewati berbagai penaklukan dan perampasan wilayah adat yang telah menggerus banyak hal.
“Ini bagian dari sejarah dan rekonstruksi identitas kita sebagai Masyarakat Adat,” ungkap Rukka. “Ini penting, sehingga apa yang dilakukan perempuan adat selama ini, adalah bagian dari mengingat, merekam, mereklaim, dan merebut lagi sejarah kita bersama dengan hak atas wilayah adat. Meskipun saat ini wilayah adat kita sudah dikuasai oleh orang lain, tapi hak dan kedaulatan atas wilayah adat kita, itu permanen.”
Rukka menyatakan bahwa salah satu mandat utama dari Kongres Masyarakat Adat Nusantara Keenam (KMAN VI), adalah pemetaan wilayah adat. Itu sudah mempertemukan kewajiban anggota dan tanggung jawab pengurus. Masyarakat Adat pun terus melakukan konsolidasi dan pemetaan wilayah adat yang sudah menjadi prioritas.
Menurut Rukka, ruang-ruang itu seharusnya digunakan, dimanfaatkan, dan dipastikan direbut oleh perempuat adat, khususnya di berbagai komunitas Masyarakat Adat anggota AMAN. Itu juga harus menghubungkan AMAN dan PEREMPUAN AMAN sebagai organisasi sayap dengan persinggungan pada wilayah pengorganisasian. Ke depan, AMAN akan mewajibkan seluruh Pengurus Wilayah (PW) dan Pengurus Daerah (PD) untuk secara masif melakukan pemetaan partisipatif. Bagi Rukka, kalau itu tidak ikut dipandu oleh kepemimpinan perempuan adat, maka bisa jadi mereka akan kesulitan.
“Menurut saya, ini sangat strategis untuk PEREMPUAN AMAN memperluas wilayah pengorganisasian dan memastikan perempuan adat ada di tempat itu untuk merebut proses pemetaan partisipatif,” tandasnya.
Rukka mengingatkan bahwa tugas kita saat ini, adalah untuk melakukan penguatan kampung dan pemulihan Masyarakat Adat. Salah satu yang menjadi target kita saat ini, - berdasarkan pengalaman di masa pandemi - yaitu pertanian maupun pangan organik. Baginya, itu tidak mudah karena kembali ke pertanian organik, - seperti yang dilakukan oleh leluhur Masyarakat Adat - mendesak kita untuk terlebih dulu membersihkan pikiran dan cara pandang.
“Dari pengalaman kita, lebih mudah melakukan itu melalui perempuan adat, sehingga Masyarakat Adat akan sangat tergantung dengan perempuan adat yang ada di kampung untuk bisa memastikan kita bisa keluar dari krisis ini sebagai pemenang,” ujarnya.
***