Koalisi Masyarakat Sipil Serukan Pencabutan Perpu Cipta Kerja
25 Januari 2023 Berita Apriadi GunawanOleh Apriadi Gunawan
Sebanyak 206 anggota koalisi masyarakat sipil dari berbagai organisasi masyarakat di Indonesia, menyerukan pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) karena inkonstitusional dan berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
Koalisi yang tersebar di 30 provinsi dan 101 kabupaten/kota itu juga mengultimatum Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera mencabut Perppu Cipta Kerja dalam waktu tujuh hari terhitung sejak 17 Januari 2023.
“Kami mengingatkan presiden, jika Perppu Cipta Kerja tidak dicabut seperti desakan dan tuntutan kami, maka kami pastikan dalam beberapa hari ke depan, rakyat akan melakukan gelombang aksi penolakan secara besar-besaran dan pembangkangan sipil di berbagai daerah,” demikian ultimatum koalisi yang dibacakan pada 17 Januari 2023.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyatakan bahwa sikap yang diambil oleh koalisi itu merupakan bentuk protes dan ketidakpercayaan terhadap penyelenggara negara yang telah mengkhianati konstitusi melalui berbagai kebijakan yang inkonstitusional. Ia menegaskan, setelah ultimatum itu, mereka akan melakukan serangkaian aksi sampai pemerintah mendengar suara rakyat.
“Kami menghimbau elemen rakyat yang telah menanggung beban berlipat atas kebijakan-kebijakan inkonstitusional pemerintah, agar melakukan berbagai aksi penolakan, protes, dan pembangkangan lainnya hingga presiden benar-benar mencabut Perppu Cipta Kerja,” ungkapnya.
Isnur mengatakan, Perppu Cipta Kerja merupakan tindakan inkonstitusional, tindakan kudeta institusi, tindakan menginjak-injak negara hukum, dan berpotensi melanggar HAM. Menurutnya, pemerintah seharusnya berefleksi atas protes masyarakat. Namun, ironisnya, belum ada respons sampai saat ini.
“Ini bukti pemerintah terus melakukan pelanggaran hukum. Kita tidak boleh diam saja!” tegasnya sembari menyatakan pemerintah harus segera merespons dan memberi ruang bagi protes, bukan merepresi rakyat dengan bantuan aparat.
Senada dengan Isnur, Muhammad Arman dari AMAN juga menyatakan bahwa sejak awal Masyarakat Adat telah menyatakan sikap menolak Undang-Undang tentang Cipta Kerja yang beranak pinak menjadi Perppu Cipta Kerja. Ia bilang, AMAN bersama 2.512 komunitas Masyarakat Adat di Nusantara, menilai Perpu Cipta Kerja itu sebagai bentuk pelanggaran hak konstitusional Masyarakat Adat.
“Perppu Cipta Kerja tidak hanya mencederai supremasi hukum, tetapi secara nyata pembangkangan bagi hak konstitusional Masyarakat Adat,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta.
Arman mengatakan bahwa lahirnya Perppu Cipta Kerja telah menghapus identitas keberagaman Masyarakat Adat. Menurutnya, Perpu yang dilahirkan dengan tergesa-gesa tersebut, merupakan kejahatan dan pembangkangan konstitusi.
“Rezim yang bekerja melahirkan Perppu Cipta Kerja dengan tergesa-gesa itu menunjukkan rezim yang otoriter. Tidak ada kewajiban bagi kita untuk memenuhinya,” tandas Arman.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyatakan bahwa alasan Presiden Jokowi mengeluarkan Perpu Cipta Kerja, tidak bisa diterima. Menurutnya, tidak ada situasi mendesak yang mengharuskan presiden mengeluarkan Perppu tersebut.
Dewi menuntut DPR RI untuk menggunakan dan melaksanakan Pasal 22 UUD 1945, yaitu tidak menyetujui Perppu Cipta Kerja yang melanggar dan mengangkangi konstitusi kita.
“Kita menuntut kepada Presiden RI dan DPR RI untuk mencabut dan membatalkan penerbitan Perppu Cipta Kerja,” tandasnya.
Dewi mengatakan bahwa Perppu Cipta Kerja merupakan akal bulus pemerintahan Jokowi untuk memuluskan misinya, seperti liberalisasi tanah di Indonesia. Ia menegaskan, misi akal bulus itu bertentangan dengan konstitusi dan UU Pokok Agraria. Dewi mencontohkan bagaimana pemerintah begitu ambisius membentuk bank tanah bagi investasi berskala besar di tengah perampasan ruang hidup di perdesaan dan perkotaan. Selain itu, juga kebijakan yang membuka sebesar-besarnya keran impor pangan yang merendahkan harkat dan martabat petani dan nelayan sebagai produsen pangan yang utama.
“Ini merupakan pengkhianatan terhadap agenda reforma agraria di tengah janji Presiden Jokowi untuk melaksanakan reforma agraria,” ujarnya.
***