Jakarta, 21 April 2016 – Meski Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat gagal masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2016, hal ini tidak mematahkan semangat perempuan adat. Kondisi yang membuat 70 juta masyarakat adat kecewa atas hasil Sidang Paripurna ke-17 DPR di awal tahun, nyatanya memberikan angin segar bagi gerakan perempuan adat. Ruang politik tersebut membuka lebar pintu untuk hak perempuan adat masuk didalam proses penyusunan kebijakan terkait masyarakat adat. Dalam rangka menjamin hak perempuan adat di dalam RUU Masyarakat Adat, PEREMPUAN AMAN ikut terlibat dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Bekerjasama dengan AMAN dan organisasi pendukung lainnya, organisasi perempuan adat tersebut terlibat dalam merevisi naskah akademik RUU Masyarakat Adat.Dalam dialog umum “Mendorong RUU Masyarakat Adat Berperspektif Gender”, Deputi 2 AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan bahwa “Draft ini yang paling maskulin. Dimana perempuan adat didalam teks ini? Belum banyak”. Dalam kesempatan itu, Rukka juga menegaskan bahwa hak-hak perempuan adat perlu dipastikan secara tegas disebut didalam RUU Masyarakat Adat. “menurut saya, harus ada pasal pengunci hak-hak yang berlaku untuk laki-laki dan perempuan adat” tambahnya. Hal yang serupa juga dikatakan oleh Komisioner Komnas Perempuan 2007-2014 Arimbi Heroepoetri “kalau isu perempuan adat mau masuk ke dalam RUU Masyarakat Adat, maka struktur Naskah Akademik RUU tersebut harus dibongkar”.Hak perempuan adat merupakan hak konstitusional yang telah diatur di dalam konstitusi UUD 1945, serta perundang-undangan lainnya seperti UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM, serta UU no. 7 tahun 1984 tentang CEDAW. Mengacu kebijakan tersebut Negara bertanggung jawab untuk menghargai, melindungi, memenuhi hak warga Negara dalam hal ini termasuk hak perempuan adat. Namun, dalam realitasnya masih banyak terjadi pelanggaran atas hak-hak perempuan adat. Pencaplokan atas wilayah adat mengakibatkan terjadinya pemiskinan terhadap perempuan adat. situasi ini membuat perempuan rentan kekerasan, diskriminasi, dan marginalisasi baik di domestik, komunitas maupun Negara. Pemiskinan yang dialami perempuan adat mengancam musnahnya beragam pengetahuan perempuan adat seperti pengadaan benih, obat-obatan tradisional, kesenian, ritual adat dan lain sebagainya. Lalu, mengapa masyarakat adat juga perlu mendorong hak perempuan adat di dalam RUU Masyarakat Adat? salah satunya, bahwa kiprah dan kontribusi perempuan adat atas sumber daya alam didalam wilayah adat ketika situasi konflik agraria kehutanan tampil mengemuka sebagai pemimpin dalam memperjuangkan hak-hak kolektifnya sebagai bagian dari masyarakat adat. Di tambah, potret perempuan adat sebagai salah satu kelompok didalam masyarakat adat yang dimarginalkan dan didiskriminasi oleh ragam kebijakan diberbagai level yang mana hak-haknya perlu diakui, dilindungi dan dipenuhi oleh Negara.. *Titi Pangestu*

Writer : Titi Pangestu | Jakarta