Oleh Sepriandi

Langkah pemerintah memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada Organisasi Masyarakat (Ormas) Keagamaan dinilai akan semakin mengancam keberadaan Masyarakat Adat di Indonesia.

Hal ini disampaikan oleh Deputi Sekjen AMAN Eustobio Rero Renggi dalam wawancaranya dengan CNN Indonesia baru-baru ini.

Menurut Eustobio, langkah yang dilakukan oleh pemerintah ini sangat rawan karena bisa memicu konflik yang lebih luas di tengah masyarakat. Ia khawatir pemberian IUP ini dapat mengalihkan konflik vertikal ke konflik horizontal.  

“Dengan kata lain, pemberian IUP akan menimbulkan konflik baru antara Masyarakat Adat dengan organisasi keagamaan atau organisasi masyarakat lainnya,” kata Eustobio.

Ia pun menjelaskan bahwa wilayah adat itu sangat dominan dengan keagamaan. Karenanya, sebut Eustobio, pemberian IUP kepada ormas keagamaan akan membuat wilayah adat rawan  terhadap konflik keagamaan.  Sebab, ada kelompok masyarakat yang menjadi bagian dari organisasi keagamaan.

“Itu bisa memicu konflik di masyarakat,” kata Eustobio.

Ia menilai kebijakan pemerintah memberi IUP kepada ormas keagamaan menjadi tidak jelas jika orientasinya akan memicu konflik di masyarakat. Karenanya, Eustobio mendesak pemerintah untuk segera mencabut aturan itu.

“Kita minta aturan pemberian IUP kepada ormas keagamaan dicabut, karena hal itu akan menimbulkan permasalahan besar di masyarakat,” ujarnya.

Eustobio Rero Renggi, Deputi 1 Sekjen AMAN Urusan Organisasi. Dokumentasi AMAN

Sikap AMAN

Pekan lalu, Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengeluarkan pernyataan sikap mendesak pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2024 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan untuk Organisasi Masyarakat (Ormas) Keagamaan. Aturan ini dinilai berpotensi memicu konflik horizontal antara Masyarakat Adat dengan ormas keagamaan.

Pernyataan sikap ini disampaikan secara tertulis diakhir pelaksanaan RPB AMAN ke 33 di komunitas Masyarakat Adat Kemangkuan, Desa Sembalun, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur pada Sabtu, 8 Juni 2024.

Dalam pernyataan sikap yang berisi lima poin tersebut, AMAN mengajak ormas keagamaan dan kelompok masyarakat sipil lainnya untuk menolak peraturan kebijakan negara yang beresiko tinggi untuk memecah belah warga negara, menghancurkan lingkungan hidup, dan merampas ruang hidup Masyarakat Adat.

AMAN menyatakan bahwa wilayah adat adalah satu wilayah kepunyaan Masyarakat Adat secara turun temurun, dan wilayah adat merupakan zona bebas dari usaha pertambangan dalam bentuk apa pun karena akan menghancurkan identitas dan masa depan mereka sebagai Masyarakat Adat.

Dalam konteks ini, AMAN mendesak kepada pemerintah untuk mendorong penyelesaian konflik agraria di wilayah adat yang berkeadilan bagi Masyarakat Adat. AMAN juga mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi Masyarakat Adat.

Eustobio mengatakan sudah 78 tahun, negeri ini belum ada Undang-Undang khusus yang mengakui tentang keberadaan Masyarakat Adat. Berdasarkan laporan, sebut Eustobio, hampir seluruh wilayah kepulauan di Indonesia zona merah, rentan terhadap perampasan wilayah adat.

“Masyarakat Adat di pulau Sumatera, Jawa, Maluku, Bali, NTT, serta kepulauan lainnya kerap berkonflik dengan perizinan tambang batubara, tambang pasir besi, hutan konsesi yang dikelola oleh negara. Ini semua harus dihentikan," ujarnya.

Eustobio menyebut berdasarkan catatan AMAN, ada 2,5 juta hektare wilayah adat yang dirampas untuk kepentingan investasi pada tahun 2023. Akibatnya, banyak Masyarakat Adat yang dikriminalisasi. Bahkan, sampai saat ini masih ada Masyarakat Adat yang dipenjara karena mempertahankan wilayah adatnya.

“Negara harus bertanggungjawab atas perampasan wilayah adat ini. Kami minta semua wilayah adat yang telah dirampas dikembalikan kepada Masyarakat Adat,” tegasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Bengkulu

Writer : Sepriandi | Bengkulu
Tag : SahkanRUUMasyarakatAdat Tolak Tambang