Oleh Della Azzahra

Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan kebijakan serta implikasinya bagi Masyarakat Adat menjadi pokok bahasan hangat dalam diskusi yang digelar disela pelaksanaan Konsolidasi Nasional Advokasi Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Jakarta pekan lalu.

Diskusi yang digelar oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 9 Juli 2024 ini melibatkan sejumlah narasumber, antara lain Sinung Karto dari AMAN, Melki dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Uli Arta Siagian dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Soelthon dari Forest Watch Indonesia (FWI), Kasmita Widodo dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan Syamsul Alam Agus dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). 

Koordinator JATAM, Melki mengatakan bahwa saat ini situasi Masyarakat Adat semakin sulit dan terhimpit di tengah pesatnya gempuran industri ekstraktif di Indonesia. Wilayah Masyarakat Adat kerap menjadi sasaran perampasan wilayah oleh negara dan korporasi dengan dukungan izin usaha pertambangan. Sementara, hak-hak Masyarakat Adat justru terabaikan atau bahkan diabaikan. 

“Bentuk kejahatan korporasi dan negara terhadap Masyarakat Adat yang sering dipakai adalah langsung mencaplok wilayah adat dari Masyarakat Adat,” ungkap Melki. 

Melki menambahkan bahwa kondisi ini semakin diperburuk dengan adanya pemberian konsesi sawit dan hutan, serta proyek pembangunan infrastruktur yang berbasis lahan berskala besar. Hal ini pula, kata Melki, semakin mempersempit ruang hidup Masyarakat Adat dan komunitas lokal. 

“Dalam prosesnya, perampasan wilayah itu penuh dengan kekerasan, intimidasi, dan bahkan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat dan komunitas lokal di sekitar tambang. Situasinya memang sangat mencemaskan,” katanya. 

Hal senada disampaikan oleh Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Uli Arta Siagian bahwa ekspansi sawit yang kian gencar di Indonesia mengancam keberlangsungan hidup Masyarakat Adat.   

“Ada 13 juta hektar sawit dikuasai korporasi, di mana mereka menikmati pelepasan kawasan hutan yang merupakan wilayah Masyarakat Adat,” tutur Uli. 

Dikatakannya, situasi tersebut diperparah dengan adanya ambisi transisi energi yang sedang digadang-gadang oleh pemerintah. Atas nama transisi energi, sebut Uli, pemerintah melanjutkan proyek bahan bakar alternatif biodiesel dengan meningkatkan bauran 35 % bahan bakar minyak dari sawit menjadi 100 % melalui kebijakan B35. 

“Butuh berapa banyak lahan untuk mendorong proyek tersebut? Dibutuhkan 9 juta  hektar sawit, ditanam dimana? Wilayah adat Masyarakat Adat dirampas untuk memenuhi ambisi proyek transisi energi,” ungkapnya. 

Jantungnya Kehidupan Masyarakat Adat Dirampas

Hutan adat adalah jantungnya kehidupan Masyaraat Adat. Hutan Adat tidak dapat dipisahkan dari Masyarakat Adat. Telah beratus-ratus tahun lamanya, hutan menjadi sumber daya penting yang menopang sekaligus menjamin kesejahteraan hidup Masyarakat Adat. Namun, negara kerap kali justru mengingkari keberadaannya.

Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) Soelthon Gussetya menyebut sekitar 80 % wilayah adat Masyarakat Adat berada di kawasan hutan. Sayangnya, sampai saat ini, pengukuhan kawasan hutan masih menyisakan berbagai persoalan yang merugikan Masyarakat Adat. 

“Persoalan penetapan kawasan yang tidak tuntas menimbulkan berbagai dampak. Keberadaan Masyarakat Adat di dalamnya atau akses yang selama ini dipraktekkan akan dianggap ilegal oleh Pemerintah,” tutur Soelthon. 

Soelthon juga mengungkapkan bahwa terdapat pula kasus di mana pemerintah menetapkan hutan adat sebagai hutan lindung. Dikatakannya, hal ini membuat Masyarakat Adat tidak bisa menghasilkan ekonomi dari hutan dan ruang hidup mereka hilang. 

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Kasmita Widodo selaku Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Ia menyampaikan dari 28,2 juta hektar wilayah adat yang sudah diidentifikasi, hanya 3,94 juta hektar yang diakui. Sementara itu, hanya 244 ribu hektar hutan adat yang telah diakui. 

“Banyak sekali wilayah adat Masyarakat Adat yang dirampas. Wilayah yang sudah terbuka banyak yang ingin dijadikan bisnis melalui ekonomi karbon. Penguasaannya dimiliki oleh perusahaan ataupun negara,” tuturnya.  

Di sisi lain, aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan hutan melalui skema perizinan yang saat ini diberlakukan cenderung diberikan sebagai pembenaran dalam melakukan aktivitas usaha yang justru menimbulkan kerusakan alam. Lagi-lagi, hak-hak Masyarakat Adat semakin dipinggirkan.

Berdampak Terhadap Perubahan Iklim

Seperti sudah jatuh tertimpa tangga, kerusakan alam yang terjadi akhirnya berujung pada perubahan iklim yang berdampak langsung bagi kehidupan Masyarakat Adat. 

Kepala Divisi Penanganan Kasus AMAN, Sinung Karto mengatakan Masyarakat Adat di kampung-kampung harus menanggung dampak dari perubahan iklim yang mengancam keberlangsungan hidupnya, seperti terjadinya kekeringan masal yang menyebabkan gagal panen, banjir, maupun tanah longsor.

“Perubahan iklim telah memberi dampak buruk terhadap kehidupan Masyarakat Adat. Dampak buruk ini sudahterjadi sangat lama, bedanya dulu tidak semasif sekarang setelah  ekspansi dan eksploitasi besar-besaran ini,” tutup Sinung.

Penulis adalah volunteer di Infokom PB AMAN

Writer : Della Azzahra | Jakarta
Tag : Perampasan Sumber Daya Alam Masyarakat Adat