Konsolidasi Hakim Adat Nusantara, Sekjen AMAN : Hukum Adat Harus Dipertahankan di Komunitas Masyarakat Adat
10 Oktober 2024 Berita Sepriandi dan Apriadi GunawanOleh Sepriandi dan Apriadi Gunawan
Para hakim adat dari berbagai daerah menggelar konsolidasi di Jakarta guna membahas tantangan yang dihadapi Masyarakat Adat terkait penerapan Undang-Undang Masyarakat Adat dan KUHP baru yang dinilai mengancam keberlangsungan hukum adat.
Konsolidasi Hakim Adat Nusantara yang dilaksanakan oleh Kedeputian II Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini berlangsung selama dua hari mulai 8-9 Oktober 2024.
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan para hakim adat yang hadir dalam konsolidasi ini adalah orang-orang yang mewakili sebuah sistem hukum yang beragam dari kampungnya. Mereka akan merumuskan keputusan karena adanya ancaman Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang akan menghilangkan sistem hukum di Masyarakat Adat.
Padahal, kata Rukka, sistem hukum adat yang ada di komunitas Masyarakat Adat di Indonesia sudah berlangsung sejak lama, meski tidak tersurat seperti halnya undang-undang.
“Untuk itu, hukum adat harus tetap dipertahankan di komunitas Masyarakat Adat. Tidak boleh hilang,” kata Rukka Sombolinggi dalam sambutannya di acara pembukaan Konsolidasi Hakim Adat Nusantara yang dilaksanakan di salah satu hotel Jakarta pada Selasa, 8 Oktober 2024.
Rukka menerangkan hukum di Masyarakat Adat haruslah terpisah dari hukum yang diatur dalam Undang-Undang. Hukum di Masyarakat Adat akan tetap ada, apabila Masyarakat Adat masih memiliki wilayah adat dan identitas adat.
"Kita sebagai Masyarakat Adat, hukum kita hanya berlaku di dalam wilayah adat kita, kecuali disepakati berlaku di luar wilayah adat. Maka, penting wilayah adat kita harus tetap ada agar nanti kelembagaannya memiliki tempat dan rumah,” paparnya.
Rukka menambahkan hukum adat di Indonesia ini beragam dan didalamnya terkadang tidak memisahkan antara hukum pidana, hukum perdata. Padahal, pelanggaran wilayah adat adalah pelanggaran adat. Meskipun kelembagaan adat tidak memiliki kantor hakim adat, namun peradilan adat dilakukan di lumbung, di rumah, di balai.
"Penjara kita di kampung adalah mata dan pikiran seluruh Masyarakat Adat. Itu adalah penjara yang jauh lebih menyiksa,” jelasnya.
Rukka menyatakan bahwa hukum adat tidak perlu dipelajari karena dari lahir sudah dikandung dan sudah mengetahui hukum adat.
“Tidak sama dengan hukum Indonesia, ditulis oleh orang," imbuhnya.
Dalam hal ini, Rukka menyinggung Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang akan berlaku 1 Januari 2026. Ia mengatakan bahwa dalam KUHP tersebut, hukum adat di seluruh nusantara akan dibekukan. Sehingga, peran hakim adat tidak lagi berfungsi. Padahal, hakim adat dengan wilayah adatnya sangat penting demi keberlanjutan hidup Masyarakat Adat.
“KUHP ingin mengambil sistem hukum adat kita. Jantung kita akan diambil oleh Undang-Undang ini. Itulah kenapa kita ingin berembuk mencari jalan keluar, apa yang harus kita lakukan dari Undang-Undang ini," tegasnya.
Konsolidasi Hakim Adat Nusantara. Dokumentasi AMAN
Tolak KUHP
Basarudin, salah seorang peserta konsolidasi hakim adat dari komunitas Napal Jungur PD AMAN Tana Serawai mengapresiasi kegiatan konsolidasi ini yang dinilai sangat penting bagi masa depan hukum adat di komunitas. Menurutnya, sistem hukum adat di komunitas Masyarakat Adat harus tetap dipertahankan karena sudah berlaku sejak lama. Ia pun menolak KUHP.
"Kami menolak KUHP karena akan menghilangkan peran penting hakim adat di kampung,” tandasnya.
Selain itu, tambahnya, keberadaan KUHP bertentangan dengan Peraturan Daerah dan Surat Keputusan Penetapan Wilayah Adat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Sebab, dalam SK penetapan ini Masyarakat Adat diberikan ruang untuk mengelola dan mempertahankan wilayah adatnya.
Nulger, peserta konsolidasi hakim adat dari Mentawai juga menyatakan hal yang sama. Ia menolak adanya KUHP yang menghilangkan tugas hakim adat di komunitas Masyarakat Adat. Menurutnya, negara tidak mungkin menyamakan hukum adat di seluruh nusantara karena hukum adat kita berbeda.
Atas dasar ini, Nulger meminta agar pemerintah tidak menghilangkan peran dan tugas hakim adat di seluruh komunitas Masyarakat Adat. Jika itu diberlakukan, sebut Nulger, tentu sangat melukai para tetua adat di seluruh Indonesia.
“Kami tidak menginginkan itu terjadi, kami akan menolaknya,” kata Nulger.
***
Penulis Sepriandi adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Bengkulu.