Oleh Wulan Andayani Putri

Masyarakat Adat dan organisasi masyarakat sipil mengajukan sejumlah rekomendasi kepada Pelapor Khusus PBB untuk hak-hak Masyarakat Adat Albert K. Barume dalam pertemuan  yang berlangsung di Bogor pada Kamis, 10 Juli 2025.

Rekomendasi yang diajukan diakhir kunjungan akademik Albert  K. Barume ke beberapa daerah ini mengandung harapan kolektif dalam upaya pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia.

Pelapor Khusus PBB Albert  K. Barume  diharapkan  bisa menjalankan rekomendasi yang berisi empat poin dari Masyarakat Adat dan organisasi masyarakat sipil.

Keempat poin tersebut adalah mendorong pemerintah Indonesia untuk memulihkan hak-hak Masyarakat Adat atas wilayah adat yang dirampas atas nama pembangunan, mendesak evaluasi terhadap proyek strategis nasional di wilayah adat dan menjamin keterlibatan penuh Masyarakat Adat dalam setiap proses pembangunan, meminta agar pemerintah menjalankan prinsip-prinsip Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), mendesak pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai dasar hukum perlindungan kolektif.

Pengakuan Negara Terhadap Wilayah Adat Masih Minim

Kasmita Widodo dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menyatakan rekomendasi ini sangat penting artinya bagi Masyarakat Adat mengingat sebagian besar wilayah adat masih berada dalam ketidakpastian hukum dan terancam oleh proyek-proyek berskala besar.

Kasmita menjelaskan sejak 1980-an, pemetaan partisipatif telah menjadi alat advokasi Masyarakat Adat untuk menegaskan keterhubungan mereka dengan wilayah adat, sekaligus melawan klaim negara dan korporasi atas tanah Masyarakat Adat.

Berdasarkan data BRWA, hingga Maret 2025 terdapat 1.583 wilayah adat seluas 32,3 juta hektare yang telah dipetakan dan diregistrasi melalui pemetaan partisipatif. Namun, sebut Kasmita, baru 302 wilayah adat atau sekitar 5,3 juta hektare yang diakui secara resmi oleh pemerintah daerah melalui produk hukum daerah.

“Artinya, hanya sekitar 19 % dari wilayah adat yang telah dipetakan yang mendapat pengakuan hukum negara,” katanya dalam pertemuan dengan Pelapor Khusus PBB di Bogor.

Kasmita menerangkan pemetaan ini adalah bentuk visibilitas Masyarakat Adat—bukan hanya dalam peta, tapi juga dalam ruang-ruang pengambilan keputusan.

Sorotan tajam juga disampaikan perwakilan dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif  (JKPP) di pertemuan ini.  JKPP menilai negara selama ini hanya menyuarakan data resmi dan formal, padahal data tersebut belum tentu valid dan tidak selalu menggambarkan realitas dan kondisi Masyarakat Adat.

“Tidak ada satu pun kementerian yang menjadi wali data untuk wilayah adat. Sementara data yang berasal dari komunitas kerap diabaikan, hanya Masyarakat Adat yang paham situasi terkait dengan ruang mereka hari ini” ujar perwakilan JKPP saat berdialog dengan Pelapor Khusus PBB.

Dialog Masyarakat Adat dan Negara

Sementara, Venny Siregar dari Koalisi RUU Masyarakat Adat dalam dialog ini menyoroti lambannya proses legislasi yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade.

“Selama 15 tahun, RUU Masyarakat Adat hanya masuk sebagai usulan anggota DPR, namun belum pernah menjadi inisiatif pemerintah. Prosesnya masih panjang,” ujarnya.

Venny menambahkan dalam pertemuan terakhir dengan Badan Legislasi DPR, masih banyak penolakan terhadap substansi yang diajukan, termasuk belum diakuinya wilayah adat secara eksplisit. Dalam naskah terbaru, kata venny, koalisi berupaya meminimalkan narasi yang menyudutkan Masyarakat Adat sebagai penghambat investasi.

“Kami mendorong ruang dialog langsung antara Masyarakat Adat dan negara, agar Masyarakat Adat bisa menyampaikan sendiri persoalan dan kebutuhannya,” imbuhnya.

Suasana pertemuan Masyarakat Adat dan Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pelapor Khusus PBB Albert K. Barume di Bogor. Dokumentasi AMAN

Suara Perempuan Adat

Meiliana Yumi dari Perempuan AMAN menegaskan belakangan ini pelanggaran terhadap hak perempuan adat semakin menguat seiring masuknya militer, perusahaan, dan proyek strategis di wilayah adat. Realitas ini menjadi sangat relevan untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat. 

“Kami mohon Pelapor Khusus PBB dapat mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat, dan menghentikan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat,” pinta Meiliana penuh harap.

Ia juga berharap Pelapor Khusus PBB Albert K. Barume dapat menunjukkan komitmennya untuk memastikan suara perempuan adat hadir dalam pelaporan ke Dewan HAM PBB.

Dukungan dari Gereja

Juandi dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) yang turut hadir dalam dialog menyampaikan dukungannya bahwa gereja di Indonesia menolak keterlibatan dalam industri ekstraktif dan aktif mengadvokasi keadilan ekologis.

Juandi mengungkap PGI pernah ditawari hak kelola tambang di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Namun, PGI lebih memilih berdiri bersama Masyarakat Adat.

“Karena ini bagian dari menjaga ciptaan-Nya,” tandas Juandi sembari menambahkan atas sikap ini pula, PGI terlibat akitf dalam seruan Tutup Perusahaan Toba Pulp Lestari di Tano Batak, Sumatera Utara.

Penulis adalah staf Infokom PB AMAN

 

Writer : Wulan Andayani Putri | Infokom PB AMAN
Tag : Pelapor Khusus PBB Masyarakat Adat dan Organisasi