Kehidupan Masyarakat Adat Suku Balik di Sepaku, Kalimantan Timur, menghadapi tantangan berat akibat hilangnya hutan adat dan pembangunan infrastruktur besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN). Dampaknya, mereka kehilangan sumber penghidupan, menghadapi cuaca ekstrem, dan sering diterjang banjir yang parah.

Bagi Suku Balik, hutan adalah jantung kehidupan. Namun, kehadiran perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) seperti PT. ITCI dan PT. IHM, ditambah pembangunan IKN, telah menggerus hutan mereka secara signifikan.

"Sekarang hampir semuanya hilang. Perusahaan HTI dan industri kayu menggunduli hutan sedikit demi sedikit," ujar Sekion, Tokoh Masyarakat Adat Suku Balik Sepaku.

Dia menuturkan, dulu hutan menyediakan segala kebutuhan, mulai dari rotan, damar, kayu, buah-buahan, hingga hewan buruan. Kini, masyarakat kesulitan membuka ladang secara tradisional akibat larangan pembakaran lahan dan menyusutnya lahan. Mereka yang dulu hidup mandiri dari hasil hutan, kini kehilangan sumber penghasilan.

Cuaca Ekstrem dan Banjir yang Semakin Parah

Perubahan iklim terasa sangat nyata. Masyarakat mengeluhkan cuaca yang tidak menentu dan semakin ekstrem. Menurut Sekion, dulu meski kemarau panjang, udara tetap sejuk karena hutan lebat. Kini, panas terik menyengat hanya dalam setengah hari.

Banjir juga menjadi masalah akut. Harianto, pengurus sekolah adat, menyatakan banjir besar terakhir terjadi pada 2024, diduga terkait dengan pembangunan bendungan Intake Sepaku.

"Dulu hujan 3 hari 3 malam baru banjir. Sekarang, hujan 2-3 jam saja sudah banjir," jelasnya.

Banjir paling sering melanda Kampung Lokdam, khususnya RT 3 dan sebagian RT 2, yang mengakibatkan 60-90 kepala keluarga terdampak. Hanisa, Perempuan Adat, menambahkan bahwa sejak adanya beton Intake, air hujan justru terperangkap di kampung dan surutnya sangat lambat, bahkan bisa berhari-hari.

Krisis Air Bersih dan Masalah Sampah

Dampak lain adalah krisis air bersih. Sejak adanya Intake, warga tidak bisa lagi mengambil air langsung dari sungai yang dulu jernih. Mereka kini harus membeli air bersih, menambah beban ekonomi.

Di musim kemarau, sumur-sumur mengering. Warga terpaksa menampung air hujan untuk minum dan masak, bahkan menggunakan air kolam yang keruh dan berbau untuk mandi. Bantuan air tangki kerap tidak merata.

Masalah sampah memperburuk situasi saat banjir. Karena tidak ada tempat pembuangan sampah yang layak, sampah yang dibuang sembarangan hanyut dan bercampur dengan air banjir.

Tuntutan Pengakuan Hak-Hak Adat

Di balik semua masalah ini, masyarakat adat mengeluhkan belum adanya pengakuan hukum atas hak-hak mereka. Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang telah lama diperjuangkan hingga kini belum disahkan.

Sekion meyakini bahwa jika hak-hak adat diakui, kesejahteraan masyarakat akan lebih baik. "Di negara lain yang kaya sumber daya alam, masyarakat bisa hidup sejahtera. Sementara di sini, kekayaan alam habis tetapi masyarakat tetap miskin," pungkasnya.

Masyarakat adat Suku Balik berharap ada perhatian serius dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, sebelum hutan dan kehidupan adat mereka benar-benar punah.

Writer : Isnah Ayunda | Kalimantan Timur
Tag : Krisis Iklim The Answer Is Us