Masyarakat Adat Perlu Mendapat Perlakuan Khusus Dari Negara
03 Juni 2013 Berita Achmad SodikiAchmad Sodiki: SIARAN PERS ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA Jakarta, 30 Mei 2013,- Di hadiri oleh perwakilan masyarakat adat anggota AMAN, Badan Lingkungan Hidup, serta perwakilan-perwakilan LSM, Kementrian Lingkungan Hidup hari ini (30/5) bertempat di Jakarta Convention Center menyelenggarakan dialog interaktif yang mendiskusikan Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat, Kearifan Lokal, dan Hak-Hak yang terkait dengan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dialog dibuka dengan pemaparan terkait posisi Kementrian Lingkungan Hidup dalam proses pengakuan masyarakat adat. Dalam dialog tersebut, Chairil Hasyim yang mewakili Kementrian tersebut meminta pemerintah daerah agar dapat melakukan percepatan pengakuan masyarakat adat di daerah mereka masing-masing. “KLH dengan AMAN telah mempunyai MoU, dengan demikian kami berkomitmen untuk berjuang bersama AMAN guna melakukan percepatan pengakuan masyarakat adat di Indonesia, karena masyarakat adat adalah mitra kerja kami.” Ujarnya Beliau menambahkan bahwa di Indonesia pada dasarnya memang ada 2 hambatan dalam proses pengakuan masyarakat adat. Hambatan tersebut ada pada Kementrian Kehutanan yang sulit melepas kawasan hutan, serta pihak pemerintah daerah yang lebih memilih menjadikan kawasan hutan sebagai APL agar lebih mudah dialih fungsi guna mengeluarkan izin-izin usaha. Sementara Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN menyatakan bahwa sampai saat ini AMAN telah memetakan 6,69 Juta Hektar wilayah masyarakat adat. Namun dalam dialog tersebut, beliau menyesalkan proses implementasi Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang tidak dilaksanakan dengan baik. “Memang UU PPLH memihak masyarakat adat, namun kami masyarakat adat sangat tidak puas dengan proses implementasi produk hukum tersebut di lapangan.” Selanjutnya, Abdon menekankan bahwa harus ada pemulihan hubungan antara Negara dan masyarakat adat. Harus ada rekonsiliasi yang dilakukan, oleh karenanya pemerintah patut meminta maaf kepada masyarakat adat di Indonesia yang selama ini telah terjajah di atas tanah dan wilayahnya sendiri karena pengabaian Negara atas pelanggaran hak-hak mereka. “Keputusan MK jelas membuktikan pengabaian tersebut.” Tegasnya. Sedangkan salah satu hakim Mahkamah Konstitusi, Prof. Achmad Sodiki yang juga menjadi salah satu pembicara mengatakan bahwa definisi masyarakat adat yang saat ini masih debatable menjadi salah satu hambatan terkait dengan proses tindak lanjut Putusan MK No. 35/2012. Namun Beliau mengakui bahwa terlepas dari kontroversi definisi masyarakat adat, tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat adat adalah pihak yang paling tidak diuntungkan dalam proses pembangunan di Indonesia sehingga mereka perlu mendapatkan perlakuan khusus dari Negara. “Saya berharap perjuangan masyarakat adat tidak berhenti hanya pada pasal-pasal yang diajukan kepada kami karena orientasi MK saat ini adalah affirmative action kepada mereka yang kurang diuntungkan dengan proses pembangunan di Indonesia saat ini.” Ujar Achmad Sodiki menutup pembicaraannya. “Di salah satu surat kabar pagi ini yang saya baca terkait tanggapan kementrian kehutanan terhadap Putusan MK tersebut, saya lihat ada usaha melempar tanggung jawab dari Kemenhut kepada Pemda. Padahal hampir semua konflik yang terjadi bermula dari pemberian izin kemenhut kepada pihak swasta.” Ujar Prof. Maria Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada yang juga menjadi salah satu pembicara dalam dialog tersebut. “Menurut saya, perlu ada lembaga independen untuk menangani permasalahan-permasalahan masyarakat adat, terutama untuk menyikapi keputusan MK ini. Hal tersebut dapat menjadi wujud permintaan maaf pemerintah Indonesia yang tentunya diinginkan oleh masyarakat adat.” Tambahnya sekaligus menutup diskusi.