Mereka di kepung Tambang dan Taman Nasional AKETAJAWE LOLOBATA
26 Agustus 2013 Berita Ubaidi Abdul Halim[caption id="" align="alignleft" width="288"]
Dialog Interaktif AMAN Malut-RRI Ternate[/caption] Ternate, 22 Agustus 2013. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara menyelengarakan dialog interaktif di Radio Republik Indonesia (RRI) Ternate. Narasumber dalam dialog ini hadir Mia Siscawati (Sajogyo Institute dan Pengajar Pasca Sarjana Antropologi Universitas Indonesia) Ari Subiantoro (Kepala Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata dan Ubaidi Abdul Halim (Kabiro OKK Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara), Faris Bobero (Penggiat Masyarakat Adat Tobelo Dalam) Tema dialog kali ini;“Taman Nasional Aketajawe Lolobata dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Adat Tobelo Dalam”. Ubaidi Abdul Halim, menyesalkan ketika pemerintah pusat menetapkan Hutan Konservasi Taman Nasional Aketajawe Lolobata Maluku Utara berdasarkan SK.397/Menhut-II/2004 dengan Blok Aketajawe seluas 77.100 Ha dan Blok Lolobata seluas 90.200 Ha, sesungguhnya Masyarakat Adat Tobelo Dalam perlahan-lahan kehilangan hak untuk mengakses sumberdaya alam bahkan mereka sering dikriminalisasi karena dianggap melawan hukum. Jika terus berlanjut dipastikan Masyarakat Adat Tobelo Dalam akan terusir dari tanahnya sendiri. Mereka dikepung Tambang, HTI, HPH dan Sawit beliau juga menambakan pengakuan hak atas tanah, hutan dan SDA harus diputuskan lewat PERDA Masyarakat adat. Sementara itu Mia Siscawati menjelaskan, penderitaan Masyarakat Adat Tobelo Dalam ini sangat panjang. Mulai dari masuknya agama baru, perseteruan wilayah Kesultanan Ternate dan Tidore, pemerintah orde baru yang memberikan label manusia terasing. Tapi situasi saat ini berbeda, Masyarakat Adat Tobelo Dalam itu, hak-haknya diakui oleh UUD 1945, hak ruang hidup teritori yang luas untuk berburu dan mencari makan tidak boleh ada batasan, ada juga hak lain misalnya hak memperoleh pendidikan dan kesehatan. Masyarakat Adat Tobelo Dalam sedang ‘galau’ karena di kepung tekanan dan situasi,” tambah Mia Faris Bobero menambahkan bahwa pengaruh pihak luar seperti Taman Nasional dan perusahan merubah budaya dan identitas mereka. Misalnya konsep berburu kini jarang mengunakan tombak tapi dengan senjata bets. "Di Taman Nasional Aketajawi Lolobata Suku Tobelo Dalam tidak memahami implikasi deforestasi dari kegiatan pertambangan, namun mereka memahami apabila tutupan hutan dibuka, maka mereka akan mendapat masalah, sebab kwalitas air yang baik untuk mendukung kehidupan mereka terutama kebutuhan domestik sehari-hari juga untuk persalinan tercemar,” kata Faris. Namun Kepala Taman Nasional Aketajawe Lolobata, menjelaskan bahwa mereka mengakui Masyarakat Adat Tobelo Dalam lewat SK Derektoral Jenderal Kehutanan sebagai zona tradisional yang dikelola dan dimanfaatkan oleh mereka, jadi tidak perlu khawatir. Mereka seperti tubuh kami sendiri jika mereka sakit kami juga merasa sakit. Sejauh yang kami ketahui Masyarakat Adat Tobelo Dalam tidak memprotes keberadaan Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Kalau hutan produksi dan hutan lindung mereka pasti terusir, justru Taman Nasional adalah benteng terakhir konservasi hutan Indonesia,” ungkapnya.***Ubaidi Abdul Halim