Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Komunitas di Wilayah Masyarakat Adat
27 Agustus 2013 Berita Moha Sihombing[caption id="" align="alignleft" width="288"] Konferensi Internasional Pemetaan Partisipatif[/caption] “Tumpang Tindih Kawasan Hutan” Tuktuk, 25 Agustus 2013. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menjadi tuan rumah pelaksanaan Konferensi Global mengenai Pemetaan Partisipatif Komunitas di Wilayah Masyarakat Adat. Konferensi ini diadakan pada 25-28 Agustus 2013 di Tuktuk, Pulau Samosir, Sumatra Utara. Konferensi diadakan atas kerja sama AMAN dan Tebtebba, sebuah pusat kajian internasional Masyarakat Adat. Kegiatan ini merupakan kelanjutan Lokakarya Pemetaan 3D Partisipatif yang diselenggarakan oleh Tebtebba pada Agustus 2012 dan dihadiri oleh partner-partner yang terlibat dalam Kemitraan Global Masyarakat Adat untuk Perubahan Iklim dan Hutan. Konferensi dibuka oleh Sekretaris-Jenderal AMAN Abdon Nababan. “Tema pemetaan partisipatif sedang sangat relevan dengan Masyarakat Adat di Indonesia. Ada kebutuhan Masyarakat Adat di Indonesia untuk segera memetakan wilayah adatnya. Gerakan pemetaan partisipatif ini harus kita perluas. Kita ajak semakin banyak orang dan lembaga,” kata Abdon. Mahir Takaka, Deputi III PB AMAN untuk Pemberdayaan dan Pelayanan Masyarakat Adat, berbagi pengalaman mengenai penggunaan peta untuk menegaskan hak-hak Masyarakat Adat atas tanah, wilayah, hutan, dan sumber daya mereka. Menurut Mahir, pemetaan partisipatif dalam konteks Gerakan Masyarakat Adat Nusantara dilakukan atas dasar kebutuhan masyarakat adat, sebagai alat pendukung untuk tata ruang wilayah adat, dan pengakuan terhadap wilayah adat oleh negara Indonesia atau pihak lain. “Masyarakat Adat di Nusantara harus memetakan dan meregistrasi wilayah adatnya karena belum ada skema kebijakan dari Pemerintah Indonesia dalam menyediakan data dan informasi tentang masyarakat adat yang utuh untuk menjalankan amanat konstitusi,” ungkap Mahir dalam presentasinya. Bagi Masyarakat Adat Nusantara, peta wilayah adat bermanfaat sebagai alat perencanaan pembangunan di wilayah adat, menjadi alat utama pengembangan dan penataan tata ruang wilayah adat, pemberdayaan masyarakat adat (terutama terkait aspek kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lingkungan hidup), sekaligus untuk mengetahui titik rawan bencana alam. Pada Maret 2010, AMAN bersama dengan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan Forest Watch Indonesia (FWI) mendirikan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Pada 15 Juli 2013, AMAN menyerahkan 324 peta wilayah adat, mencakup 2.634.261,09 hektare, kepada Kementerian Lingkungan Hidup. Total wilayah adat yang telah dipetakan adalah 6,69 juta hektare. Dari gerakan pemetaan Masyarakat Adat di Nusantara selama ini, diketahui ada 2,6 juta hektare wilayah adat (sekitar 76,5 persen) yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Sedangkan yang tumpang tindih dengan PIPIB (Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru) kawasan hutan adalah 1,68 juta hektare (sekitar 49 persen).*** (Mona Sihombing)