Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta Tolak Bermitra dengan TPL
04 September 2013 Berita Jeffar Lumban Gaol[caption id="" align="alignleft" width="288"] Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta Tolak Bermitra dengan TPL[/caption] Jakarta 2 September 2013. Tawaran kemitraan yang disampaikan oleh Dirjen Bina Usaha Kementerian Kehutanan bersama TPL ditolak utusan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta.Pertemuan yang berlangsung di Gedung Sonokeling, Manggala Wanabakti ini dilakukan sebagai tindak lanjut atas kunjungan kerja Bambang Hendroyono Dirjen BUK Kehutanan, pada 29 Mei 2013 lalu ke wilayah Kecamatan Pollung, Kab Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Tawaran untuk bermitra tersebut adalah upaya Dirjen Bina Usaha untuk menyelesaikan permasalahan lahan antara TPL dengan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta kata Bambang Hendroyono membuka pertemuan. Namun Bambang juga menekankan bahwa semua itu tidak lepas dari kaidah hukum yang berlaku sekaligus menunggu disahkannya payung hukum RUU PPHMA. Dalam pertemuan ini hadir 10 utusan warga masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, mewakili Kadis Kehutanan Prov Sumut, Asisten I Pemkab Humbahas Tonny Sihombing, Kadis Kehutanan Humbahan Happy Silitonga, Camat Pollung Sumitro Banjar Nahor, Direktur TPL Juanda Panjaitan dan Leo Hutabarat. Warga Pandumaan umumnya menyesalkan hadirnya konsesi TPL di wilayah adat mereka karena pengahasilan hutan kemenyan menurun drastis karena semua pohon pelindung yang ada di areal hutan kemenyan mati kering. James Sinambela Ketua Dewan Adat Daerah AMAN Tano Batak mengatakan permintaan warga Pandumaan-Sipituhuta hanya satu yaitu hutan kemenyan mereka dikeluarkan dari areal konsesi TPL. Ronald Lumban Gaol menyatakan bahwa keputusan warga dan tetua-tetua di kampung sudah bulat yaitu dikeluarkan, meski hal itu tidak sesuai dengan keinginan Dirjen Kehutanan. Sebab TPL sebenarnya tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Ke depan yang paling penting bukan penguasaan hutan kemenyan tetapi supaya situasi kondisif di tengah masyarakat bisa terpelihara. Sementara itu Tonny Sihombing mewakili Pemkab Humbahas menyatakan bahwa Pemkab Humbahas sudah berusaha memulihkan hak-hak masyarakat adat tapi belum bisa mendatangkan hasil sebab belum adanya Perda Adat di Kabupaten Humbahas. Direktur Advokasi AMAN Erasmus Cahyadi menganjurkan untuk melihat persoalan ini dari sudut pandang yang lebih besar, tidak hanya persoalan hutan produksi, tidak hanya hak-hak masyarakat. Kita juga harus bisa melihat nuansa bahwa hukum hutan sudah berubah. Sebenarnya ada dua putusan Mahkamah Konstitusi yang harus kita sikapi. Kita tahu bahwa Undang-Undang no 10 tahun 2012 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Di situ ada perintah pada pemerintah untuk memperhatikan putusan MK dalam melakukan kebijakan. Dalam putusan MK no 45 itu sama sekali tidak jalan sampai sekarang. SK 44 itu ditunjuk sebelum dikukuhkannya kawasan hutan tersebut, oleh karena itu kita juga harus memperhatikan putusan MK no 45. Artinya saya mengusulkan kepada Kementerian Kehutanan membuat list (daftar) daerah-daerah konflik, untuk menjadi prioritas percepatan pengukuhan kawasan hutan. Saya kira terjadinya konflik di Sumatera Utara-Humbahas itu bisa dijadikan contoh bagaimana putusan MK no 45 dilaksanakan. “Kemudian adanya Putusan MK no 35 dan adanya revisi undang-undang kehutanan. Jadi kalau kita besikukuh pada Undang-Undang Kehutanan tanpa melihat adanya upaya-upaya reformasi kehutanan, kita sebenarnya tidak berkontribusi besar dalam penyelesaian konflik. Di sini pemerintahan daerah seharusnya mengambil peran yang lebih besar. Tetapi perlu diingatkan bahwa Perda yang dibuat Pemerintah Daerah itu tidak melulu menjalankan undang-undang kehutanan tapi juga tenurialnya (melestarikan hutan sekaligus menciptakan keadilan),” papar Erasmus.***Jeffar Lumban Gaol